Saturday, February 24, 2018

Catatan Perjalanan Si Serbuk Micin

"Up to you. You're the boss," ujar seorang pria tengah baya asal Bangladesh, ramah setelah menenggak sirup jeruk botolan di depan minimarket 3 warna.

Saya, sebagai tokoh yang terbiasa mengambil peran remah-remah gurilem seribuan, langsung gelagapan sekaligus menampar (dalam pikiran) diri sendiri untuk jadi kuat karena toh memang sayalah yang harus bertanggung jawab. Siapa sangka, orang yang selalu merasa kecil dan berada di balik layar ini jadi orang yang menentukan waktu dan lokasi makan siang untuk orang Bangladesh di suatu daerah di Kabupaten Subang.

Gimana lagi kan (ter-teppy nih pake meme qasidah)
Jadi ceritanya 3 hari kemaren gw ditumbalin dapet tugas nemenin konsultan yang ditunjuk investor untuk menilai bisnis eFishery. Memang simply karena gak ada orang lain aja sih yang bisa (karena sibuk dan kendala bahasa), jadinya seorang content marketing officer dioper ke depan. Gw sebagai LO pun nemenin bapak-bapak Bangladesh ini ke kantor, warehouse, dan petani eFishery.

To give you some context, penunjukan gw sebagai LO ini ibarat Bibi (yang suka masakin makan siang di kantor) disuruh ikut quarterly meeting. Eh tapi jangankan Bibi, gw aja sebagai karyawan sering bengong :))). Pertama, walaupun iya sih udah beberapa kali kunjungan ke petani, tapi masih keitung jarang dan itu pun judulnya nebeng agenda. Kedua, ini kan investor--kan gak mungkin ya mereka nanya hal-hal ringan kaya kenapa tahu bulat digoreng dadakan. Ketiga, gw di-assign sendiri, Boi, sendiri! Oh iya, keempat, rencananya bahkan mau roadshow ke Pantura ngunjungin 3 petani di 3 lokasi berbeda. Si serbuk micin, sendiri, nemenin investor dari Bangladesh, keliling Pantura. Lempar saja aku ke kandang buaya, mz.

As it turned out, ternyata gak semengerikan yang dibayangkan. Akhirnya ada 2 orang yang nemenin di 2 hari berbeda. Pun, akhirnya visit petani cuma di 1 lokasi aja. Misuh-misuh selesai.

Apa yang mau gw highlight disini sih lebih ke pengalaman berkomunikasi dengan mereka. Sebut saja bapak-bapak Bangla ini K dan J. Hari pertama gw mules, hari kedua masih mules, hari ketiga juga mules. Intinya nemenin K dan J ini bikin pencernaan gak beres. Well, hari pertama was kinda shocking karena tentu saja yang namanya pertama suka ada efek kejut. Gw harus terbiasa dengerin English dengan aksen ala India dan frustasi ketika gak ngerti mereka ngomong apa. Lebih frustasi lagi ketika gak bisa jawab dengan baik.

Kita-kita mah kan ya baru kenal paling ngobrol asal daerah, kondisi jalan macet, cuaca, makanan, hobi. Lah ini, di hari pertama si Bapak K nanya soal stabilitas politik ("do you think it is politically stable in Indonesia?"), populasi kota ("what is the population in Bandung?"), perdagangan ("which one do you think Indonesia trade with the most, USA or China?"), dan komoditas agrikultur ("do Indonesia grow any nuts, like cashew?"). Gw merasa down dan super cape di hari pertama padahal secara fisik kerjanya cuma duduk dan ngomong doang. Aku pun curhat.

Well noted
Setelah curhat dan kontemplasi, gw berpikir sebenernya masalahnya di pede aja. Gw harus pede dengan broken English, yang penting message-nya dulu yang tersampaikan. Gw pun harus pede dengan jawaban gw kurang menjawab pertanyaan dia. Kalau gak tahu ya bilang aja. Karena setelah menghabiskan waktu lebih lama sama mereka, toh sebenernya mereka tuh cuma pengen tahu aja, bukan intimidating atau ngetes. Dia selalu pake pernyataan "what I'm trying to understand is..." yang gw nangkepnya ya emang pengen tahu aja and let me help you to understand. Pun, ketika dia kemudian misal cerita soal negaranya sendiri setelah dia tanya sesuatu soal Indonesia, terasa sekali diskusinya--sehingga gw pun merasa less intimidated.

