Monday, September 17, 2018

Master Study at MBA: The Early Challenges

Ceritanya lagi kenalan dengan sesama mahasiswa baru, sebut saja A.

A : "Kamu angkatan berapa?"
Gw: "2007"
A: "Oh 2007, sama kayak suamiku. Aku 2009."

Detik itu gw seolah diingatkan akan 2 hal:
1. Gw tua.
2. Gw belom kawin.

Bukannya tidak sadar akan kedua hal tersebut, tapi dalam diri gw sebetulnya sudah dalam keadaan damai dengan diri sendiri. Bahwa menjadi 20-something ini tidak kemudian otomatis menjadikan gw "tua" dengan definisi sesungguhnya yaitu ubanan, pikun, dan osteoporosis. Bahwa belum menikah adalah fakta (dan mungkin juga keputusan) yang gw terima dan jalani sepenuhnya.

I was fine with it, until I met people.


Soal umur adalah the earliest challenge I have to face ketika masuk MBA ini. As you may have read in the earlier post about my study, this major is like a "second-grade happiness" atau "pilihan kedua" karena pilihan pertamanya scicomm. Tapi walaupun begitu, I made this decision, and I was excited about it--bayangan akan menjadi mahasiswa, belajar hal baru, nulis, dan ketemu rekan seangkatan yang diverse.

Diverse. Boy I was wrong.

Di pikiran gw yang naif, idealis, dan perfeksionis ini, teman-teman seangkatan gw akan terdiri dari umur 23-32 dengan sebaran yang rata. Ternyata, hidup tidak seindah itu. Ternyata, populasi terbanyak adalah di kisaran 22-24. Dan ternyata, (sepanjang pengetahuan gw sampai sekarang) I am the oldest girl in the group. Oldestnya pencilan atas pula. :))

Sebelum ketemu face-to-face dan di awal berinteraksi dengan orang-orang, gw masih pede menyebut angkatan gw, seperti yang terjadi di dialog atas. Sehingga ada segelintir orang yang tahu kalo gw 2007. Tapi kemudian ketika gw baca demografisnya, gw mulai mundur dan merasa gak nyaman. From that day, kalo ada yang nanya angkatan, gw akan balik nanya;

"Kelihatannya angkatan berapa?"
"Hm, 2013 juga?" (((juga)))
"Hehe, ya udah percaya itu aja."
Yang berujung mereka manggil gw nama tanpa "kak", "mbak", atau "teh". Which is fine to me, malah jadi risih ketika ditambah embel-embel itu. Jadi penasaran gimana reaksinya nanti ketika tahu gw 6 tahun di atas mereka. Bukan apa-apa sih, gw sendiri pun kalo memposisikan jadi mereka juga bakal kaget. Ibarat lihat angkatan 2001. :))

Why this age gap bothers you so much? Don't you have a bf who is 5-years younger?

Oh ya, the fact that he is 5 years younger really helps me, though. Dia memperlebar toleransi pandangan gw terhadap orang yang lebih muda. Kalau gak sama dia, mungkin sekarang gw masih look down orang yang lebih muda dari gw, apalagi yang 5 tahun di bawah. Ngaku deh, angkatan berapa pun kalian, pasti pernah lihat orang yang 2-3 tahun di bawah terus nyeletuk dalam hati "oh bocah". Mending "oh", mungkin gak sedikit juga yang nganggep "ih". Gw bukan bicara tanpa sampel loh ya, karena gw melihat beberapa contoh yang kayak gitu. Gak heran juga, ketika masa sekolah kita pada umumnya dihabiskan dalam aroma "senioritas", tanpa sadar membentuk mindset yang-muda-yang-gak-tahu-apa-apa. Padahal, usia gak lagi relevan ketika udah masuk ke dunia kerja.

Nah, soal umur ini sebetulnya ketika gw di eFishery sih gak ada masalah. Temen gw banyak yang lebih muda dan gw pun berteman aja kayak biasa. Bedanya adalah kalau kita kerja kan masuknya gak barengan, skillnya beda-beda sehingga kerjaannya pun beda-beda. Gw sangat respect ketika ada yang lebih muda dari gw dan jago atas yang dia kerjakan. Sedangkan kalau kuliah kan masuknya barengan, belajar hal yang sama--ibaratnya startnya dari titik yang sama. Ini menjadikan gw yang umurnya jauh lebih banyak jadi merasa bodo sendiri. You know, kayak anak SMP kelas 3 gak naik kelas dan harus ngulang di kelas 1. It feels like "I should have known something at this age, but I don't".


Gw sempet ngedumel sendiri dan bertanya-tanya,
"Kenapa sih orang baru lulus S1 langsung S2?"
"Emang gak boleh ya, yang udah 7 tahun lulus lalu ambil S2?"
"Is it too late for me to take a master study?"
"Kenapa sih orang-orang buru-buru pengen ambil MBA? Coba lihat jurusan lain, kayaknya masih banyak aja yang umur 30-50."

Tenang, gw juga tahu jawaban dari semua itu kok. It was just my rant.
Eh btw, ada 1 orang yang umurnya 36 dan 1 orang 50-an, bapak-bapak berkeluarga. Sekali lagi, gw adalah cewek paling tua (dan belum nikah) satu-satunya di angkatan. Wekaweka.

