Sunday, March 26, 2017

Cinta, Cita-cita, dan Realita

Apa kesamaan antara La La Land dan Galih & Ratna?

Image result for la la landImage result for galih dan ratna

Me and Venes as cinema buddies sepakat bahwa keduanya bercerita tentang cinta, cita-cita, dan realita. Berapa banyak cerita kehidupan yang melibatkan ketiganya dan kemudian terjadi konflik akibat tarik-menarik antara ketiga hal ini? Ada banyak, gw yakin. Dan itulah kenapa kedua film ini sangat realistis, manis sekaligus pahit. Have you guys watched them?

Mungkin basi sih kalau review La La Land sekarang. But I haven't stated it, so here I am: I LOVE IT. From the moment I saw the trailer, I could feel that this is gonna a brilliant movie and it is! The musical expression is one of a kind and I think all the scores are the story itself. My favorite scenes are the planetarium and the epilogue scene. The emotions are right there in the tunes of piano, bass, saxophone, and other musical instruments in the big band. Genius.



Plotnya sih not that extraordinary but RELATABLE. I don't care for spoiler alert though. Mia and Sebastian are two people who found similarities and comfort in each other then yes they fall for each other. They have their own dreams and struggling to make it comes true. It's not easy and they have their ups and downs, but eventually they realize in order to pursue the dreams, jalan mereka sudah tidak bisa dipaksa sama lagi. HIKS. Tapi ya gitu, namanya juga hidup. When the movie was about to end, and Mia and Sebastian exchanged the looks, I was squealing inside; "God, they used to be close to each other, supported each other, but then separated for the greater good~"

Sama halnya kemudian ketika nonton Galih & Ratna. Tidak sebrilian La La Land sih. Ini gw antara malu juga nonton ini karena berasa anak remaja (menolak kenyataan bahwa 2 tahun lagi gw menjadi 30) tapi penasaran karena gw anaknya murah sama iming2 review. What actually got me was the soundtrack. Meskipun gw sebel sama vibe AGJ (Anak Gaul Jakarta) dari GAC tapi tidak bisa dipungkiri kalau mereka punya suara dan aransemen musik yang bagus.





Anyway, cerita Galih & Ratna ini berpusat pada kehidupan Galih dan Ratna (you don't say)--anak SMA yang suka-sukaan (jijik ga bahasa gw) tapi pada akhirnya harus berpisah karena, guess what, mereka harus mengejar cita-cita mereka masing-masing. As you may know, this movie is a remake of Galih & Ratna tahun 70an. Di cerita aslinya, bapaknya Ratna menentang hubungan anaknya dengan Galih karena ga "setara" secara status sosial dan akhirnya mereka berpisah karena Ratna dijodohin sama orang lain.

Di cerita Galih & Ratna versi milenial ini, mereka punya kesukaan yang sama, yaitu musik. Galih convinced Ratna kalau dia berbakat nyanyi dan Ratna encouraged Galih untuk bikin toko kasetnya hidup lagi (the thing that Galih wants so bad). They also have their ups and downs, tapi pada akhirnya, kenyataan berbicara. Ada jalan hidup yang mengharuskan mereka untuk memilih, ada tujuan harus mereka kejar--dan realita tidak menjadikan garis-garis itu bertemu.

Cinta dan cita-cita terdistorsi dalam bangun ruang bernama realita. Garis takdir yang bersinggungan tapi tak menjadi satu. Terpengaruh sejenak untuk menjadi pribadi yang tak lagi sama. Menyimpan kenangan yang menjadi kolase cerita. Berpisah untuk menjadi lebih baik, demikian realita berkata.

Woah, why am I being so deep? :)))

Ya udah gitu aja review melankolis gw tentang 2 film ini. Anyway, Galih & Ratna ini ringan seringan chiki tapi ga malu-maluin kayak FTV kok. Mau nonton mangga, ga mau nonton juga ga salah. Jadi, kamu terakhir nonton film apa? How did it make you feel? Film bagi gw adalah perayaan kehidupan dan film yang bagus patut diapresiasi. Nonton apa lagi ya nanti? :)

Cheers! 

P.S: Our story is not easy as well, Kinci. Apakah garis takdir kita bisa bersatu?

Thursday, March 23, 2017

Rehat Sejenak

Sepertinya gw sedang mengalami writer's block.

Dengan pekerjaan gw sebagai tukang nulis tentu saja hal demikian adalah bahaya. Biasanya, nulis--well, not necessarily writing, but typing--adalah sesuatu yang comes natural to me. Inilah kenapa gw mengidentifikasikan tulisan gw adalah tulisan yang dipicu oleh rasa karena when it comes from a "feeling", hasilnya pun akan maksimal because I put myself in it. Ketika gw harus menulis sesuatu yang tidak melibatkan hati, maka gw akan kesulitan dan take a loooooooooooooooooong time to make it done. Even when it's finished, I didn't proud of myself. Haha, emotional writer. Whereas the world doesn't always count on feelings. Sigh.