Hari kedua, selama perjalanan pp Subang, walaupun mules, gw berusaha untuk memahami temuan gw di atas itu. Karena justru sekarang apa yang dia tanya dan ceritakan pun jadi hal menarik, kaya ketika dia nanya yang intinya kenapa kita sering lihat sawah daripada kolam ikan, padahal sama-sama butuh air dan lahan luas. Atau ketika dia nanya gimana Indonesia jadi negara muslim, influence dari negara mana yang bawa Islam jadi mayoritas, because Bangladesh is also a moslem country. Juga ketika dia nanya struktur tata negara kaya urutan dari negara-provinsi-kota-kecamatan, dia cerita juga kalau di Bangladesh itu pembagiannya lumayan banyak sampai ke unit terkecil. Lupa apa aja, salah duanya ada sector dan district. Momen yang rada cair adalah ketika lagi ngomongin orang :))), tapi itu kaya cuma 2% dari the whole topic hari itu.

Hari kedua: udah mules, hinyay lagi.
Di tambak udang Pak Bambang, Blanakan, Subang.

Hari ketiga, seharusnya udah gak ngurusin mereka lagi secara itinerary, tapi ya udah kadung apa-apa di gw jadi ya mau gak mau tetep ditemenin. Bapak K ini gw lihat sangat kepengen to the point, sedangkan orang yang diwawancaranya kalo jawab suka pake prolog dulu, atau nambah-nambahin poin. Disini gw melihat pola sih. Kadang, orang kita tuh kalo jawab sesuatu gak langsung ke intinya atau diulang-ulang. Apakah itu salah satu adat ketimuran yang membiasakan kita untuk memperhalus makna? Ini gw ngomongin diri sendiri sih.

Ketika berada di tengah sebagai translator antara Bapak K dan rekanan eFishery (orang Indonesia, sebut saja R), gw melihat dua sisi. Di sisi Bapak K dia punya pertanyaan semisal "do you have it?" yang dia gak peduli sama jawabannya mau yes atau no, toh gak ada yang bener--yang penting itu data. Sedangkan di sisi Bapak R ini gw bisa kebayang sebenernya jawabannya no tapi dia merasa kalo no ini jawaban yang buruk jadi dia kasih prolog dulu--yang padahal mah gak usah. Si Bapak K ini kelihatan gak sabar dengan jawaban Bapak R yang muter-muter, sehingga gw pun ikutan gemes "udah sih jawab ajaaa". Tapi kemudian gw kaya lihat diri sendiri. "Oh, gw gitu ya kalau ngomong, gak berani lugas.".

On the other side, si Bapak K ini emang dia punya banyak peer tapi waktunya sempit sih, jadinya serba buru-buru. Salah dia juga agenda sebanyak itu tapi business tripnya cuma 3 hari. You won't get as much as you want.

Di akhir sidak mereka, Bapak K dan Bapak J berjabat tangan dengan gw dan puja-puji meluncur. "Thank you, Hawa, you've been amazing". "Thank you for accompany us for the last 2 days". "Thank you for being proactive and helping". "Thank you so much". Basa-basi perpisahan sih, tapi quite nice juga sebagai penutup rangkaian mules ini. Selesai itu, gw kaya abis batre, langsung tidur di kantor dan "ke belakang" lamaa banget.

Kunjungan ini jadi their first time in visiting Indonesia, by the way.
Gw sih tetep tidak setuju dengan penunjukan go show sendirian ini. Tapi mungkin salah gw juga kenapa gak firmly bilang gak bisa di awal. Bisa jadi karena gw tergoda peluang untuk jadi significant sih. Pun, pada akhirnya, ada hal yang bisa dipetik dari pengalaman ini. Ketika di hari pertama gw down karena merasa gak lancar untuk komunikasi dengan orang asing dan langsung keinget gimana nanti kalau sekolah di luar negri, hari kedua dan berikutnya justru jadi merasa ya yaudah emang harus dihadapi--toh nanti juga bisa karena terbiasa. Dan ketika si Bapak K ini kritis banget nanya-nanyanya, gw juga langsung sadar soal kalau kita ke luar negri each of us itu adalah duta negara. Maka, sangat penting untuk setidaknya memperluas pengetahuan umum soal Indonesia. Hal yang jarang kita pikirkan kalau kita berada di dalam negeri. Or at least me--yang lebih tahu perbedaan cimin dan cilor dibanding perbedaan jumlah impor Cina-Indonesia dan US-Indonesia.

Monmaap nih ya kalau norak, apalagi buat kelen yang hidupnya di luar negeri. Ya jangan dibandingin hidupmu dengan hidup serbuk micin ini.

Cheers!

Sunday, February 18, 2018

Komunikasi Sains (Lagi)

I hope you guys haven't been tired of me pouring you another what and why science communication, because I'm going to share another one :p.

