Friday, December 29, 2017

Susan Cain's Guide for Introverted Teens

Hai!

Entah kapan terakhir ngereview buku di blog ini, udah lama banget rasanya. Oh, terakhir tuh yang bahas buku The Rule of Four dan Happy Little Soul-nya ibuk Kiwana (linknya barangkali mau intip). And that was like 7 months ago, ketauan gak banyak baca selama 7 bulan itu. Well sebenernya baca Sirkus Pohon-nya Andrea Hirata, Bajak Laut dan Purnama Terakhir-nya Adhitya Mulya (my two fav writers!), buku kumpulan cerpen dimana temen gw menjadi salah satu penulisnya, dan tentu saja buku hadiah ulangtahun Agustus lalu yang akan direview di post ini. ;)

Here it is.



Quiet Power: The Secret Strengths of Introverts by Susan Cain.

If you're an introvert and love reading, I assume that you would know her already. Dia ini terkenal sebagai penulis buku Quiet yang sejak peluncurannya di tahun 2012 telah menjadi best-seller. Buku itu mengupas sifat introvert like no one ever did, as long as I know, karena sebetulnya ada banyak sumber yang membahas introversion tapi tidak menyeluruh seperti Mbak Susan ini. She was then invited to speak at TED Talks and asked by teachers in schools and communities to discuss on how introverts actually function at society. Dia ini lulusan Princeton dan Harvard, and she's an introvert herself. In a nutshell, orang pinter yang berdedikasi tinggi pada issue yang menjadi perhatiannya. She even initiated "Quiet Revolution" website where she shares her experiences and gives some advices regarding introversion.


Mbak Susan
What I'm going to review is the "lighter" version of the Quite book. Fyi, I own both books but actually I haven't read the first one. This book basically has the same messages, but it is specially written and researched for teenagers (as you may see on the cover). That being said, the content itself points out problems that young people mostly have to face. Ukuran fontya juga lebih gede dan jumlah halamannya gak sebanyak pendahulunya.

Ada 4 bagian besar di buku ini: School, Socializing, Hobbies, dan Home. Kehidupan anak remaja banget kan. Nah di setiap bagian itu ada beberapa chapter sendiri yang emang ngebahas sesuai topik bagiannya. Every chapter mostly goes like this: penggambaran pengalaman seorang remaja di Amerika terkait "masalah"nya dengan introversion, kemudian menemukan solusi, lalu ditutup dengan poin-poin kesimpulan.

Contohnya, di chapter "Quiet in the Classroom" yang ada di part School, ada cerita tentang bagaimana guru melihat keaktifan murid di kelas sebagai tolak ukur penilaian. Artinya, yang angkat tangan dan lebih sering ngomong dianggap mengerti dan engaged sama diskusi kelas--yang diem aja dianggap males dan gak berkontribusi. Padahal, bagi introverts, mereka sebenernya sama-sama engaged di kelas, hanya saja mereka tidak akan raise their hands immediately and blurt out. Introverts tend to think first before speaking. Kalau mereka diberi waktu barang 1 menit aja, introverts siap untuk menjawab secara komprehensif.


We all know one person in a class that constantly shoot his/her hand in the air and want to have the last word.
Kemudian si anak remaja introvert ini nulis surat ke gurunya yang intinya "Bu, urang teh introvert. Ngarti we atuh*." dalam bahasa Inggris yang sopan tentu saja. Anak ini jelasin dia bukannya males, tapi memproses informasi dengan cara berbeda aja dibanding murid lain. Untungnya si gurunya paham dan mengganti style diskusinya dengan metode "Think, Pair, Share" dimana muridnya disuruh mikir, diskusi berdua sama temennya, baru diskusi besar. Metode ini gw rasa tidak hanya memfasilitasi introverts untuk berpartisipasi tapi juga memberi waktu bagi semua orang untuk mikir dulu baru ngomong.
*Bu, saya ini introvert. Ngertiin dong.

Salah satu bahasan setelah itu adalah gimana introverts juga harus mau expand their comfort zones. Jangan terjebak dengan "saya kan introvert, saya diem aja ah". Introvert tidak sama dengan malas. Give some time to ourselves to think and then speak up. Di buku itu disebutkan yang intinya the more you try to speak up, the more you'll get used to it and eventually it will feel more natural to you.

Sifat lain yang berkaitan erat dengan introvert itu perfeksionis dan pemalu. Can you imagine how we introverts feel when we have to speak in front of people? Takut salah, takut gagap/belepotan, takut diliatin orang, atau takut jawabannya ngasal ga komprehensif. Nah, jadi si takutnya itu harus dipangkas dengan terbiasa ngomong di suatu forum without leaving our nature as an introvert.


How to embrace your introversion
Ada banyak contoh-contoh di buku ini yang--walopun kasusnya teenagers--gw bisa relate dengan pemikiran dan pengalaman sehari-hari. Kalau dibahas satu-satu bakal kepanjangan karena plus curhat. Baca buku ini semacam baca Chicken Soup for the Soul (yang terkenal di akhir 90an) tapi tentu saja lebih modern dan relatable. Kalau gw punya anak remaja yang udah lancar English, I would 100% recommend this book to them. This would help them to embrace their uniqueness among their loud world. Well if they are extroverts, I would still recommend them to read it--to understand the different trait other people have (including their mother! :p). *oke kejauhan

Gw gak tahu sih apakah dunia pendidikan sekarang udah memperhatikan sisi extrovert/introvert dari peserta didiknya. Semoga sih udah ya, setidaknya tahu aja udah cukup. The thing is bukan berarti para introverts ini pengen dimanja dan merengek pengen diperhatiin, tapi lebih ke cara belajar dan berinteraksi aja yang memang genetically berbeda. Why genetic? Karena introversion ini science-based, people! Contohnya, sirkuit otak introvert simply cannot well-function when they're stimulated with too many noises. Mirip-mirip lah sama 9 tipe kecerdasan (kecerdasan musikal, analitikal, interpersonal, dkk). Orang yang gak bisa berhitung, bukan berarti bego selamanya, tapi dia punya ekspresi kecerdasannya sendiri.

Makanya kenapa Mbak Susan Cain ini selalu gadang-gadang "power of introverts" karena menurutnya ada 2 kekuatan yang dimiliki seorang introvert:


  • Fokus.                                                                                                        Introverts lebih sibuk dengan pikirannya sendiri dan kalau udah into something, mereka bisa do the hard work alone for a long time. This comes easy for introverts because they love their alone time. Ketika itu digunakan untuk mengasah kemampuan, eventually introvert bisa sukses di bidang apapun. Ibarat air vs batu. Tetesan air yang turun terus-menerus ke titik yang sama di batu keras, lama-lama batunya terkikis juga.
  • Empati.                                                                                                      Introverts are observer. Mereka melihat dan menganalisis kejadian di sekitarnya, quietly. That is why they tend to see a bigger picture of a problem. Since they are also prefer private speaking than group chatting, ngobrol deep talk sama introverts akan terasa lebih personal dan komprehensif.


Gw sendiri, walaupun introvert in many ways, kadang 2 power itu belum gw manfaatkan dengan maksimal. Focus attention span gw saat ini berkurang karena kebanyakan lihat feed Instagram (again, damn you Instagram!). Also, sometimes private speaking is frightening, gw merasa lebih aman kalau temen curhat di grup aja daripada japri. Empati sebelah mananya kan :)). Tapi mungkin di beberapa aspek 2 power itu dipakai secara tidak sadar sih. I do realize "kemalasan" yang kadang muncul gak boleh gw sebut introversion. Although it may comes from my introvert nature, tapi ada batasnya dimana gw disebut introvert atau demotivasi.