Oh iya, satu lagi poin penting terkait ini. Gw mengambil program YP (Young Professional). Sebagai informasi, MBA itu ada 3 program: YP, CCE (Cultural and Creative Entrepreneurship), dan EMBA (Executive MBA). Pertimbangannya adalah, gw kan emang mau resign dan fully committed sama kuliah. Maka pilihannya antara YP atau CCE, karena EMBA itu kelas karyawan, yang kuliahnya Jumat-Sabtu doang. Gak milih CCE karena CCE harus punya proposal bisnis dan they will interview you as part of the admission. So, YP then, the regular one. Di booklet MBA sebetulnya tertulis keterangan kalo YP ini--sesuai namanya which I quote: "diperuntukkan bagi professional muda dengan pengalaman 1-2 tahun kerja". TERNYATA HARFIAH SEKALI YA PEMIRSA. :))

Gw pun melakukan investigasi. Gw tanya-tanya temen alumni EMBA (seumuran), katanya dia aja berasa yang paling muda di kelas. Gw tanya kenalan EMBA yang seangkatan, katanya "banyakan da yang muda-muda seumuran kita (he thinks I'm 25), yang 30-an ada juga, 10 orang lah". Maka gw pun membuktikan hipotesa dengan nelusup ke kelas EMBA. Lalu yang gw lihat adalah komposisi temen sekelas yang gw bayangkan sebelum masuk kuliah: diverse (secara umur) dan lively (secara diskusi). *insert heavenly backsound

Alasan gw seat-in EMBA sebetulnya gak hanya pengen lihat demografis kelasnya sih, tapi juga pengen tahu secapek apa kelas yang kuliahnya seharian dan kebetulan mereka udah dapet Marketing--the only subject in MBA I'm interested about (so far).

Gak bohong, gw sempet kepikiran pindah ke EMBA. Tapi kemudian kalo dipikir-pikir, nambah 20 juta (YP dan EMBA sppnya beda 20 juta, in total) terlalu mahal untuk apa yg gw pengen. Lagipula, capek juga kuliah seharian gitu, dan belum tentu kelasnya sesuai sama ekspektasi terus-terusan.

So this is the challenge I have to endure. Mungkin sepele. Mungkin "nanti juga betah, kan baru adaptasi". Mungkin "nanti juga punya temen". Mungkin juga "kamunya aja yang perlu buka diri". As an introvert, bersosialisasi sama orang baru itu sulit sih. Apalagi di gwnya merasa "gak naik kelas". Gak nyaman memang, tapi ya sudah, harus dihadapi.

Jadi kepikiran, kalo gw jadi S2 di luar, apakah ketidaknyamanan soal usia ini akan muncul? Lagi-lagi, gw masih berpikir kalau S2 itu akan beragam secara umur, dan kayaknya orang luar gak akan terlalu peduli soal umur. Apakah pas kenalan mereka akan nanya "kamu angkatan berapa"?

A friend of mine once told me about this thing, dia bilang yang intinya "orang bule mah gak kenal strata bahasa, makanya manggil nama bebas-bebas aja. Sedangkan orang Indonesia kan ada norma manggil pake sebutan, siapa yang dipanggil pak, bu, akang, teteh".

Segitu dulu deh rant hari ini. Next post gw akan share admission ke MBA ITB--kalau mood dan merasa siapa tahu ada yg butuh. :))

Cheers!

Sunday, September 9, 2018

Jejak Langkah

Jejak yang kau tinggalkan, semakin lama terhapus oleh suksesi alam.
Anak-anak rumput baru tidak paham bahwa hidupnya menegasikan arah untukku yang tidak tahu kemana hendak melangkah.
Angin yang membawa serpihan tanah, menumpuk seiring waktu. Mengikis cekungan yang dibentuk alas kakimu. Lalu turunlah hujan sepanjang malam, mengaduk permukaan bumi.

Dan hilanglah jejak itu, sebelum aku bisa menemukanmu.

Lihat arah matahari, kau berpesan.
Baca mata angin.
Sentuh lembap lumut.
Dengarkan gemuruh bumi.
Semua adalah petunjuk agar kau tidak tersesat.

Kau pergi bersama pasang surut samudera.
Aku tak tahu bagaimana kau menyeberang ke ujung sana.
Di tengah ilalang tinggi aku berada, hanya horizon saja yang tertangkap mata.
Dan kau lenyap seolah ditelan angkasa.

Perjalanan panjang perlu ditempuh menembus belantara ini, sayang.
Salahkah jika aku takut?
Aku menyaksikan matahari timbul tenggelam. Aku tidur beralaskan tanah untuk mendengar detak bumi.
Kuamati gemeresak rimbun yang tertiup angin, ke arah mana mereka menari?
Satu hari aku melangkah jauh.
Satu hari lagi aku meluncur jatuh.
Aku takut. Takut bentang alam ini melumatku, mendekomposisiku, dan mengubahku menjadi unsur hara.

Tapi seharusnya aku tahu.
Bahwa menyusuri langkahmu ke tepian daratan tidak akan mudah.
Berjuang, kata mereka. Tidak menyerah sebelum kalah.
Mampukah aku, menebas rasa takutku yang mungkin lebih besar dari ujian yang ditawarkan hutan hujan?
Mampukah aku, berjalan di dua kakiku sendiri, dengan akal nuraniku, tanpa uluran tanganmu?

Wednesday, August 22, 2018

Master Study at MBA: The Why


Life update: I'm currently a Master student. HAHA. Like, finally?

Setelah hampir 7 tahun lulus S1, gw pun memutuskan untuk masuk kuliah lagi. And after a long whirlwind love-hate relationship with "nyari beasiswa dan peluang S2 di luar negeri", gw akhirnya balik ke ITB dan ngambil MBA. Wait, what? Why?

As you may know, pursuing a postgraduate study was initially my father's wish and he popped up the idea of MBA major right after I finished my undergrad. Me, "traumatized" with academic activity at that time, was unsure and had no idea about business or management whatsoever. Actually I didn't want to, but I had no better career option as well so I reluctantly nod at the idea but since I doubted it myself I was rather slow (in the application process). My father perceived me as indecisive, and he said to me "gak punya motivasi". I was pretty heartbroken, dan karena soal timeline/deadline yang kelewat juga akhirnya gak daftar.