Ah, maybe I need some times to break. That's why I take my paid leave two days early before my departure to Semarang. Oh yes, I'm going to Semarang this Saturday evening all by myself! Woooo, so excited!

I promise myself to write a summary of my solo trip in this blog. Semoga bukan sekedar wacana.

See you soon, Semarang!

Friday, March 17, 2017

Habis Bensin

It's been almost six years since I entered this jungle that's called life.

Kalau menurut konstitusi usia dewasa itu adalah 17, kalo menurut gw pribadi, gw mulai dewasa umur 20. Dan, hidup yang sebenarnya dimulai ketika lulus kuliah, umur 22. Karena kuliah, bagi gw, adalah perpanjangan dari masa pendidikan wajib. Orang--yang gw lihat secara naif di lingkungan sekitar--menjalani S1 karena wajib. Selesai itu, barulah mereka punya kendali mau melanjutkan apa dengan hidupnya. Karena kemudian, pilihan-pilihan yang diambil sangat beragam. Ada yang nikah, ada yang lanjut sekolah, di luar dan di dalam negeri, ada yang kerja, di  luar dan di dalam negeri, ada yang melanjutkan bidangnya, ada yang melanjutkan sedikit berhubungan dengan bidangnya, dan ada yang mengambil jalur baru sama sekali. Maka, sangat tidak adil kalau menyamaratakan timeline karena masing-masing dibesarkan di lingkungan yang beda dan punya prioritas yang tidak sama.

Anyway, that's my personal view. "Telat lu baru hidup di umur 22!" mungkin itu sebagian dari apa yang orang lain pikirkan terhadap pendapat ini. Bodo amat.

And speaking of late, di kondisi gw yang sekarang juga gw belum jadi siapa-siapa. Ada 2 pit stop yang bagi gw adalah accomplishment yang harus gw capai demi bisa jadi siapa-siapa: S2 dan nikah.

My mother be like: "Have you found someone who you can marry yet?"
My father be like: "Have you admitted to a master course yet?"

Gw berpikir kalau gw udah punya 2 hal itu, masalah akan selesai. Padahal dengan menambah responsibility di 2 hal tersebut, masalah-masalah lain yang mungkin lebih besar sudah menunggu. Tapi setidaknya, gw sudah ga berhutang lagi ke orang tua gw.

Lalu? Kenapa belum kesana?

Gw habis bensin. Gw ga tau apa yang bikin gw habis bensin dan kenapa itu bertepatan sekali dengan pekerjaan gw disini. Rasanya cape ga beres-beres, padahal produktivitas menukik jauh. Gw kehilangan fokus dan semangat untuk memulai lagi. Tapi kemudian--karena ga ada yang akan menolong diri sendiri selain gw sendiri--gw berusaha untuk menata kembali tujuan gw. Meskipun gw ga tau apa itu. Mungkin gw telat, tapi toh kesempatan hanya dikotak-kotakan oleh manusia sendiri. Gw meyakinkan diri sendiri kalau ada ribuan cara disana yang bisa dicoba, asal cara-cara tersebut bisa mengantarkan ke tujuan.

Bukankah tidak ada kata terlambat untuk memulai lagi?

Cheers!

Monday, March 13, 2017

Can't Get Enough of the 20s

Jadi, mulai dari mana ya?

Gw lemah sama vintage stuff. Dari dulu. Mungkin pengaruh lagu dan buku yang dikonsumsi semenjak SMP: Norah Jones, Agatha Christie, Michael Buble, Kings of Convenience. Mood setting yang menjadikan gw melankolis dan klasik romantis. Dengan demikian maka sekarang ketika berhadapan dengan apapun yang sifatnya vintage, I'm instantly turned on.

And what kind of "vintage" do I mean? Egyptian tale? Too ancient. Renaissance era? Too aristocracy. The 60-70s retro? Too colorful and too recent. So that leave me a Victorian, Edwardian, the (so-called) roaring 20s, the 30s, and the WW2 setting 40s type of "vintage". I fancy the pallette, the creepy photograph, the houses, the furniture, the fashion, and the story in those eras.

Ketika nemu video 100 years of fashion, gw langsung jatuh cinta rasanya. Bless you, whoever made this. This kind of video is brilliant. Can't pick up my favorite, but these two make me swoon every time.





Dan selalu aja the 1920s fashion that gets me. I mean, look at those shoes and dresses. So pretty and wearable. Kemudian gw pun melihat lagi baju yang menurut gw nyaman dipake. I'll wear something that hides any curve, including thighs and waist. Well, that resembles something, isn't it?

Abaikan betis-betis bule di belakang
So that's why I feel so relatable to 20s fashion. I loooooooove the drop waist, the boxy figure, the below-knee length dresses (you can see the inspirations in my earlier post). I looooooove the mary jane, the T-strap shoes. Gw punya 1 tipe heels mary jane dari Adorable Project (the one that I wore with the white bridesmaid dress).