Well, segitu dulu reviewnya.

Buku ini berkaitan erat dengan personaliti pribadi jadi gak bisa gak masukin pengalaman sendiri :)). Oh ya, while Quiet is written by Susan Cain alone, this teen version involved other two writers (as you may see on the cover). Both books can be purchased in bookstores like Periplus or Books & Beyond. The Quiet book is on my reading list and I can't wait to explore it.

Always get a good book on your side, folks.

Cheers!

Thursday, December 14, 2017

You Have One Hour

Dalam satu jam, apa aja sih yang bisa kita lakukan?

Bisa makan sambil ngobrol-ngobrol, bisa bete di jalan terjebak macet, bisa nonton drama series 1 episode, bisa masak rendang setengah mateng, atau bisa lagi deg-degan karena mau wawancara kerja atau meres otak karena lagi ujian.

Gw seolah diingatkan lagi soal betapa berharganya waktu ini ketika kemarin tes ielts yang kesekian kalinya. Paling kerasa di bagian reading dan writing. Di kedua bagian ini kita dikasih waktu masing-masing 60 menit alias 1 jam. Pada reading, waktunya kebagi 3 karena ada 3 passage yang harus dibaca dan dijawab pertanyaan terkait passage tsb. Otomatis, kita mengalokasikan 20 menit for each task, di instruksinya pun demikian sih. Walaupun menurut gw ternyata ga se-even itu pembagian waktunya. I would say 15, 20, dan 25 karena tingkat kesulitannya semakin naik. Anyway, dalam waktu yang singkat itu, kita dituntut paham poin-poin utamanya, terlebih agar bisa menjawab pertanyaan. Sama ceritanya dengan writing yang punya 2 task. Task 1 dikasih waktu 15 menit dan task 2 sisanya yaitu 40 menit.

Baik reading maupun writing, yang pertama dilakukan adalah lihat jam. Jam berapa mulai dan jam berapa ini harus selesai. Ketika jreng mulai, waktu rasanya sangat amat berharga, ketika udah lewat semenit, gw minimal harus tahu apa yang dihadapi. Empat menit berikutnya gw udah harus bisa memahami pertanyaan (pada reading) dan bikin draft tulisan (pada writing). Pas 5 menit terakhir, itu rasanya senewen sekaligus lega sih. Senewen karena waktunya "tinggal" 5 menit tapi lega karena bersyukur "masih" punya 5 menit. Dimana di waktu segitu, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan, seperti mengecek typo, nambah kalimat penutup, atau mengerjakan 5-8 soal sisa di passage terakhir terus kalo frustasi jadinya nebak HAHA itu mah gw kemaren.

This thought came when I was in spare time after I finished my exam. Bagi gw yang banyak menghabiskan waktu di Instagram lately, this whole thing is completely a self-reminder. Saat itu gw mikir, "wah ini selonjoran gini sambil browse Instagram kalo kemaren dipake mikir ielts kemarin berharga banget waktunya ya" atau kaya "kemarin 1 jam bisa nulis at least 450 kata, sekarang dipake bikin apa ya?".

Pada saat ujian, gw sadar sekali pergerakan jarum jam dan detik yang berdetak. Perubahan dari 12.15 jadi 12.18 itu sangat berharga. Kalau hari biasa mah hardly even notice, itungannya baru kerasa kalo udah beda 1 atau 2 jam. Dan ternyata waktu berjalan sangat cepat. Seremnya lagi--although this is absolute and obvious--waktu tuh emang gak bisa mundur, dia akan maju aja gitu, gak ada yang bisa memberhentikan jarum detik bergerak--kecuali batre jamnya abis *ba dum tss*. Intinya, waktu tak menunggu siapa pun.

Kadang suka lupa sih kalau waktu yang kita punya itu kayak uang. How do we want to spend our time? Waktu juga bisa habis kayak uang. Instantly, gw langsung inget surah Al Asr yang dimana Allah bersumpah demi masa, demi waktu.

source

Apalagi ya kalo mengingat bahwa waktu di dunia ini kalau dibandingkan waktu di akhirat ibarat cuma 15 menit aja. Subhanallah wallahuallam.

So, please, use your time wisely ya *100% ngomong ke diri sendiri

Cheers!

Wednesday, November 22, 2017

Berani Ngomong

Apa sih yang pertama kali pertama terpikir ketika denger kata "speak up"?

Meski mungkin sering ketemu di buku-buku berbahasa Inggris, kayanya gw pun baru ngeh ketika ngerjain proyeknya PermataBank di Pinteraktif dulu. Waktu itu topiknya adalah macam-macam kode etik dan dari sekian banyak poin, ada poin "speak up". Kode etik yang dimaksud emang lebih ke praktik pencegahan pencucian uang, penyuapan, dan hal perbankan lainnya. Karyawan diharapkan bisa speak up alias berani ngomong/eskalasi ke tingkat manajer/yang memegang kepentingan kalau-kalau ada kecurangan yang dia lihat.

Jadi, speak up adalah berani ngomong.

Waktu itu gw gak kebayang apa susahnya ngomong kalau ada sesuatu yang aneh terkait transaksi atau tindakan mencurigakan di kantor. "Speak up tuh gimana ya? Apa bukannya tinggal ngomong aja gitu, misal 'pak, kok si ini kemarin saya lihat nerima parsel' ke atasannya?" demikian pikiran lugu gw saat itu.

Little did I know, ternyata speak up adalah sebuah skill tersendiri dan gak gampang dilakukan. Setidaknya buat gw, sang pecinta damai yang menghindari konflik dan kalau ada konflik pun jadinya bara dalam sekam sambil berharap masalahnya hilang secara mejik.

Hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Masalahnya ada di komunikasi gw dengan atasan--yang ternyata bukan cuma gw aja yang merasa, but the whole team, if I must say. Ceritanya panjang banget dan penuh dengan konflik duka lara haha tapi intinya dia (diaaa~) encouraged me to speak up.

"Kalau gak dikasih tahu ke orangnya, ya gak akan selesai masalahnya," demikian dia berucap. Kebiasaan ghibah kan ya, kalau ada gak suka sama orang, ciwik-ciwik ni kemudian berkeluh kesah saja ke sesamanya, kadang malah nambahin bensin. :))

Long story short, gw pun speak up ke atasan. Hal itu akhirnya gw lakukan setelah keengganan sekian lama sampai pada kesadaran ya kalau gak ngomong, it may affect the team's future development. Mungkin speak ini bermanfaat gak cuma untuk kebaikan diri sendiri, tapi juga untuk kebaikan tim, dan kebaikan perusahaan.

Mungkin beda kali ya, "speak up" kaya di perbankan yang gw mention sebelumnya dengan "speak up" soal kerja ke atasan. Ibaratnya, kalo yang "speak up" perbankan gitu kayak ngadu, orangnya mah gak tahu kalau kita ngomongin dia. Kalau "speak up" yang ini kan langsung ngomong "maneh aral, urang teu resep" straight to the person's face. Ada banyak bebannya bagi gw, intinya ya gak enakan aja. Pertama, sekali lagi, gw anaknya gak biasa kasih kritikan dan tidak pandai berargumen face-to-face. Kedua, ini gw ngomong sama atasan. Walaupun secara umur di bawah gw, tapi saya ini berprinsip dimana dia punya kekuasaan disitulah kebenaran berada (naon). Ya intinya gw ini lemah sama orang yang punya otoritas. Lemah sekaligus benci haha karena gw pengen juga sepowerful orang itu.