Life choices then led me to two companies yang secara "kebetulan" menjadikan gw terlibat dalam dunia produksi konten dan a lil bit of marketing. As I mentioned a lot in my previous posts, I found my holy grail: the science communication field. Sebuah perkawinan manis antara my undergrad study dengan work experience. Tapi scicomm gak ada di Indonesia, adanya di luar negeri. Mulailah drama "nyari beasiswa dan peluang S2 di luar negeri". Karena gw nyari scicomm aja berdasarkan riset dan hasil numbuhin mood bertahun-tahun bahwa gw perlu S2, maka gw pun tidak nyari jurusan lain. Which was wrong to my father's eye (again). I had to see other major beside scicomm that can bring me to greater opportunity, he advised.

Gw pun lalu melihat MBA sebagai "jalan alternatif". Berdasarkan cocoklogi, gw harusnya bisa belajar soal bisnis dan manajemen untuk kemudian menjadikan scicomm gak sekedar "bikin konten edukasi yang menarik" tapi juga gimana caranya ngejual scicomm itu sendiri. Ngga tahu nyambung apa ngga, at least that's what I believe and I need to hold on to that faith if I want to survive :)))). Eh tapi serius sih. Terlebih gw agak lebih pede sekarang (ketimbang pas baru lulus S1) untuk masuk ke bidang ini karena gw setidaknya udah melek soal perusahaan dan marketing.

Alasan dangkalnya: yang penting S2 biar "hutang moral" gw lunas. :))

Yeah so that's why.

Another sharp statement my father said that I remember was "5 years is too long to decide what major you should pursue". For a fainted-heart person like me, it was a punch in the face. You know, type of pain that you don't scream it out and lingers inside instead.
Jadi, apakah gw telat untuk kembali jadi mahasiswa?

Telat is also something else that bothers me which brings us to the second topic. Should I separate my blabbing into another part? Hmm I think I should. Okay, see you on the next post!

Cheers!

Sunday, July 29, 2018

Perjalanan Menikmati Buku: "Dangdut" oleh Putu Wijaya

Jumat itu gw merasa lagi antisosial banget (which maybe the state I'm in lately at the office). Ibarat game The Sims yang kebutuhannya perlu dipenuhi, maka bar "social" gw saat itu merah dan merasa perlu terdedah dengan sebuah interaksi biar barnya warna ijo.

Larilah gw ke toko buku. I find chatting with people requires a lot of energy, maka gw mencari sebuah interaksi itu di buku novel. Di Togamas, gw keliling ngeliatin resensi di cover belakang masing-masing buku. Well, not every book. Banyak buku yang gw lewatkan karena gak kenal sama penulisnya, covernya alay, atau judulnya berat.

Hutang buku gw sebenernya ada banyak di rumah, tapi non fiksi yang sifatnya guidance semua. Saat itu gw butuh bacaan drama yang mengalir ringan tapi tetep seru. Sayangnya, penulis-penulis kesayangan gw kayak Andrea Hirata, Dee Lestari, dan Adhitya Mulya gak lagi nerbitin buku. Gw sempat nanya bukunya Raditya Dika, tapi ternyata buku dia gak masuk ke Togamas.

Setelah browsing, this one caught my eye:


Actually yang pertama gw lihat berjudul "Nora", kemudian "Mala" yang bertengger di sebelahnya. Setelah gw lihat kedua buku tersebut nomor 2 dan 3 dari sebuah tetralogi, mata gw mencari nomor 1-nya. "Dangdut" ini lah nomor 1-nya, dan dia cuma ada satu buah di antara tumpukan buku-buku lain yang jilidnya ada banyak. Gw pun membalik buku itu dan melihat resensi singkatnya. Tampaknya buku ini cukup drama. Oh iya, plus penulisnya adalah Putu Wijaya. Gw bukan pembacanya tapi sudah dengar nama itu sejak SMP/SMA. Rasanya mungkin dulu pernah baca cerpen atau novelnya, lupa. Yang gw inget, beliau adalah penulis senior yang karyanya udah banyak banget.

Gw pulang dan karena penasaran, langsung buka halaman pertama. Disitu gw sebagai pembaca rasanya digedor dan langsung dibawa ke inti "permasalahan". Ada berapa sih novel yang di paragraf pertama udah menyodorkan setting "cewek gak sengaja lihat cowok lagi pipis di semak-semak---bukan dari sudut belakang, tapi dari depan". Belum lagi kemudian si cewek yang namanya Nora ini shock sampe demam menggigil dan mengigau deskriptif dari apa yang dia lihat (besar, hitam, panjang). Hahaha, can you tell this is definitely a 18+ novel?

Opening yang nakal itu kemudian menuntun pada runtutan peristiwa yang "menjebak" karakter cowok yang namanya Mala. Sampai di Bab 3 aja belum, tahu-tahu Mala dan Nora sudah menikah. Dari situ, plot bergulir lebih serius. Diawali dengan rongrongan keluarga Nora yang merupakan keluarga miskin kampungan yang menganggap sakit demam anaknya itu akibat pelet yang dikirim Mala. Karena si Mala ini adalah sosok sukses, kerja kantoran, banyak duit, jadinya dia diperas untuk membiayai ini-itu.

