Friday, January 9, 2015

Gemuruh Rindu

Myra membuka jendela dan udara dingin langsung menyergap. Embun yang menggantung sisa hujan tadi malam bercampur dengan aroma pagi lainnya. Pandangan Myra menerawang jauh pada cahaya di timur sana yang menyelinap pelan-pelan di antara awan tipis.

Semalam kau hadir dalam mimpiku, menjadi bintang utama dalam bunga tidurku. Entah ini yang keberapa kalinya kau ada disana, melakukan hal manis sesuai dengan skenario emosiku. Karena hanya dalam mimpi lah aku bisa bersamamu, menyentuhmu, dan melepas segala rindu.

Maka ketika aku terbangun sendiri, aku memejamkan mata kuat-kuat agar kau kembali... namun tak peduli seberapa kuat hatiku berteriak, kau tak akan kembali, kau tak berada disini, dan aku harus mengarungi arus waktu hidupku lagi.

Kau dan gemuruh rindu yang menyesakkan.

Ting!
Suara dari handphone memecah lamunan Myra.

Myr, hari ini jadi kan?

Jari-jari panjang Myra dengan cepat membalas pesan itu.

Jadi. Aku siap-siap dulu, ya.

Sang fajar menggeliat dan menyeruak di setiap sekat bumi, menjadi semacam pertanda untuk manusia untuk memulai kembali ritme kehidupannya.

Monday, January 5, 2015

Questioned

Hi, Happy New Year, folks!I love new year because it is like another chance given to make me better. I wont start this very first post of 2015 with a personal thoughts because that will be a long long long one.Let me start with my writing that I did spontaneously yesterday--something that I want to keep for this year:

"Hidup itu aneh, ya." Dila membuka suara setelah melipat baju terakhir yang sudah disetrika. Farah mendongak, tak berkata apa-apa, menunggu Dila melanjutkan.

"Hidup itu tidak melulu tentang kebahagiaan, tidak terus-terusan tentang kesedihan. Dan memang benar kata orang, hidup itu berjalan seperti roda. Kadang kita di atas, kadang di bawah."

"Kamu sedang di atas atau di bawah?" tanya Farah.

"Aku tak tahu. Saat ini hidupku biasa-biasa saja, tidak berlebih, tidak kekurangan. Aku tak tahu apakah keadaan ini masuk kategori atas atau bawah."

"Kalau tentang laki-laki itu?" Farah kali ini menatap wajah Dila dengan sedikit senyum.

Sedetik Dila tertegun, lalu membalasnya dengan senyum yang sama.
"Laki-laki itu membuatku banyak berpikir tentang kehidupan. Tentang perjuangan, tentang cara kerja Tuhan, dan tentang perasaan ini."

"Masukkan ini ke lemari sana," Farah menepuk tumpukan baju lalu menunjuk sebuah lemari di pojok kamar. Dila mengambilnya dan hati-hati menyimpannya di atas lipatan baju-baju lainnya.

"Bagaimana jika dia membenciku?" Dila menoleh pada Farah.

"Kamu itu temannya, kenapa dia harus membencimu?"

"Karena aku mencintainya? Dan dia tidak suka aku mencintainya." Ada sedikit luka dalam hatinya ketika Dila mengucapkannya.

Farah selesai merapikan kemeja yang kemudian digantung dalam rak kayu panjang. "Aku juga sadar kadang-kadang hidup itu teka-teki. Boardgame terbesar yang diciptakan Tuhan. Siapa yang bermain? Kita, manusia. Siapa yang punya peraturan? Tuhan. Maka sesungguhnya kita tinggal bermain saja, dengan mengikuti peraturan Tuhan. Kau tahu maksudku?"

Otak Dila mencerna kalimat-kalimat Farah. "Pasrah?"

"Maksudku..." Farah memandang gorden putih yang bergerak-gerak lembut ditiup angin sore. "Setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Sudah tercatat siapa jodohnya. Apa yang menjadi milikmu tidak akan menjadi milik orang lain, begitu juga sebaliknya. Kamu hanya perlu menjaga hubunganmu dengan Tuhan, yang mengatur agar jalan hidupmu dan jalan hidup pasanganmu terus mendekat satu sama lain."

"Tidak akan mudah, ya?" Dila menghela napas.

"Memang," Farah mengangguk, "tapi bayangkan saja jika kamu berhasil, kamu akan memiliki dua hubungan yag istimewa. Satu dengan Tuhanmu, satu dengan pasanganmu yang tentu saja sudah dijamin kualitasnya karena kamu sudah menjaga hubungan dengan Sang Pencipta Kehidupan."

"Ini cara kerja Tuhan..."
"Memohon petunjukNya agar kita diberikan yang terbaik dan hati yang kuat."
Keduanya berbisik pada diri sendiri.

"Kamu mau teh?" Dila memotong renungan mereka.
"Aku rasa senja seindah ini memang harus dinikmati dengan secangkir teh," ujar Farah setuju.

Balkon rumah mereka memang tidak luas dan bukan dirancang untuk minum-minum teh elegan ala orang Eropa. Namun, semburat jingga di langit biru yang jernih ini mampu mengubah balkon sempit itu menjadi indah.

Setelah menjerang air dan menuangkannya dalam teko yang berisi daun-daun teh, Dila membawanya ke meja kecil di balkon bersama dua cangkir yang berpola sama dengan tekonya. Farah kemudian menyusul sambil membawa sebungkus kue almond.

"Wah, itu kan mahal! Tumben kamu beli," seru Dila melihat apa yang dibawa Farah.
Farah tertawa geli. "Iya, aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba beli ini. Mungkin karena bungkusnya bagus. Ayo, dibuka!"

Dila dengan semangat membuka membungkusnya dan langsung menlahap kue kecil berbentuk bundar itu. "Hmm! Pantas mahal ya, rasanya memang enak!"

Farah melihat kue almond itu dan tersenyum.
"Kita ini istimewa, Dil, kita berhak kok mendapatkan yang istimewa. Termasuk masalah jodoh."

Dila berhenti menguyah kemudian menyisip teh dalam cangkirnya.
"Ya, tentu saja," katanya sambil menatap hamparan langit jingga sore itu.

Cheerio!