What I'm trying to say is that speaking up is one of the skills we should have. Ada hal-hal yang harus dilatih ketika mau ngomong, gw harus:
- berani
- jangan takut salah (bedanya sama yang atas apa ya, lol)
- sadar akan konsekuensi (mempertimbangkan kalau gw gak ngomong, dampaknya apa)
- kritis (bagi gw yang mentalnya "yaudahlah" ini tantangan sih), tapi jangan juga clouded by emotion doang, harus bisa include logical reasoning.

Well, mungkin belum seambis Lisa Simpson
Anyway, tadi sempet nyari juga artinya speak up apa. Ternyata sebenernya "speak up" tuh lebih ke speak louder like in "speak up, I can't hear you". Nah, kalau "speak out" itu yang "express one's feelings or opinions frankly and publicly". Tapi gak salah juga sih pake "speak up", hanya saja lebih tepat "speak out".

Demikian. Kalau speak up/out versi temen-temen apa? Share in the comment below and let's share experiences *ala-ala artis yutup.

Cheers!

Monday, September 25, 2017

I'm a What?

Wow, jadi selama wiken ini (terhitung dari Jumat malam), gw merasa banyak mendapat pencerahan terhadap sifat gw selama ini. Like, what, lu baru sadar sekarang? Ngapain aja 27 tahun ke belakang? Berarti apa yang gw lakukan selama ini salah dong? Woah, jadi panik. Gak 100% panik sih, karena sebagian dari itu adalah excitement dalam mempelajari diri sendiri--karena selalu ada hal yang menarik kalau udah menyangkut perilaku orang.

Jadi, hari Jumat kemarin ceritanya gw ini dicarekan. Disemprot. Dinasehatin. Ya, you name it.
Awalnya adalah yang gw mulai notice dari beberapa hari yang lalu kalau kebiasaan buruk yang gw lakukan selama ini akan berdampak lebih buruk lagi ke habit dan hidup secara general. Gak mau efek domino ini berlanjut, gw pun segera ngomong sama diri senditi, " oh ini gak bener sih, I need help". Jadilah gw curhat sama dia. Karena beda sih ya kalau curhat sama cewek lagi, apalagi yang deket, pastinya digulain. Malam itu, gw digalakin *insert emoji ketawa tapi nangis*.




Intinya, dari situ, yang bisa diambil sebagai saran adalah:

1. Gw ini perfeksionis but not in a good way

Karena topiknya kemarin adalah soal kerjaan, jadi contoh perfeksionis disini adalah ketika I want a make a good piece of writing.

Di mindset gw adalah, gw ingin deliver sesuatu itu dengan baik. Pantang ngasih draft karena, salah satunya, ngerjain the whole thing sama yang nyicil-nyicil itu feelnya beda. Padahal katanya kan "continuous improvement is better than delayed perfection". Nah, definisi "dengan baik" itu kemudian I put a lot of effort to make it good, but then I get lost in the process. Kata dia, kalau nyari sumber jangan keterusan kayak link Wikipedia (yang buka ini muncul info baru lagi, klik ini muncul info lagi), kecuali kalau memang, misal, 10 sumber can make a significant impact dibanding cuma 3 sumber. Kalau sama aja, ya mending stop di 3 sumber, kupat tahuuuu! *toyor pala sendiri.

Gw banyak mendapat "praise" kalau gw ini orangnya detail. Bungah (seneng) atuh ya namanya dipuji. Tapi sebenernya udah merasa dalam hati kalau perfeksionis ini bukan yang oke gitu, hanya saja belum nemu gimana contoh konkrit gak okenya. Ternyata ya itu, gw sering tersesat pada cara yang inefisien ketika pengen mencapai sempurna.

Hal ini pun terefleksikan ke kehidupan sehari-hari. Contohnya, gw gak mau bales sesuatu yang butuh mikir dan menurut gw harus dibales di kondisi dan susunan kata yang paripurna. Padahal mah cuma si orangnya cuma minta apaa gitu. Misalnya, orang nanya, "udah liat email?". Itu adalah salah satu pertanyaan terserem menurut gw, satu level di bawah "kita perlu ngobrol". Jadi, meskipun gw udah liat emailnya misal tapi belum nemu jawaban yang sempurna maka gw tunda aja jawabnya sampe gw merasa less intimidated. Selama delay itu gw akan merasa gak nyaman kaya ambeien. Setelah berapa lama, gw akan jawab kayak jawab soal esai. Padahal si orangnya mah cukup tau kalau gw udah cek email apa belum, udah, gak wajib dibahas panjang. Nah jadi rugi kan gw gelisah.

Hal lain adalah kayak, gak mau nulis sebelum jiwa dan raga ini terpenuhi dengan baik. Gak mau nyuci sebelum nulis selesai sempurna. Gak mau ngucapin selamat ulang tahun ke temen karena pengen bikin puisi ala Aan Mansyur. Gak mau melakukan ini karena itu belum ada dan belum sempurna. Yah, akhirnya gw nanti akan menunggu saja dan bukan menjalani hidup dan mengambil kesempatan-kesempatan. Hii, serem juga.

2. "Terus, mau nyalahin orang lagi?"

Menusuk rasanya, tapi bener sih.

Ini mungkin lanjutannya perfeksionis yang inefisien tadi. Jadi misal ya, gw pengen nulis itu ketika jiwa dan raga siap. Agar raga siap, gw butuh kupat tahu anget maka pergilah ke warung depan. Eh taunya ngantri banget tuh, gw pun ngabisin 1 jam sendiri untuk ngantri doang. Jam makan siang pun habis, gw pun bete dan bilang,

"orang-orang sih tadi banyak banget, terus ibu yang ngeladanginnya juga cuma sendiri pula, lama banget, sebel."

Padahal kan bisa gojekin aja gitu. Gak perlu nyalahin orang-orang da sarua hayang kupat tahu, apalagi nyalahin ibu yg jualnya. Maksudnya, bisa sih ngedumel karena mungkin hal-hal yang orang lakukan itu emang unpleasant, tapi kita toh gak bisa ngontrol mereka mau ngapain, instead kita bisa ngontrol reaksi kita dan memilih untuk deal with it dan keep going menuju tujuan.

Jadi inget kasusnya rekan kerja di kantor yang dulu. Ada temen gw yang ngedumel juga soal sistem dan nyalahin tim karena kurang ini itu. Terus atasan kami waktu itu bilang, "gw tahu ibaratnya kita mau pergi ke Puncak (yang di Bogor itu ya, bukan sekedar metafor) itu idealnya naik mobil biar nyaman, tapi sekarang adanya vespa jadul ya mau gak mau kita pake si motor butut itu buat kesana". Which is actually exactly what the HR said to me regarding my issue at the office.