Tanggal 25 November tahun lalu gw ikutan workshop yang judulnya "Menulis Sains" dari Langit Selatan (LS). Thanks to Benet who informed it to me via Instagram (alhamdulillah IG ada faedahnya). LS sendiri namanya udah mampir di telinga gw ketika masih di Pinteraktif, for all I know that it is a media dedicated to share anything about Astronomy in a pop-science way, dan yang bikin orang ITB. Long story short, meluncurlah gw ke lokasi workshop.

Begitu datang, meski telat 15 menit, gw orang ke-2 yang hadir di ruangan... dari 10 orang saja yang daftar. Gw antara sedih tapi maklum karena pertama topiknya mungkin gak begitu se-ngepop dan familiar kayak misal "workshop bikin IG story kamu gak garing" atau "workshop vlog untuk pemula" atau "cara untung bisnis MLM", kedua ya mungkin nama LS gak menggedor banyak orang. Beda misal yang ngadain dari kampus, atau Kompas. Atau mungkin publikasinya aja yang sengaja gak dibikin gebyar karena ternyata peserta yang hadir pada akhirnya punya waktu untuk beneran dikasih feedback sama pembicara.

The spark in me had already begun when I chatted with two speakers while waiting others to come. Mbak Vivi (Avivah Yamani) yang adalah pengelola LS langsung bilang "Oh kamu temennya Toru sama Kiboy? Yah dunia sempit" pas tahu gw dulu di Pinteraktif. Langsung berasa akrab :)). Di basa-basi itu mereka nanya kenapa tertarik ikut acara ini, gw pun cerita pengalaman kerja dsb, bahkan cerita rencana mau ambil S2 SciComm, sampai Mas Zaid (Muhammad Zaid Wahyudi) ngebuka laman eFishery University yang gw kelola di kantor. "Menarik ini," kata beliau. Dibilang gitu sama wartawan rubrik Sains & Teknologi koran Kompas ya gimana gak seneng.

Sesi workshop pun dimulai.

Mbak Vivi memulai dengan penjelasan tentang komunikasi sains; the what, why, and how in general. Gw lupa deh, apakah di blog ini udah pernah gw share soal why scicomm? Oh udah deng, dengan sudut pandang gw sendiri sih. Kalau menurut Mbak Vivi, yang kemudian gw aminkan, kira-kira seperti ini:



Keliatan gak sih? Ini deh ditulisin:
  • Tanggung jawab ilmuwan
  • Isu penting harus diketahui publik
  • Mempengaruhi pengambil kebijakan
  • Fokus media pada berita cepat
  • Latar belakang yang berbeda membutuhkan pendekatan & mekanisme komunikasi yang berbeda
  • Menegaskan garis batas antara sains dan pseudosains
  • Menginspirasi anak muda untuk menjadi ilmuwan
Mbak Vivi sendiri adalah lulusan S1 dan S2 Astronomi, anak Himastron (Himpunan Mahasiswa Astronomi) ITB yang emang suka nulis juga. Selain poin di atas, hal yang paling bikin gatel Mbak Vivi adalah banyaknya hoax di media berita kita, terutama soal ilmu astronomi. Katakanlah teori bumi datar, isu Mars bakal segede Bulan (serem banget), berita soal jarak terdekat Matahari bikin warga Jakarta lebih agresif, bahkan soal supermoon saja beliau sangat berhati-hati untuk gak membesar-besarkannya like other media did. Mbak Vivi menggunakan science communication untuk melawan hoax.

Pengen sih gw tulis panjang lebar soal poin-poinnya Mbak Vivi itu tapi nanti kepanjangan. Gimana kalau kita simak aja apa yang Greg Foot ceritakan soal kenapa scicomm itu penting. What he delivers are similar with Mbak Vivi's talk:


"To share the wonder of science," he said. Exactly what I wrote in my personal statement for scholarship application :)). Eh btw, Mas Greg ini salah satu science communicator yang namanya cukup "kedengeran", setidaknya di Inggris.

I want to share something my father said as well regarding a science communicator that connects scientist and society. Katanya, kita punya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tapi gak ada orang profesional yg mempublikasikan jurnal-jurnal penelitian. "Kalaupun ada publikasi, mereka hanya administrasi saja. Bahkan ITB pun gak ada badan khusus yang mempublikasikan penelitian. Bandingkan sama NASA, itu jadi sesuatu yang besar," ujar beliau. Agak diedit dan sensor sana-sini ya soalnya ya Pak Dadang kan kalau ngomong mayan pedes ya sis. Intinya, beliau juga menyayangkan padahal kita punya banyak lembaga-lembaga pendidikan tapi ya sains hanya dikonsumsi di lingkungan mereka sendiri saja. (Mas/Mbak Humas LIPI, mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol sambil ngopi?)