Nora dan Mala adalah pasangan unlikely. Langit dan bumi. Pikiran Mala--yang ternyata adalah pemred suatu media massa besar--dipenuhi topik filosofi, ketimpangan sosial, dan ide-ide besar lain. Diselipi pikiran "jorok" layaknya laki-laki dewasa metropolitan. Terkait keluarga Nora yang polos tapi morotin itu, Mala (yang disini gw melihat Putu Wijaya di balik itu) jadi berkontemplasi jauh yang intinya: "Kemiskinan itu jahat. Orang-orang di dalamnya jadi manipulatif dan menghalalkan segala cara untuk bertahan, tapi mereka tidak mau bersusah payah. Inginnya gampang dan minta orang. Tapi orang miskin yang minta-minta itu tidak bisa disebut salah karena mereka hanya butuh untuk hidup."

Sedangkan Nora adalah perempuan yang kelewat dungu. Hampir mirip orang gila. Percakapan dengan Nora selalu gak masuk akal. Contohnya ketika dia datang out of nowhere ke kantor Mala, pamit mau nikah lagi dengan cowok namanya Ron. This is the actual dialogue in the book ya, ketika Mala konfrontasi si Nora:

"O jadi kamu mau dikawinkan dengan Ron?"
"Ya."
"Kenapa?"
Nora tak mau menjawab.
"Kamu senang sama Ron?"
"Biasa-biasa saja."
"Biasa-biasa bagaimana? Mana lebih senang, Ron atau aku?"
"Pak Mala."
Mala mengusap dadanya.
"Kalau begitu mengapa mau kawin sama Ron?"
"Nggak tahu."
"Kamu harus tahu!"
Nora memandangi Mala.
"Pak Mala tidak suka Nora kawin dengan Ron?" (YA MENURUT LO)
"Tidak!"
Nora berpikir.
"Kalau adiknya Ron?"
Mala tercengang lagi.
"Apa?"
"Kalau adiknya Ron?"
"Tidak!"
"Kalau bapaknya?"
"Astaga!"
"Kalau bapaknya, boleh?"














Gw rasanya pengen banting bukunya karena kesel. AI SIA CAGEUR?

Gak berhenti di situ, ternyata series of unfortunate events terus mengikuti Mala. Dari istrinya minta kawin lagi, temen ceweknya (Midori) nawarin proyek rahasia yang melibatkan Mala dengan uang 400 miliar, Nora yang nyebrang seenaknya sampe bikin mati pengendara motor yang ngehindarin Nora, keluarga si pengendara motornya minta ganti rugi, sampai berurusan dengan "mafia" soal 400 miliar yang malem-malem ngancem dan mengiris tipis lehernya Mala. Bab-bab berikutnya kemudian berpusat pada kasus hilangnya uang gelap itu dan berujung pada (big spoiler alert) meninggalnya Midori dalam keadaan terpotong-potong.

Gw beresin buku ini pas seminggu. Untuk slow reader kaya gw, ngabisin 330 halaman dalam waktu 7 hari adalah prestasi. Patut gw akui, dialog-dialog bahkan kalimat sederhananya bikin gw bisa baca cepet tanpa harus capek-capek membayangkan adegan seperti apa yang berusaha digambarkan. Ketika setting melibatkan tokoh-tokoh macam Nora dan sebangsanya, dialog dipingpong cepat, tapi dengan konteks absurd dan cenderung bodoh.

Di sisi lain, Putu Wijaya justru membawa hal-hal konseptual kayak kebangsaan atau tatanan sosial lewat dialognya Mala dengan teman-temannya. Kalau udah paragraf itu, diksinya bergelimang kata-kata sulit yang biasa ditemukan di kolom in-depth featured macam di majalah Tempo atau artikel politik sejenis.

dialog Nora dan sebangsanya
esai serius

Potret kemiskinan, permainan kekuasaan, dan konten seksual ini sangat mengingatkan gw pada topik "Jakarta Undercover" yang ditulis sama Moammar Emka, atau tulisan-tulisannya Christian Simamora, bahkan juga novelnya Ayu Utami yang banyak mengandung unsur tersebut di bukunya. Gw kadang suka merinding sih dengan fakta ini, bahwa yang kayak gitu tuh beneran ada ya. Di hidup gw yang lurus-lurus aja, kenyataan kayak gitu adalah sesuatu yang asing.

Apakah gw akan lanjutin tetralogi ini sampai novel keempat? Well, I'm not sure. Pastinya tidak dalam waktu dekat ini. Gw penasaran sih dengan nasibnya Mala yang (big spoiler alert lagi) ujungnya ditangkap karena dinyatakan tersangka dalam kasus pembunuhan Midori. Penasaran si Nora juga yang dengan strategi sotoynya sengaja ikut diciduk polisi yang lagi nyisir WTS di jalanan demi bisa ketemu Mala di kantor polisi. Tapi gw teh lelah akan dialog idiot si Nora (dan sebangsanya) plus ngeri sendiri dengan fakta-fakta dark di dalamnya. Jadi nanti dulu deh.

Cheers!

Tuesday, July 17, 2018

Fatherly Love (2)

Oke sebelum lupa, mari kita lanjutkan.

Actually sebelum nulis ini gw browse Youtube dulu dengan tujuan mau ngeliat trailernya The Judge untuk ngeliat how it presented as a trailer, sekaligus dapet feelnya lagi. But since Youtube is also my playground beside Instagram, I got lost and ended up watching The Sims Random Genetic Challenge (Tuhan, ini tuh dangkal banget tapi menyenangkan untuk ditonton). So anyway, ini trailernya:


Ceritanya adalah si Henry Palmer (RDJ) ini seorang pengacara hebat yang apparently selalu menangani kasus yang tersangkanya memang bersalah. Tapi ya karena dia lihai, jadinya kliennya selalu lolos. One day, dia dipanggil balik ke kota asalnya karena ibunya meninggal. Tinggallah si Henry ini dengan keluarganya; kakak (Glen), adik (Dale), dan bapaknya yang dia sendiri adalah hakim di kota kecil itu. Hubungan Henry dan si bapaknya ini broken, even ketika salaman juga awkward banget karena udah bertahun-tahun gak berinteraksi. Ketika ngomong pun, si bapaknya ini salty, termasuk ngomongin pernikahan Henry yang emang saat itu mau cerai.