Stop blaming and stop seeing yourself as a victim. While maybe you have the right to be angry because you're wronged, but better to focus on what you can do, not just throw some rants. *ngomong sama diri sendiri

----

Satu lagi sebenernya adalah tentang "get off of your comfort zone" tapi kemudian gw dari dulu merasa konsepnya abstrak. I mean, I do understand the meaning dan gimana cara mencapai itu, kayak "memaksa" diri untuk melakukan lebih dan untuk "stretching" ke lingkungan yang bisa menempamu lebih baik. Turns out, contoh konkrit di 2 poin di atas lebih efektif karena dari situ gw bisa kebayang "oh contoh nyaman adalah ketika nyalahin orang lain, berarti keluar dari zona nyaman adalah stop blaming dan start to take my own responsibility".

Sebelum nulis post ini juga gw keinget istilah "passive-agressive". Sering denger tapi gak pernah tahu artinya apa. Salah satu kebiasaan yang dicopy dari dia adalah kalau gak tahu ya googling lah, kebiasaan milenial yang sangat berharga di jaman teknologi (Mbah Google ftw!). Lalu gw pun membaca informasi yang mindblowing. Whaaat, passive-agressive ini mah aku banget. Semakin dibaca semakin relatable tapi juga semakin ngeri karena banyak banget flawnya dan itu gak bagus.

Tengok artikel ini deh. Ibarat baca hasil tes personaliti rasanya.

Tapi ya, passive-agressive ini adalah common behavior di banyak orang, seluruh dunia. Artinya ada banyak orang "bermasalah" kayak gw gini. Maksudnya gw gak gila itu, cuma bengkok.

But then, knowing my personality, my flaw, my "crooked" mindset, itu penting sih. Lebih penting lagi tahu gimana cara benerinnya. Lebih lebih penting lagi mau dan mulai benerin. Telat? Here's Sansa Stark speaks for me.



Oke, nulis ini gw pun gak boleh lama-lama. Oh ya di awal tadi mention "selama wiken ini", actually ada beberapa hal kayak membuktikan 2 poin di atas, dan itu kaya enhance the experience aja karena Jumatnya dikasih tahu besokannya kayak dikasih lihat contoh nyatanya.

I believe everybody has their own struggle. Semangat, semuanya! Selama masih hidup, artinya kita masih dikasih kesempatan untuk belajar. *ngomong sama diri sendiri (2).

Cheers!

Friday, August 4, 2017

Final Day!

Woah, this is the last day of #31dayswritingchallenge!

So, how was it?


  • I made 30 blogposts which mean I skipped only 1 day. To be honest, hari skip nulis itu malamnya memang ngantuk sih tapi gak bener-bener ngantuk sampai gak bisa mengusahakan untuk nulis. Saat itu kayak 50% ngantuk, 50% sengaja untuk mencoba "bolos". "Kayak gimana ya rasanya ditilang?" :p. Karena ada hari yang justru malemnya capeek banget tapi masih ngusahain nulis. Bahkan ada yang sempet ketiduran terus bangun jam 23.45 dan akhirnya bisa ngeposting.
  • Apakah semuanya original? Yep, semuanya ditulis hari itu juga, malah mepet banget ke waktu deadline. Gak nyimpen tulisan dan nge-set jadwal. Gimana mau numpuk tulisan, bikin 1 aja nyari idenya gak gampang. Tapi sebetulnya ada 1 post yang copas dari IG sendiri. Itu terjadi pas yang kebangun jam 23.45 itu terus panik belum nulis. Kalau udah niat gak mau didenda ya maka caranya bisa apa aja sih. :p
  • Selain karena gak mau didenda, juga karena ada satpam yang ngingetin, hehe. Kalau gak ada, rasanya with this self-discipline I'll skip writing 2 or 3 days.
  • Mostly, I started writing at 23.00 til 24.00ish. When it was half done, I published it first at 23.59 then edited it :p. Biasanya sampai jam 00.30 atau 01.00, karena nyari-nyari foto atau video yang relevan. Setelah itu biasanya gak bisa tidur. Either Youtube-an atau baca blog temen-temen lain. Sehingga jadi kebiasaan di 2 minggu belakangan ini tidurnya suka kelewat larut yang berdampak bangun siang. At times, suka sebel kenapa sih ada program yang mengharuskan nulis ini, takes time banget. Yang jawab diri sendiri, "lu-nya aja yang harusnya bisa atur waktu".
  • Kenapa takes time? Karena pengen nulis sesuatu yang gak asal nulis. Dipikirin duluu idenya, kontroversial apa nggak, bahasanya gimana. Tapi gak yang sampe ingin-perfect-banget-maka-lebih-baik-ditilang-daripada-asal. Sebenernya kenapa harus bisa setiap hari kan untuk melatih ngatur waktu, menyerap ide di hari itu, dan menuangkannya dalam tulisan.
  • Blogposts di blog ini memang keitung jarang yak, hehe (sebelum program 31 Hari Menulis). Karena ya itu, biasanya ketika pengen bahas sesuatu, gw akan riset sebelumnya, even just a speck of information in Wikipedia. Although what I write is very much my point of view, but at least there are facts that maybe interesting and supported the topic. Digging data and then put my heart in a piece of writing kadang tidak muncul dalam 1 hari sih. Dan gw gak mau dipaksa nulis aja kalau moodnya lagi gak pengen nulis. Rasanya kalo tetep nulis pas moodnya gak ada tuh seolah menampilkan "dapur" pikiran gw yang ribet. Nah tapi kalau gak ada sistem denda gini, moodnya ya jarang datang. :p
  • Apakah besok-besok masih rajin nulis? Hmmm, yang pasti tidak akan menghasilkan 1 tulisan per hari sih, hehe. Mungkin bisa nanti, tapi sekarang belum. Sekali seminggu? Seems good enough. #bukananakambisius
  • Membaca tulisan temen-temen yang lain, gw jadi merasa bahwa blog ini pun berpotensi untuk dibaca banyak orang--which then leads me to: penggunaan bahasa dan cara bertutur yang dibikin lebih "rapi" lagi ke depannya. Blogwalking juga tentu saja jadi bisa melihat sisi lain dari temen-temen.
Anyway, thanks Pak Bos yang punya ide bikin challenge ini. Terimakasih temen-temen yang sudi mampir dan baca di mari. Semoga "kita versi tulisan" bisa saling merindukan satu sama lain dan saling berkunjung ya. Alhamdulillah dan bismillah. Yuk, jadi cerdas dengan menulis. :)

Besok Lebaran, yeaay!

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day31 #FINALDAY

Thursday, August 3, 2017

Tanpa Nama

Tanpa nama lahir di dunia.

Hidupnya penuh rahasia sekaligus terbuka. Tipe manusia yang tidak keberatan diajak duduk berhadapan atau berdampingan, yang tidak rewel berjalan di atas lantai marbel licin atau meniti jalan setapak penuh tanah basah. Namun tetap kita tak dapat menemukan jiwanya.

Rumahnya yang dibangun jauh dari bingar mesin membuat manusia lain sungkan untuk datang. Tapi indahnya membuat orang ingin berkunjung, meski perjalanan kesana harus melewati jalan yang mengular. Hatinya hangat tapi membeku ketika disentuh.

Beredar sosoknya di masyarakat, menjadi bagian dari populasi yang butuh makan. Dengan pedang ia terabas tanpa takut. Bergerak dengan rencana yang tergenggam di tangannya. Tidak ada yang janggal, tapi tidak ada yang mengerti. Sendiri adalah metode bertahan hidup yang terbaik, sampai ada manusia lain yang secara genetik adalah duplikasinya.