And it's not just about fashion, what fascinates me is the story behind every fashion style of the era. There is a reason why women wanted to look like that in the 1920. Go watch this old-school video, the ultimate fashion history:


I'll make some bullets about the 20s fashion style;


  • Yes, what you see is the Western fashion style. Budaya barat sangat dijadikan kiblat dari dulu. I mean, tidak semua wanita di dunia pada tahun 1920an punya style kaya gini. Tapi memang, apa yang diperlihatkan Barat, menjadi sebuah mainstream di beberapa negara, termasuk Indonesia. Gw pernah lihat beberapa foto orang Indonesia tahun 1920 yang gayanya pake pakem Barat ini. Gitu juga dengan negara Asia lainnya, Jepang misalnya. Karena dia besar dan mainstream, ulasan mengenai style Barat ini gampang ditemukan dimana-mana. Kalau ada the ultimate fashion history of Indonesia 1920, I WOULD LOVE TO SEE THAT. Which probably ga jauh dari kebaya tradisional aja sih (cmiiw).
Dutch East Indies 1922
  • The 1920s is also known as "the roaring era". Info yang mau sampaikan berikut ini mungkin info sepotong sih, tapi sepengetahuan gw adalah karena Amerika menang perang di WW1, harga saham naik, generally keadaan ekonomi membaik. Orang sana lalu pengen hura-hura, no more banned alcohol drinks. Teknologi banyak diciptakan di tahun tersebut, like automobile, it's basically a modern era after the war. Hence, it was roaring. Hingar-bingar.

  • Keadaan ini kemudian diterjemahkan ke fashion. Perempuan seolah embrace the modern era with "rebellion". Mereka menghilangkan korset yang selama ini sangat gak nyaman dipake, mereka menaikkan rok mereka sebetis yang sebelumnya gak diterima sosial (the long dress of 1910s), dan basically they wanted to look boyish dan leluasa bergerak. Hence, the icon is curveless and boxy. Not to mention the flat-chested was the ideal beauty back then. Quite the opposite of the full bosom of the 1900s.
  • Now move to the face and hair. Women cut off their hair into a very short hair as a rebellion to a long, flowing hair of 1900s. The accesories then fit their hair like the cloche hat and the iconic hair piece like Daisy of The Great Gasby wears. Make up dengan dark eyeshadow and the slopey thin eyebrow seolah mencerminkan kalau lo abis party so hard last night that you look tired. The more tired you look, the fancier you get. But of course, you have to look exhausted in your big fur scarf, wearing pearls around your neck, holding a cigarette, and a glass of champagne. What a 1920s western typical look.

  • What else? Oh, the jazz age. Yep, one of reasons I love the 1920s. Tahun 1920, katanya, adalah dimana musik jazz lahir. Yang menurut gw menarik adalah jazz ini dulunya dianggap asing, makanya komunitas musikus jazz ini diam-diam menggelar performnya di basement-basement gedung. Lihat deh The Great Gatsby atau Fantastic Beast and Where To Find Them, when they want to approach someone secret in a jazz bar, they have to step down on stairs or walk in a dark alley to get inside. Ibaratnya jazz ini kayak rap/hip-hop di tahun 80an yang belum diterima masyarakat. Tapi, gak lama, mungkin karena semua hingar bingar, jazz mulai keluar dan akhirnya menjadi ciri khas dari era ini.

  • Flappers. The populer term to describe the era. But this is so western style. Basically, flappers are the entertainers (women) who wear a revealing, sequin, fringe dress. They basically dance in a provocative move.

  • Art deco. Ini adalah style tahun 1920 secara umum yang kemudian diaplikasikan pada banyak hal, gedung, lukisan, desain kursi, meja, termasuk motif pakaian. Art deco mengusung kesimetrisan yang rigid, kotak-kotak yang rapi. Mungkin itu juga alasan kenapa 20s dress berbentuk "kotak", the boxy figure, remember?
Art Deco design. Yes, you probably have seen this as an opening in The Great Gatsby
  • The end of this era, kalau merujuk ke video di atas, is quite interesting too. Dimulai dengan hingar-bingar, diakhiri dengan kehancuran. Katanya, tahun 1929, saham di Amerika anjlok--which then led them to The Great Depression. Term tersebut sering banget gw denger tapi baru tahu gitu alasannya. And what's more interesting is that the depression also affected the way women wore their clothes. Cukup jauh juga dari style 20an. Sangat menarik. Kalau gw lanjutin bakal panjang banget nih.
Phew, what a long post. Can't get enough of the 1920s, though. Love to browse and analyze more. Maybe next time I'll write some fact points from the 30s and 40s (I also looooove the 40s--but more like to its history, not the fashion).

Alright, folks. Cheers!