Gerah dengan semua itu, setelah pemakaman ibunya, Henry buru-buru cabut. Tapi, ketika udah di pesawat, dia ditelpon untuk balik. Katanya, si bapaknya ditahan polisi atas dugaan tabrak lari. Gw pikir si Henry ini bisa aja stayed on his seat dan bodo amat, tapi ternyata masih ada setitik peduli dalam hatinya. Bahkan ketika dia balik dan ke kantor polisi, he defended his father on the case. Bisa jadi karena dia pengacara, jadinya hal-hal demikian udah otomatis. Bisa juga karena memang deep inside, dia peduli.

Henry ini emang anaknya keras kepala dan ngotot. Persis bapaknya. Jadi ketika Henry ngegas nanya-nanya apa yang sebenernya kejadian di malam bapaknya nabrak orang itu, si bapaknya juga ngotot kalau dia gak inget. Ibarat kata pandangan bapaknya adalah "udah lah, jalanin aja sidangnya, trial me as it is, tapi saya gak mau kamu jadi pengacara saya" yang akhirnya dia sewa pengacara setempat. Henry jelas dongkol. Tapi pada akhirnya si pengacara yang disewa juga gak becus dan akhirnya bapaknya mau untuk dibela sama anaknya sendiri.

Meanwhile, anaknya Henry, Lauren, came to visit. Bocah 7 tahunan ini adalah the apple of his eyes. Selama perjalanan dari bandara ke rumah, Henry udah wanti-wanti kalau Grandpa Palmer ini orangnya dingin, gak ngasih pelukan, gak mau bacain buku. To his surprise, justru kebalikannya. Bapaknya ini justru sayang banget sama Lauren--mungkin karena cucu juga, perempuan lagi.

(Salah satu) adegan yang paling menyentuh adalah ketika bapaknya sakit. Ketika denger suara gedebruk dari kamar bapaknya, Henry nyamperin dan ternyata bapaknya jatuh kepeleset dengan posisi meluk toilet, batuk-batuk parah. Henry tried to help tapi ya gitu kan bapaknya marah-marah "don't touch me!" tapi dibantu berdiri anyway. This maybe a little gross but I feel the empathy instead: jadi ketika berdiri, bapaknya semacam diare gitu yang gak bisa dia tahan. Henry masih bantu, bahkan dia mindahin bapaknya ke bathtub untuk bersihin kotorannya. Bapaknya helpless dan pada akhirnya dia diem aja sih dibantuin Henry. Melihat bapaknya yang udah tua, kulitnya keriput dan bergelambir, rambut putihnya yang tinggal sedikit dan awut-awutan, gw jadi kepikiran bapak gw sendiri. I imagine when he becomes that old, sick, and helpless. :(

Later on, diketahui kalau ternyata bapaknya ini punya kanker stadium 4 udah lama dan gak mau ngasih tahu siapa-siapa. Kata dokternya, efek pengobatan selama ini bisa jadi bikin bapaknya ini dementia alias pikun. Dan karena itu pula makanya dia gak inget kejadian ketika malam dia bawa mobil dan nabrak orang. Henry ngotot kalau sakit ini bisa jadi defense yang bagus, tapi bapaknya gak mau jadiin alasan karena dengan begitu citranya sebagai hakim yang selama ini dipandang bijak bisa runtuh di mata orang.

Gw semacam paham dengan ego macam gitu dengan melihat bapak gw. Orang yang kelihatanya punya power tentu sangat gak suka ketika kelihatan powerless; gak tahu dan gak bisa apa-apa. Antara hakim dan dosen, profesi yang sama-sama agung, yang punya kuasa membedakan mana salah dan benar. Dan di usia senjanya, baik si Hakim Palmer dan bapak gw adalah men who used to have power gloriously but now seemed helpless.


Anyway, orang yang ditabrak ini severely injured dan mati sih memang. Tapi kasus ini juga another plot story. Ceritanya dulu ada kasus yang tersangkanya melakukan suatu kesalahan lumayan berat (lupa kasusnya apa, semacam penganiayaan atau pembunuhan juga) tapi dihukum ringan oleh si Hakim Palmer ini. Tersangkanya ini si orang yang ditabrak, namanya Blackwell.

When the final trial came and Judge Palmer recollecting his memory, dia inget kejadiannya. Malem itu dia pergi ke toko beli telur dan ketemu sama si Blackwell. Blackwell, being asshole he is, ngomong ke Hakim Palmer. "So your wife died huh? Gw sekarang bisa pipis di dua kuburan dong," katanya sambil kayak mabuk. Karena kendala subtitle yang bikin bingung, gw gak begitu nangkep kuburan siapa satu lagi. I'm guessing it was the person who died in the Blackwell case years ago.

Dari situ, Hakim Palmer inget kalau dia marah, pulang, tapi kemudian belokin mobilnya untuk balik nyamperin si Blackwell yang lagi naik sepeda dan nabrak lari. And he confessed it in the trial, setelah berusaha nyampein narasi-tidak-bersalah yang dilatih sama Henry. Pada momen yang Henry nanya, "kalau gitu kenapa dulu si Blackwell gak dikasih hukuman berat aja sih?", bapaknya jawab "karena saya melihat kamu di sosok Blackwell. Anak bandel yang susah dikasih tahu, suka bikin onar. Makanya saya mau kasih dia kesempatan hidup". Henry gak bisa berkata-kata.

Pada akhirnya, si Hakim Palmer ini dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 4 tahun.