Tanpa nama. Tercetak dalam ingatan, terbingkai dalam malam, terucap dalam kiasan.

--

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day30

Wednesday, August 2, 2017

Dicintai atau Dipercaya?

Nah, kalau hari ini Hari Berpasangan beneran. :p

Hari ini tandemnya adalah Mas Dimas yang dari tulisan-tulisannya bikin iri karena tulisannya menarik dan gagasannya rapi. Bisa bikin sajak pula. Licik. You shouldn't be good at writing, Mas, cukuplah kau jago lobbying and public speaking, jangan semuanya jago. Hihi, canda. :p

Setelah lihat-lihat postingannya beliau di Tumblr, ada yang kayanya menarik untuk share dari sudut pemikiran aku. In a post titled "Balada Si Pecinta", he wrote,

"What will you choose? To be loved or to be trusted?"

Lalu aku mikir, nanya ke diri sendiri, "lu mau dicintai atau dipercaya?". Hmm.

Kalau menurut Mas Dimas, lebih baik dipercaya karena dengan dipercaya, dalam konteks sebuah hubungan, akan menghasilkan efek-efek yang lebih baik ketimbang mencintai. Simak tulisannya;

Coba saja lihat orang yang sedang jatuh cinta.. jika ia bertumpu pada rasa cinta pada kekasihnya.. maka hal itu akan berkurang manakala sang kekasih sudah tidak mampu memenuhi kebutuhannya.. dan akhirnya yang muncul hanya rasa kecewa..
Tapi.. coba kau pikirkan kalau yang dikedepankan adalah rasa percaya.. dan bukan sekedar cinta.. apapun yang terjadi.. pasti tidak akan mengubah pandangan dan kesetiaan si pecinta pada kekasihnya.. ya boleh dibilang.. dalam hal ini cinta adalah sesuatu yang relatif.. tetapi rasa percaya adalah keteguhan hati.. yang sifatnya nyaris absolut..


Kalau pertanyaannya apakah aku mau dicintai atau dipercaya? Jawabannya ya pasti dua-duanya :p.

"Dicintai atau dipercaya" konteksnya luas sih. Jawabannya juga bisa beda-beda tergantung konteks dan kondisinya. Oke, ambillah dalam konteks sebuah hubungan.

Skenario "dicintai tanpa dipercaya" bisa kejadian kalau misalnya si suami cinta nih sama si istri, tapi gak ngasih kepercayaan untuk megang uang, gak percaya kalau si istrinya bisa kerja tanpa meninggalkan kewajiban sebagai istri, atau curigaan tiap kali si istrinya arisan, was-was istrinya ngabisin uang. Kan gak enak juga yah.

Skenario "dipercaya tanpa dicintai" yaa gimana ya kalau dalam sebuah romantic relationship. Jadi kayak bisnis doang kalau percaya tanpa rasa. Misalnya, si suami ini percaya banget istrinya solehah banget, mau diajak susah. Tapi kalau cuma percaya doang, kebayang ada dialog, "kita lagi susah, aku percaya kok kamu bisa makan Mylanta sebulan". Lah minta dikemplang dia. Maksudnya kalau si suami mencintai istrinya ya dia akan cari cara gimana biar hidup dia dan istrinya gak melarat-larat amat. Atau kalau dalam kebalikannya situasi di atas, misal si suaminya percaya banget kalau istrinya bisa kerja tanpa meninggalkan kewajiban. Tanpa cinta, mungkin aja si suaminya bakal gak jadi partner dalam "pekerjaan rumah" kayak masak/nyuci/beberes karena kelewat percaya si istri bisa handle semua. Tapi dengan cinta, si suami bakal sayang, care, dan perhatian ketika misalnya si istrinya baru pulang sore, dia inisiatif untuk pesen makan dari luar.

Jadi ya aku sih pengen keduanya. Loved to be trusted, trusted to be loved.

Nah, kalau dibalik pertanyaannya: do you love or trust?

Aku setuju sih kalau "cinta" doang kesannya hanya lust tanpa dasar. Kalau "percaya" berarti kan ada sesuatu yang gak keliatan secara fisik yang mungkin lebih ke attitude jangka panjang. But I believe when I'm with someone, ya harus ngasih keduanya sih. I, too, should love and trust. Dari tadi aku kepikiran apa yang dulu pernah diceletukin Mas Dipo (ex graphic designer-nya eFishery),

"Cowok itu harus dikasih kepercayaan, Haw."

Hmm. Yang kemudian aku benarkan sih dalam hati. Katanya, ada pride dalam diri laki-laki yang terluka kalau merasa gak dipercaya, sama lah kayak perempuan yang butuh diperhatiin. Tapi, menurutku antara "cinta" dan "percaya" itu saling terkait sih, dan yang terpenting ketika kita melakukan keduanya, pastikan aja terkomunikasikan dengan baik. Kita melihat dari kacamata kita yang seringnya berbeda dari kacamata orang lain. Jadi apa yang menurut kita A, bisa disalahartikan jadi B di sudut pandang lawan. Kita melakukan A karena we think that's the usual and ideal condition, and we want others to do the same, padahal kan gak bisa menyodorkan semuanya.

Sekian dulu ilmu relationship sotoy seharga baso ikan dari saya malam ini.
Sekian dulu pandanganku akan post-mu, Mas Dim. Nanti nulis soal resensi film gitu aja lah biar gampang ditanggepin, haha. Yaudah, sudah malam nanti terus ngelantur.

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day29

Tuesday, August 1, 2017

Hello, Real Reggy!

Meskipun hari ini gak berpasangan, aku mau inisiatif sendiri ah nulis tentang salah satu partisipan 31 Hari Menulis ini, sekaligus partner kerja yang duduknya sebelahan. Halo, real Reggy! :))

Pemilik nama akun yang bikin kita bertanya-tanya apakah ada "fake Reggy" ini adalah desainer grafis-nya eFishery sejak Januari (eh apa Desember ya, gy?). Sebelum ketemu orangnya aja, Pak Bos dan Ibu HR sudah diclaimer kalau calon desainer yang baru ini anaknya nyablak dan polos banget. Bener aja. Pas waktu hari pertama dia masuk, setelah sesi sama HR, siangnya doi tiba-tiba nyamperin,

"Kak, aku disuruh duduk deket Kak Hawa, katanya."

Lah, siape nih? Datang-datang bukannya kenalan tapi minta duduk sebelahan. Tapi karena reputasimu udah nyamper duluan jadi aku gak aneh sih, gy. Wqwqwq.

Semenjak itu, aku teracuni dengan kerecehan Reggy yang hqq. Cara ngetik aja kayak langsung terpengaruh gitu kalo ngomongin beliau. Kata Eggy (panggilan sayangnya), "wqwqwq" lebih gampang daripada "wkwkwk" karena w dan q sebelahan. Iyain aja deh. Terus entah karena sehari-harinya bergaul sama dia atau di IG aku emang follow akun macam @komikin_ajah yang banyak kosakata macam "tercyduk", "y x g kuy", inputan kerecehan ala milenial aku jadi banyak.

