I promised myself to read one book in a month.
That began in 2015 when I observed one of my old friends that also like to read and write (bedanya dia waay much better in writing--wait when I think about that, he is good at logical English essays, the emotional wordy-jumbling writings masih lebih juara gw, haha jumawa). He reads a lot. Gw jadi malu sendiri kalau menyebut diri sendiri "writer" tapi masa baca bukunya bolong-bolong. So, gerakan #abookamonth itu gw konsistenkan sejak itu.
Tapi tentu saja yang namanya Hawa Firdausi ini gudangnya kesalahan dan khilaf. Semenjak 10 bulan yang lalu, kegiatan itu mulai tersendat. Kepotong liburan ke Belanda-Jerman lah (sok iye banget kedengerannya haha), walaupun masih ngusahain baca di pesawat, mumpung long flight. Berangkatnya sih enjoy, pas pulangnya the most dehydration state I've ever been jadi ga enjoy bacanya (nanti gw share deh soal puasa di pesawat). Kepotong gw di kerjaan yang baru lah. Dan yang paling kerasa adalah kepotong emosi gw sendiri. Banyak alasan lu, wa. Iya emang sih.
Terutama ketika kepotong sama emosi gw sendiri itu, gw rasanya kehilangan diri sendiri dengan tidak membaca. I lost my intuition to write--well I write everyday for work, but not for the soul. Ketika gw merasa "tidak bisa" menulis, itulah tanda-tanda bahaya. Karena menulis adalah satu-satunya daya jual gw. Untuk apply-apply S2 juga bahaya, karena banyak sekali syarat yang mengharuskan gw nulis, dari hati pula kan (motivation letter dan kawan-kawannya). Makanya, sebelum gw menjadi gila, maka gw kembali ke jalan yang benar dan mulai force myself untuk baca lagi.
Karena bener deh ya, jaman segala instan gini--udah kaya generasi baby boomers belum gw ngomongnya?--berita instan kaya Line Today, video-video instan, status di sosmed, bikin orang keenakan, jadi ketemu teks panjang tuh rasanya males. At least itu terjadi di gw yang belakangan sangat ketagihan Instagram. Damn you, Instagram!
Eh ini originally mau ngomongin apa ya? Gw kan mau share soal buku yang gw baca untuk bulan Mei ini malah ngacapruk (Sundanese for 'ngelantur'). Intinya, bagi gw, dengan membaca, sense of writing gw terbangkitkan. Dan ketika sense of writing terbangkitkan, gw bisa nemu diri sendiri. Itu aja. Ngga maksud sombong "sok iye banget pengen dikatain pinter karena baca buku". Tapi cara inilah yg bikin gw bisa terus bergerak dan merasa berharga. Cara kalian pasti beda-beda. Doesn't matter, asal tidak saling menuduh.
By the way, these are the books:
Happy Little Soul by Retno Hening
The Rule of Four by Ian Caldwell and Dustin Thomason
Reviewnya gw tulis di next post deh, karena yakin pasti bakal lebih ngacapruk lagi.
Cheers!
No comments:
Post a Comment