Oh iya dua lagi adegan yang paling keinget. Long story short ketika emosi Henry dan bapaknya sama-sama terpancing dan keduanya marah besar towards each other, keluarlah unek-unek keduanya selama ini. Bahwa Henry gak pernah merasa diterima dan selalu diberi hukuman-hukuman di masa kecilnya. Dia juga kesel karena bapaknya selalu egois dalam menentukan keputusan. Sebaliknya, bapaknya teriak-teriak kalau yang dia lakukan adalah yang menurutnya benar. Yang gw inget adalah kalimat ini:

"Do you have roof on your house? Do you have food in your mouth? Yes, I'm tough on you! And now, are you waiting table? (are you) a bum?"

Ini adalah kasus yang gw yakin dialami oleh banyak anak-orangtua. Ketika orangtua insist kalau apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anaknya (no doubt), tapi dengan cara keras biar si anaknya gak lembek dan mampu hidup dengan baik. Output di anaknya kadang gak seragam juga, ada yang kemudian sukses dan mentally stable, ada yang sukses but mentally unstable (kaya si Henry ini), ada yang justru membelot milih jalan sendiri dan eventually rukun dengan orangtuanya, atau yang rebel dan kabur selama-lamanya. Banyak variasinya.

Di gw sendiri, bapak gw termasuk yang keras, ke siapapun, to be fair. Mungkin karena beliau keras juga dengan dirinya sendiri ketika remaja. I mean, he studied hard with no lamps at night, walk miles to go to school, became a social activist, and later pursued doctoral study to Germany no less--negara yang udah terkenal "garang" dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi.

Pernah ketika gw belajar matematika sama beliau dan dengan gayanya mengajar sukses bikin gw kapok sama matematika. Dari situ dan dari beberapa momen lainnya, gw menjauh because I saw my father as a threat. But he still closely monitored and took decisions on my education. Gw merasa gw selalu ditolong dari "jurang kegagalan" ketika misalnya NEM SMP gw kecil, lalu bapak gw pun memutuskan masukin ke SMA Tarbak, yang pastinya berbiaya gak murah. Ketika mau masuk ITB, beliau pun memutuskan gw untuk ngambil jalur USM, yang duit masuknya lebih gede dari jalur biasa. Yang penting, masuk ITB, terserah jurusannya apa. Ketika gw lulus S1, bapak gw bilang kalau beliau udah nyiapin uang buat gw S2--yang nyicil ditabung semenjak gw S1. Maka, dengan implisit pun beliau minta gw S2. You know, tipe "terserah" yang mengandung perintah.

Maka, walaupun gw "membelot", tapi gak pernah sampai jauh karena masih kepikiran untuk fulfill keinginan beliau. Gw jadi serba nanggung--part of it ya harus diakui murni kesalahan gw aja yang gampang bimbang, galau, dan baper.

Balik lagi ke cerita Henry tadi. Setelah 7 bulan dipenjara, bapaknya Henry ini dibebaskan secara bersyarat. Dijemputlah sama Henry and they went fishing, something that they used to do together when Henry was little. Di perahu itu, mereka makan permen favoritnya Henry dari dulu, dan bernostalgia. Ngobrol-ngobrol, si Hakim Palmer ini akhirnya bilang kalau Henry is a good lawyer. Dia bilang justru karena dia melihat Blackwell kaya liat Henry, dia takut kalau gak dikerasin, Henry anaknya ini bakal jadi orang kayak Blackwell. Intinya semacam "I did my best to you and I'm glad you are you right now". Gak lama, Henry pun mancing, tapi bapaknya nunduk diem. Then Henry found out that his father's dead.

Sedih tapi liberating. Gw merasa keduanya somehow udah saling memaafkan dan menerima satu sama lain.

Gw jadi inget kata temen gw kalau ada dua orang yang berantemnya paling keras justru karena mereka yang (sifatnya) paling mirip satu sama lain.


Oke, peeps. Sekian ya. Kalau mau komen silakan.

Cheers!

Friday, July 13, 2018

Fatherly Love (1)

Hey, hey, hey.

Gila udah lama rasanya gw gak nulis, dan baca. Bisa hilang akal lama-lama. Like, literally lose my mind. I can rambling about how my current work state somehow makes me like this and write an essay about it but not tonight.

Kita review buku dan film, yuk!

Sebagai bagian dari pengobatan hilang akal, gw pun harus kembali berteman dengan buku. Diambillah sebuah buku yang sudah lama antri di to-read-list di rak buku. Buku itu adalah Terima Kasih Bapak yang ditulis oleh temen gw sendiri, Yosay.


(Not so) fun fact: gw udah beli buku ini kayak 2 bulanan yang lalu (gak lama setelah launch di tobuk Indonesia) tapi gak dibaca-baca karena alasan emosional. Iya maapin aku anaknya baperan. :))

Dari judulnya, kita bisa menebak apa intisari bukunya bukan? Tentu saja bukan tentang mejik Alohomora dengan anjing berkepala tiga, atau romansa hari Sabtu di lapangan basket bersama kakak kelas. Yosay herself wanted it to be straightforward, just like when she asked me in choosing its title. I was suggesting some kinds like "Dasi Bapak", "Bapak, Jalan Yuk!" and other metaphorical title but she was like: "aku sih pengen yang langsung to the point aja mengungkapkan rasa terima kasih buat bapak". Maka, jadilah buku yang berisi daftar nasihat bapak(nya Yosay) yang menginspirasi hidupnya.

Sedikitnya gw tahu hubungan mesra Yosay dengan bapaknya, and such a great influence he is to her. I was emotional because I don't have that kind of relationship. I was afraid of comparing my father to her, of how her father did something that mine didn't--you know, that kind of stuff. There was a little bit anger (or envy?) as well, to be honest.