Layaknya orang-orang kreatif, Reggy juga seolah punya dunia sendiri gitu. Kalau udah pasang earphone, Reggy akan bekerja di realm-nya dia dengan playlist shuffle yang kutebak pasti isinya jarang diganti. Dia juga sering banget menyuarakan apa yang dibacanya karena menurutnya dengan begitu jadi lebih paham. Jadi jangan aneh kalau tiba-tiba dia ngomong sendiri terus ketawa sambil baca sesuatu di layar handphone-nya. Atau misalnya terlibat dalam percakapan tak berfaedah seperti,

Temen ngajak jamaahan: "Reggy, sholat gak?"
Reggy: "Siapa?"

Lah, gimana. :)))

Tapi, meski dengan ke-absurd-annya itu, aku sih respect dan hepi bisa kerja bareng Reggy. Respect karena aku yakin sama skill-nya. Porto-nya bagus, rapi, dan bisa bikin copy yang kadang gak kepikiran tapi on point. Eggy juga kerjanya cepet, dia bakal nanya seperlunya terus sat set sat set jadi deh brosur, logo, infografis, video, template foto. Hasilnya minim revisi karena secara garis besar udah mencakup apa yang diminta.

Kadang, Eggy juga wfh (work from home, one of the advantages working in eFishery :p) mostly karena gak punya baju. Ajaib kan. Tapi beberapa kali juga dia wfh karena butuh stimulasi audio yang maksimal alias pengen bebas dengerin lagu sambil nyanyi-nyanyi. Kalau itu dilakukan di kantor kan nantinya meresahkan warga. Nah, di situ yang aku sama Reggy sangat berbeda. I work best and focus ketika kondisi lingkungan kerja gak ada noise yang mendistraksi, karena dengan begitu aku bisa menyusun ide dan menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan. Sedangkan Reggy butuh musik yang disetel keras biar dia semangat dan fokus kerja. Harus saling pengertian ya, gy, hihi.

Kalau lagi "wfh pagi, cikutra siang" terus pas mau berangkat ke kantor ternyata hujan, suka setor muka dulu doi.
Walaupun berseberangan gitu, sebenernya aku sama dia sama-sama introvert. Siapa yang sangka anak yang keliatannya bocor dan haha-hehe ini adalah seorang introvert? Tapi, memang ternyata kalau dilihat dari sifatnya, Eggy ini introvert. Sama-sama suka bingung dengan keramaian yang asing, lebih baik sendiri daripada harus banyak berinteraksi, tapi kalau udah berinteraksi dengan orang-orang yang nyaman bagi kita, jadi keluarlah asli-aslinya. Kita juga gak masalah dengan kesendirian, karena otak introvert bekerja dengan baik ketika punya banyak waktu dengan dirinya sendiri. Tapi at times pasti butuh masukan dan diskusi sama orang lain yang enak diajak ngobrol juga. Oh, kita juga sama-sama susah mengungkapkan maksud dengan verbal. We introverts speak better without speaking. :p

I can value her juga karena ada sewaktu-waktu gitu yang dia encourage ketika aku ngeluh sesuatu, dia bakal bilang kayak "gak apapa, kak.. kan gini gini gini". Entah karena emang baik atau kebanyakan mantengin videonya Kirana jadi kepengaruh :))). Terus kalau baca tulisan-tulisannya, sebetulnya Eggy juga deep dalam berpikir, tapi ya dengan style-nya yang ringan, seringan uang kertas 500-an jaman dulu. Ampun, gy. :)) 

Real Reggy inu juga adalah artis yang karyanya direpost sama @dagelan, @komikin_ajah, dan bahkan @ridwankamil. Nih salah satu komik yang dia bikin, collab cerita sama aku:




Yang mau minta dibikin-bikinin sama Eggy ini harap mengantri karena orderan sampingannya banyaak, hihi.

Masih banyak sih hal yang bisa di-share kalau ngomongin doi mah. Tapi sekian dan terimakasih dulu deh untuk di postingan ini. Boleh banget berkunjung ke halaman blognya untuk input kerecehan harian Anda, atau cek IG-nya untuk lihat karya-karyanya yang lain.

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day28

Monday, July 31, 2017

Makan Ikan

Cuma 2 jenis makanan yang gw gak suka: yang gak ada rasanya dan yang ribet dimakan.

Dengan asas poin kedua tersebut, maka ikan utuh termasuk makanan yang gak akan dipilih kalau ada di menu. Beda cerita kalau ikannya udah di-fillet atau dalam bentuk nugget yang tinggal hap, gak mesti mikir. Kalo ikan utuh tuh males banget gitu rasanya kalau harus mretelin duri-durinya yang kecil, yang kadang bersembunyi gak keliatan di antara daging. Ketika lagi lapar pengen makan malah jadi peer lagi gitu untuk ngeluarin duri-durinya. Mending kalau dapet, ini pernah nyangkut di tenggorokan jadi sakit banget kalo nelen. Akhirnya bisa diambil walaupun drama.

I'd rather not :p (source)

Tapi itu dulu, sebelum di eFishery. :p

Sekarang, setelah banyak baca dan denger soal dinamika petani ikan gitu, gw jadi bisa mulai menghargai jerih payah mereka menghasilkan ikan konsumsi. Menghargai dengan memakan apa yang mereka hasilkan. Yang mereka hitung pakannya setiap hari. Yang mereka pikirkan kesehatannya. Yang mereka pikirkan kualitas airnya. Caranya ya dengan mau makan ikan. Terutama ketika tim bikin konten "yuk makan ikan" terus rasanya hipokrit kalau sendirinya gak makan ikan. Maka, sekarang sih udah mau "ribet" makan ikan. Tadi malem aja kebetulan banget tuh menunya ikan nila bumbu kuning.

Nah, kalau nila enak sih, durinya gede-gede jadi gampang untuk misahinnya dari daging. Ikan mas yang emang agak peer karena durinya kecil dan halus tapi kalau nyangkut berasa bisul gak enaknya. Lele masih okay-ish. Karena lele kan biasanya tasty ya bumbunya jadi terbantu lah dengan mengecap bumbunya dulu selagi susah ngambilin duri-durinya. Mackerel, tuna, salmon gitu mah jelas sih enak dan gak ribet, secara serving portionnya gak akan sampai ke duri. Ikan medium (10 cm-an) masih gw skip karena ukurannya nanggung dan biasanya 50:50 antara duri/kepala/jeroannya dan daging yang bisa dimakan. Ikan baby oke lah kalau digoreng kering, lumayan pengganti kerupuk.

Kalau gini kan enak ya tinggal hap :p (source)

Ikan, terutama yang dibudidaya, ini diprediksi akan jadi ayam-nya pangan masa depan. Kenapa? Karena dalam area luas yang sama, one can produce more fish dibanding hewan pedaging lain. Mass production in a gigantic number is very much needed for our growing population. Jadi, kalau gw mau jadi world citizen yang sumber proteinnya dari ikan, dari sekarang harus mau makan ikan. Tapi kan kalau dibikin fillet mah I'd love to aja sih. Yaa, setidaknya ngelatih diri sendiri yang punya prinsip "gak mau ribet" ini. :p

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day27

Sunday, July 30, 2017

Ke Bandung Planning Gallery, Yuk!

Bandung punya tempat wisata baru lho!