Bicara soal pendidikan--balik lagi ke suasana workshop "Menulis Sains"--di sesi kedua yang disampaikan oleh Mas Zaid, beliau punya pendapat sendiri kenapa komunikasi sains ini penting: membangun logika bangsa. Beuh.

Sebagai science journalist, Mas Zaid menggunakan sesinya lebih ke teknis menulis. Katanya, ada 4 hal yang harus dimiliki kalau mau menulis sains, apalagi yang tujuannya untuk inform banyak orang:
  1. Logis, mampu menalar
  2. Skeptik, tidak mudah percaya
  3. Paham teknis
  4. Jujur
Kemudian lanjut ke jenis-jenis tulisan, gimana caranya nulis teras berita, konstruksi 5W1H, nyari ide liputan sains dari berita sehari-hari, sampai akhirnya ke sesi dimana masing-masing peserta mencoba membuat tulisan tentang sains. Kami berlima (iya, pesertanya akhirnya 5 doang yang hadir!) dikasih waktu sejam lalu satu-satu maju untuk jelasin singkat soal tulisannya. Gw, karena antusias dan emang kepepet ada janji jam 6 sore, akhirnya berinisiatif untuk maju pertama. Memang ya, manusia yang suka tidur dan dapat nilai D di kelas kalkulus seperti saya ini bisa berubah jadi ambisius kaya Agnes Mo kalau berhadapan dengan hal yang disukai.

Sesi Mas Zaid soal menulis sains. Ambisius kan aku duduk paling depan. :)) (credit Langit Selatan)

Waktu itu karena lagi rame soal Adam Fabumi, si anak bayi yang meninggal karena komplikasi penyakit langka, gw pun menulis tentang apa di balik sindrom Dandy Walker itu. Feedback Mas Zaid soal tulisan gw adalah katanya ini lebih cocok untuk disimpen di media-media internet. Gw antara skip instruksi tugasnya atau emang kebiasaan bikin artikel buat EU, jadinya emang sengaja dibikin buat digital, plus H1 H2 buat SEO--yang kemudian ini juga dikomen sama beliau kalau jangan terlalu banyak dijeda karena bakal terlalu pendek kalau untuk media koran. Well, memang beda media beda pendekatan. Tapi beliau secara umum suka dengan apa yang gw tulis dan impressed dengan closingnya yang kata dia memberi bekas bagi pembaca. Good to know.

Goal: jadi pembicara untuk komunikasi sains di Indonesia! (credit Langit Selatan)

Setelah gw lalu ada guru-guru SD yang pengen juga bikin sesuatu yang engaging buat muridnya. Satu soal cuaca, satu lagi topiknya tentang lendir paus. Lagi-lagi, karena excited, gw yang biasanya diem kaya kecambah (you should see me in every quarterly meeting at office :p), nyumbang masukan juga yang diamini pembicara. Not gonna lie, it felt good.

Selain itu, hal menarik yang gw ambil dari sesi diskusi langsung tersebut juga adalah caranya Mas Zaid memberikan feedback kepada peserta dengan sabar. Tulisannya ibu-ibu guru itu were not the best I would say, tipe yang bikin urut-urut kepala kalau gw jadi editor. Seperti ketika gw harus meriksa tulisan yang dibuat orang lain, dan ketika gak ketemu sama ekspektasi, lalu gw hanya akan megang kepala dan diam, gak tahu harus gimana. Dari Mas Zaid ini gw belajar gimana mengartikulasi masukan, apalagi terkait tulisan yang beliau sendiri bilang kalau nulis itu kadang adalah soal rasa dan seni. Emang harus pinter aja kaya misal ga bisa tuh ngasih feedback cuma "kayanya lebih enak gini kalimatnya" tapi harus dibikin jelas kaya "anak kalimat ini harus nyambung sama induk kalimat sebelumnya, pakai kata keterangan aja biar bisa disambungin". Note to self, pinter dan sabar.

Segelintir orang-orang yang tertarik scicomm (credit LS)
All to all, gw seneng bisa ikut acara semacam ini. Seneng banget bisa menemukan orang-orang yang berkecimpung di dunia scicomm in real life. Satu pesan dari Mas Zaid soal scicomm: mulai aja sekarang. Teknis bisa dipelajari sambil jalan, yang penting konsisten. *ngomong ke diri sendiri

Terimakasih sudah mengisi bensin untuk membakar semangat komunikasi sains!

Cheers!