So I gave myself time, quite a long. Gw inget ada beberapa kejadian semenjak gw beli buku itu yang bikin mikir soal orangtua, dan long story short, akhirnya gw pun "siap" untuk baca. Padahal bukunya tipis dengan font berukuran besar, porsi yang cukup dihabiskan dalam satu kali perjalanan kereta Jakarta - Bandung. Emang lebay aja lu, wa. :)))

Dengan gw yang sudah meditasi sebelumnya, maka gw pun bisa melihat dengan objektif saja tentang bukunya. Congrats and well done, Say. Nulis buku ini adalah salah satu dari keberanian kamu yang macem-macem bentuknya. Isinya sangat Yosay sih sebetulnya, ibarat lagi baca blognya.

Ada 12 bab disuguhkan Yosay yang masing-masingnya memuat kisah inspiratif dari sang Bapak yang kemudian membekas di benak Yosay kecil sampai sekarang dewasa. Nilai-nilai baik seperti toleransi, kerja keras, tanggung jawab, gemar belajar, sampai bahkan soal kebangsaan diselipkan di setiap percakapan ayah-anak tersebut. Bapaknya menjadi teladan yang figurnya sangat kuat bagi Yosay sehingga semua tindakan, pikiran, ucapan Yosay sebagai anak pertama berkiblat pada sosok Bapak.


Di setiap babnya gw menemukan esensinya masing-masing dan memang sesuatu yang patut diresapi. Bagi gw pribadi, hal-hal tersebut adalah pengingat bagi diri sendiri sebagai manusia dan juga sebagai calon orangtua kalau nanti dipercaya punya anak. Untungnya, pikiran "yah tapi kan bokap gw gak kayak gini" mulai menepi walau masih mengintip dari sudut batin. Intinya, bukan untuk membandingkan lagi, tapi gw bacanya sebagai pembelajaran.

Gw pun berpikir bahwa sejatinya semua orangtua mencintai kita sebagai anaknya, hanya saja caranya berbeda-beda. Gw yakin bapak gw pun sama cintanya, tapi sayangnya pola komunikasi yang tidak terbentuk dengan baik menghambat kemesraan dan nilai-nilai hidup yang perlu diturunkan. Tapiii, that doesn't mean I can't learn something from him because I do learn a lot. And I feel grateful for that.

Lucunya, gw tidak sendiri dalam struggle baca buku ini sebetulnya, hehe. Tapi kalau kalian gak aneh kayak gw dan butuh bacaan inspiratif, it is nice to peek a glimpse of how fatherly love shape the mind of a bright daughter. Pick a value and try to contemplate it in an aspect of your life.

Nah, ini ibarat semesta mendukung banget sih. Jadi setelah gw baca buku itu, selang beberapa waktu, gw nonton The Judge. Pemain utamanya Iron Man (please, RDJ itu terlahir untuk memerankan Tony Stark!) dan katanya film ini masuk kategori award something. Inti ceritanya menarasikan hubungan ayah dengan anak laki-lakinya yang tidak harmonis, dan bagaimana keduanya menghadapi hal itu dengan pergumulan batin masing-masing. Karena baru aja kemarin malem diberesin filmnya--iya, nontonnya kebagi dua sesi gitu--jadi rasanya pengen gw ceritain di sini. Tapi panjang banget yak untuk post ini.

Baik pemirsa. Waktunya break dulu ya. Go take a bath or have your meal. Kita lanjutkan setelah pariwara berikut.

Cheers!

Monday, March 12, 2018

Merasa Penting itu Penting

Quick post di sela-sela gelisah karena application deadline just around the corner!

Lagi cari referensi untuk bikin esai lalu stumbled on this writing. I wrote it for Chevening scholarship application in, I dunno, 2015? Lost count. Kalau gak salah waktu itu pertanyaanya kayak "apa arti leadership buat kamu?".

Looking this essay I remembered he asked me one day, what quality did I gain from Pinteraktif, what an added value I have obtained. Waktu itu topik awalnya adalah soal gaji, kemudian dia sih lebih emphasize di value aja ketimbang duit. I answered something about leadership but I didn't recall exactly the detail. Ternyata jawabannya ada di esai ini:


I used to think that the word “leadership” solely means “to lead”. In that case, “leading” implies on bravely standing up for others and taking blames when something goes wrong. Perhaps that was the reason I never wanted to become a leader. It seemed all responsibilities will be on me. However, as I grew up and experienced challenges, I figured out that leadership values are not only built on responsibility but also other important qualities such as communication, strategy, teamwork, passion, and integrity.

It came to a realization that I have been applying these values throughout the three years of my professional life. As an instructional designer, I created a learning framework which was then discussed with clients who were experts on the learning subject. Inevitably, disagreements occurred at some points. To get it off the table, I objectively reminded the initial goal so that a consensus can eventually be reached. Similar communication strategy was relevant to internal team as well. In order to perform smooth teamwork, I made different approaches for every unit so they got clear instruction on what to do.

Beyond my job routine, I have also been engaging in a city project. The project requires a content team to transform mundane data sheet into interactive displays. I have a significant role in the team by designing a workflow content production. This is important because it is used to point out timeline and output. To contribute in a city project is surely not a minor duty. I challenged myself to join because I knew the project involves public engagement which I passionate about. Involved in both occupations also strengthen my integrity that without which any activities would be meaningless.
I now understand that although leadership requires a lot of work, it is rewarding. Leadership is not all about being in the front but it is more about creating positive influence driven by passion.

Good ol' times. :p

It leads me to think that somehow I was happier and more fulfilled back then. Aku bukannya gak bersyukur dengan keadaan sekarang sih. The unpleasant events in work are also a blessing which I've been learning from to this day. Proses stretching emang gak enak.