Ada banyak alasan orang wisata ke Bandung. Kuliner, karena ada banyak banget tempat jajanan dengan range harga yang bervariasi, yang semua golongan SES bisa menikmati. Dulu sih nomor 2-nya setelah kuliner biasanya adalah belanja but I'm not sure sekarang emang masih ya? Orang mah sekarang ke Bandung banyak yang wisata ke alam-buatan macam Dusun Bambu, Floating Market, Bird Park, dan sejenisnya. Plus sekarang sih wisata taman kota tematik yang disuburkan kembali oleh pemkot juga jadi salah satu destinasi jalan-jalan favorit.

Kota kuliner, kota belanja, kota wisata-alam-sambil-ngadem, apa lagi ya sebutan untuk Bandung? Kota pendidikan, karena ada banyak perguruan tinggi favorit di kota ini. Kota kreatif, karena ada banyak komunitas kreatif yang isinya generasi muda penuh ide.

Coba kita padukan 3 hal terakhir tadi; antara spot wisata yang digagas pemkot + pendidikan + kreatif, lalu jadi...

... Bandung Planning Gallery!

Foto hasil sendiri masih di hp, mager mindahinnya :p. Foto nu batur heula weh.

Jadi, sesuai namanya, galeri yang digagas Bappelitbang ini isinya adalah informasi perencanaan kota Bandung di masa kini dan masa depan. Lebih dari itu, selain transparansi proyek, galeri ini sih tujuannya mengajak warganya untuk memahami Bandung secara utuh.

Di galeri ini ada ulasan tentang Bandung masa lalu, dari sejarah danau purba sampai masa kemerdekaan. Ada juga kondisi Bandung saat ini, berapa jumlah warga, pembagian kewilayahannya, dan fasilitas kota yang ada. Pengunjung juga bisa cari tahu soal rencana pembangunan transportasi dan aplikasi smart city yang sedang dicanangkan pemerintah, kayak monorel, penyewaan sepeda, Command Center, aplikasi SOS, juga perencanaan Bandung Teknopolis (Silicon Valley-nya Bandung kalo kata Kang Emil mah).

Uniknya, di galeri ini orang gak cuma baca dan lihat-lihat kayak di museum. Kita bisa dengerin audio tiap informasi di layar yang gak perlu pake alat yang disewa-sewa. Tinggal download aplikasinya di Playstore dan scan QR code di layar lewat app itu. Kita juga bisa interaksi/pilih informasi di layar pake touchscreen. Yang lebih seru lagi bisa main dress up jaman Bandung baheula pake teknologi AR (augmented reality). Terus bisa nyobain VR (virtual reality) camera buat experience gimana sih naik monorelnya Bandung nanti.

Suasana BPG

Kang Emil di salah satu pojok BPG
"Kumaha Pak, mabok gak naik monorel pake VR?" saur Kang Ipin.

Galeri ini adalah breakthrough karena ada banyak teknologi "kekinian" untuk menciptakan experience yang beda dari galeri biasa. Lokasinya ada di sebelah Taman Sejarah, Jalan Aceh. Satu komplek sama Balkot. Jadi kalau main ke daerah sana kuy ke BPG. Tanggal 1 Agustus besok adalah peresmiannya oleh Pak Wali, dari situ BPG akan beroperasi Senin - Sabtu jam 9 - 16. Bisa ditengok-tengok sikit bentuknya cem mana di sini dan sini.

Btw, kok promosi sih?

Jelas, karena dibayar. Haha, picik banget kedengerannya. Technically, gw ikut bantuin pengerjaan dari segi konten untuk BPG ini. Jadi, kalau nanti pas di area Smart City dan Urban Mobility, ingat-ingatlah muka saya. Kalau ada yang typo juga harap marahin saya ya--atau desainer yang copas-nya. :p

Proyek ini dikerjain udah dari akhir tahun 2015. Tidak selama itu sih sebenernya karena in the meantime, beberapa waktu sempet ditangguhkan karena satu hal dan lainnya. Alhamdulillah, akhirnya bisa dapat acc Kang Emil untuk launching. Kudos to our one and only boss, Kang Ipin, yang mengumpulkan kami semua untuk jadi tim dan yang berurusan sama dinas-dinas sampai beres.

Nuhun pisan, Kang, udah ngasih kesempatan gabung. Personally mah sangat senang dan bangga sih. Pertama, kerjaan ini adalah something that I love doing; membuat suatu informasi edukatif menjadi menarik untuk dinikmati orang. Kedua, this is a tiny tiny tiny tiny contribution that I can give for my own city. Terimakasih untuk menularkan semangat Bandung Juara with your witty and sharp view.

Segitu dulu pengenalan BPG-nya. Pokoknya, yang baca blogpost ini sampai paragraf terakhir wajib kesana ya!

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day26 

Saturday, July 29, 2017

Malam Minggu

Malem minggu.

Biasanya orang ngapain ya kalau malem minggu? Tadi begitu mau belok ke jalanan komplek rumah, banyak mobil dan motor yang seliweran bikin macet. Rame betul kaya mau tahunbaruan. Tapi ya emang gitulah yang yang selalu terjadi di daerah Dago atas setiap malam minggu.

Mungkin hal yang pertama kepikiran di pikiran kita pas denger "malem minggu" itu ya begaul ke luar, melepas penat. Ada yang kemudian (ini paling mainstream) jalan sama pacar, nonton sama temen, nginep di rumah saudara--intinya ke luar rumah lah. Makanya malem minggu identik dengan macet. Tapi tentu saja gw jg tahu kalau sebagian lagi ngabisin malem minggunya di rumah aja, melakukan hal yang disuka--termasuk gw. Hal yang disuka: tidur. :p


Macet malem minggu

Sebetulnya agak terusik aja sih dengan kata "malem minggu". Terusik dan sirik, lebih tepatnya. Kalo "malem minggu" gitu kan berarti malem kan kegiatannya? Kayak tadi siang gitu misalnya, pas siang macetnya biasa, eh pas malem macetnya luar biasa (lebay sih tapi ya intinya lebih macet malem). Artinya kan banyak orang yang baru keluar rumah pas malem yah? Terus itu orang balikna jam sabaraha euy? Gw mah jam 9 juga udah harus di rumah!

Itu yang "malem mingguan" emang kagak dicariin sama emak bapaknya? Itu mah lu aja, wa. Oh iya juga sih.
Emak bapaknya kagak kenapa-kenapa gitu itu anaknya masih di luar rumah jam 11? Iya orang lain mah gak kaya elu, wa. Iya sih emang.

Deep inside sih gw juga pengen nih ceritanya "malem mingguan". Bukan yang pacaran gitu ya maksudnya (lagian gak pernah tahu rasanya "malem mingguan jalan sama pacar"). Tapi yang beraktivitas gitu lah di luar rumah. I mean, although I love my own room and doing nothing, kadang bosen juga dan pengen hingar-bingar di luar. Being a city girl I am (sok iyeh banget gadis kota padahal cupu), seneng aja gitu jalan-jalan kota di sabtu malam. Atau lihat bintang juga will do. Intinya ingin bebas pulang malaaam, ahahaha.

Pernah gitu di beberapa kesempatan dimana gw bisa pulang lebih dari jam 9 gitu di malam minggu (biasanya kalau pas lagi nginepan di rumah temen). Terus kayak wow gitu, berasa bad girl padahal mah naon :))). Salah satu cita-cita gw juga nanti adalah nonton midnight pas udah nikah. Kalau udah nyoba sekali kayaknya bakal puaaasss. Kalau udah nikah mah sepanjang sama si suami ya bebas dong mau pulang jam berapa. :))

Jadi inget temen yang ibunya protektif banget terus pas waktu kita seangkatan ke Singapur, I could see that she was soooo happy pas jalan-jalan malem di Orchard Road. Well, me too. Basa sundanya mah "siga kuda leupas ti gedogan" yang artinya "kayak kuda lepas dari kandang". Kayak, orang-orang macam kita ini tidak berusaha untuk jadi "liar" kok, kadang hanya ingin "bebas" dari suruhan orang dan menikmati waktu saja.

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day25

Friday, July 28, 2017

Fav War Drama: Atonement

If you find a movie that includes:
  • World War (preferably II) setting
  • British setting
  • Based on true events
  • Tragic story
  • Benedict Cumberbatch
Then count me in. Or just let me watch it and let it consumes me for a couple of weeks. :p

Given the list, I can say that Atonement is one of my favorite movies. It's a fiction based on a novel with the same title, a war drama that is clearly inspired by the WW II as a background setting. This British movie casts my sherlockbaby Benedict Cumberbatch (not as a main character though) and is a tragic story. Plus, its amazing music background or "score" adds the melancholia which I always feel everytime I listen to it now.


Set in 1930 countryside of England, the story tells moments of misunderstanding around Cecilia, Briony, and Robbie. Cecilia and Briony are sisters from a wealthy family while Robbie is the housekeeper's son. Cecilia "Cee" and Robbie apparently attracts to each other and the innocent 13yo little sister feel kind of "alarmed" because Robbie has always been a nice person to Briony.

One time, Robbie wanted to send an apology letter because in the earlier noon, he broke a vase which then made Cee had to dive in a pond to find the piece. This broken vase scene was also the key because when Cee jumped out the pond, her clothes were all wet and Robbie just stood there watching her, intrigued by her look--and those were witnessed by Briony from a far. Consumed by lust after that moment, Robbie wrote a letter with a "sexual content" but then he put aside and started to write a formal one. Robbie then asked Briony to hand it to Cee.

Unfortunately, the letter was the first one. To make it worse, Briony read it, which made her more disturbed. Later that night, when the family had dinner together, Cee and Robbie finally confessed to each other and made love in Cee's house library. Again, out of curiosity, Briony trailed Cee's fallen earring and eventually found them in the library. Gosh, talking about personal space, Briony!

Cecilia, Briony, and Robbie
By witnessing their "romance activity", Briony was more convinced that Robbie was a "sex maniac harrasing her sister". In the middle of dinner, Briony's twin cousin gone missing and everybody searched for them, including the three. Briony then saw a man assaulting her other cousin and told everyone that it was Robbie who did it (while Robbie was the one who found the twin cousin who were gone missing). She showed the wrong letter to the police, as a proof that Robbie was always such a "bad guy".

Long story short, Robbie was put in jail and he decided to join the British army in order to got out of jail. Cee and Robbie met once before Robbie went to war and promised each other to wait and come back to build a life together. Can they fulfill their promises?

----

Just when after Robbie got into prison, the story became tragic because it shows how Cee, Robbie, and Briony lived their own lives, separated from each other. Of how Cee was devastated and never talked to her family after the dinner. Of how Robbie suffered emotional and physical pain during the war. Especially, of how Briony was filled with regret because she accused Robbie for a crime he didn't do.

The ending was quite a plot twist. I love it.

Atonement's score is all instrumental, I thought it would be suitable to be listened to while working but turns out I get so emotional and imagine the scenes instead. The sound of violin, piano, and a choir creates eerily beautiful tunes. The composer won an award for the score, though. Well deserved.



Well, if you like the war drama, especially set in British during WWII, this movie is a must-watch. I'm also gonna buy the book next month! Yay, so excited! If you guys have another recommendation on this genre, please let me know. ;)

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day24

Thursday, July 27, 2017

Kopi-kopian

Kalian #teamkopi atau #teamteh?

Dulu, tentu saja teh lebih jadi favorit kalau disuruh milih antara teh atau kopi. Teh bisa dikonsumsi dari jaman bocah, jadinya pasti lebih wajar untuk jadi beverage, sewajar air putih. Teh botol, es teh manis juga emang udah populer jadi minuman pelepas dahaga kalau lagi siang-siang panas atau sebagai penutup setelah makan. Jarang kan orang haus terus pengen kopi.

Ketika kemudian di buffet-buffet hotel/seminar gitu ngeliat kopi, rasanya kabita gitu sama warna dan harumnya yang seksi. Kesannya dewasa banget cuy minum kopi. Gw pun cuma ngelirik iri aja sambil ngaduk teh manis. Selain karena gak biasa, ternyata (dulu) gw selalu deg-degan setiap nyobain minum kopi. In fact sebenernya dulu rasanya gw sering deg-degan tiba-tiba, atau bahasa kedokterannya (kata si mantan, cnah) palpitasi. Gw takut ada apa-apa gitu sama jantung. Tapi alhamdulillah sih sekarang udah nggak.

Sehingga ketika akhirnya nyobain minum kopi lagi, gak deg-degan dan bisa enjoy, asik! Lupa deh kopi jenis apa yang diminum pertama waktu itu. Yaa, gak jauh lah kayaknya dari kopi Goodday. Entah kesambet apa lalu akhirnya jadi doyan kopi deh akhir-akhir ini, rasanya gak lebih dari 2 tahun yang lalu.

Ngopi @ Spiegel Bar & Bistro, Semarang, sambil nunggu kereta pulang

Tapi, memang bukan kopi addict sejati yang tahu jenis kopi dari aromanya, yang ngerti banget bedanya robusta sama arabika--sampe efeknya kalau diproses pake V60, Vietnam drip, French press, atau tubruk--dan yang "cannot function before coffee" di pagi hari.

Kopi-kopian gw rangenya caffe latte/cappucino, Nescafe (instant bubuk, current fav), dan kopi susu ala Vietnam drip.


Caffe latte @ Dapur Eyang, Tubagus Ismail

Goodday dan kopi lucu ala Starbucks buat gw terlalu manis dan gak berasa kopinya. Kopi item tubruk yang pernah gw cobain adalah kopi Kapal Api. Duh, wangi sih itu, tapi ampasnya balaaaa.. dan pait (you don't say).


Sok-sokan bikin kopi Kapal Api tubruk di rumah

Sesekali juga nyobain kopi yang di-grind langsung sama barista kantor, tapi tetep gak paham enaknya kalau gak ditambah gula dan susu mah haha cupu. Kata temen-temen penikmat kopi mah "enak ini asemnya pas" atau "hmm, berasa rasa kacangnya". Tapi bagi gw mah pas udah nyeruput sekali, mikir, terus diam-diam nambahin "aksesoris" :))). Belum sih rasanya berani menjamah espresso atau ala-ala americano gitu yang pure coffee.

Entah sugesti atau apa, sekarang jadi berasa pengen kopi gitu tiap pergi kemana. Emang sih jadi ada rasa gimana gitu setelah minum kopi. Ada kick yang beda dibanding minum teh. Padahal gak jadi super melek juga. Kopi kopi, tunduh tunduh. Alias minum gak minum kopi, kalau ngantuk mah ya ngantuk aja.

Setidaknya sekarang kalau ke seminar/buffet atau ketika ke coffee shop gitu, gw bisa sok keren ngambil kopi, hihi.

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day23