Then it reminds to a conversation I had with Mei couple days ago. Setelah cerita kehidupan masing-masing, sampai lah pada pembicaraan yang disepakati bersama bahwa "merasa penting itu penting". Bukan yang gila hormat dan haus perhatian, tapi menurutku pengakuan dan validasi adalah hal yang manusiawi, sepanjang dalam batas wajar. Ini konsep yang ada dimana-mana, dari bidang pendidikan sampe marketing. Kalau kamu dihargai, kamu akan memberikan lebih. Dan ketika kamu memberi lebih, kamu akan lebih dihargai.

Segitu dulu kontemplasi singkat malam ini.



Itung-itung sharing juga bentuk esai yang diminta kalau daftar-daftar beasiswa, hehe. Kalau ada yang salah silakan koreksi ya.

Cheers!

Saturday, February 24, 2018

Catatan Perjalanan Si Serbuk Micin

"Up to you. You're the boss," ujar seorang pria tengah baya asal Bangladesh, ramah setelah menenggak sirup jeruk botolan di depan minimarket 3 warna.

Saya, sebagai tokoh yang terbiasa mengambil peran remah-remah gurilem seribuan, langsung gelagapan sekaligus menampar (dalam pikiran) diri sendiri untuk jadi kuat karena toh memang sayalah yang harus bertanggung jawab. Siapa sangka, orang yang selalu merasa kecil dan berada di balik layar ini jadi orang yang menentukan waktu dan lokasi makan siang untuk orang Bangladesh di suatu daerah di Kabupaten Subang.

Gimana lagi kan (ter-teppy nih pake meme qasidah)
Jadi ceritanya 3 hari kemaren gw ditumbalin dapet tugas nemenin konsultan yang ditunjuk investor untuk menilai bisnis eFishery. Memang simply karena gak ada orang lain aja sih yang bisa (karena sibuk dan kendala bahasa), jadinya seorang content marketing officer dioper ke depan. Gw sebagai LO pun nemenin bapak-bapak Bangladesh ini ke kantor, warehouse, dan petani eFishery.

To give you some context, penunjukan gw sebagai LO ini ibarat Bibi (yang suka masakin makan siang di kantor) disuruh ikut quarterly meeting. Eh tapi jangankan Bibi, gw aja sebagai karyawan sering bengong :))). Pertama, walaupun iya sih udah beberapa kali kunjungan ke petani, tapi masih keitung jarang dan itu pun judulnya nebeng agenda. Kedua, ini kan investor--kan gak mungkin ya mereka nanya hal-hal ringan kaya kenapa tahu bulat digoreng dadakan. Ketiga, gw di-assign sendiri, Boi, sendiri! Oh iya, keempat, rencananya bahkan mau roadshow ke Pantura ngunjungin 3 petani di 3 lokasi berbeda. Si serbuk micin, sendiri, nemenin investor dari Bangladesh, keliling Pantura. Lempar saja aku ke kandang buaya, mz.

As it turned out, ternyata gak semengerikan yang dibayangkan. Akhirnya ada 2 orang yang nemenin di 2 hari berbeda. Pun, akhirnya visit petani cuma di 1 lokasi aja. Misuh-misuh selesai.

Apa yang mau gw highlight disini sih lebih ke pengalaman berkomunikasi dengan mereka. Sebut saja bapak-bapak Bangla ini K dan J. Hari pertama gw mules, hari kedua masih mules, hari ketiga juga mules. Intinya nemenin K dan J ini bikin pencernaan gak beres. Well, hari pertama was kinda shocking karena tentu saja yang namanya pertama suka ada efek kejut. Gw harus terbiasa dengerin English dengan aksen ala India dan frustasi ketika gak ngerti mereka ngomong apa. Lebih frustasi lagi ketika gak bisa jawab dengan baik.

Kita-kita mah kan ya baru kenal paling ngobrol asal daerah, kondisi jalan macet, cuaca, makanan, hobi. Lah ini, di hari pertama si Bapak K nanya soal stabilitas politik ("do you think it is politically stable in Indonesia?"), populasi kota ("what is the population in Bandung?"), perdagangan ("which one do you think Indonesia trade with the most, USA or China?"), dan komoditas agrikultur ("do Indonesia grow any nuts, like cashew?"). Gw merasa down dan super cape di hari pertama padahal secara fisik kerjanya cuma duduk dan ngomong doang. Aku pun curhat.

Well noted
Setelah curhat dan kontemplasi, gw berpikir sebenernya masalahnya di pede aja. Gw harus pede dengan broken English, yang penting message-nya dulu yang tersampaikan. Gw pun harus pede dengan jawaban gw kurang menjawab pertanyaan dia. Kalau gak tahu ya bilang aja. Karena setelah menghabiskan waktu lebih lama sama mereka, toh sebenernya mereka tuh cuma pengen tahu aja, bukan intimidating atau ngetes. Dia selalu pake pernyataan "what I'm trying to understand is..." yang gw nangkepnya ya emang pengen tahu aja and let me help you to understand. Pun, ketika dia kemudian misal cerita soal negaranya sendiri setelah dia tanya sesuatu soal Indonesia, terasa sekali diskusinya--sehingga gw pun merasa less intimidated.

Hari kedua, selama perjalanan pp Subang, walaupun mules, gw berusaha untuk memahami temuan gw di atas itu. Karena justru sekarang apa yang dia tanya dan ceritakan pun jadi hal menarik, kaya ketika dia nanya yang intinya kenapa kita sering lihat sawah daripada kolam ikan, padahal sama-sama butuh air dan lahan luas. Atau ketika dia nanya gimana Indonesia jadi negara muslim, influence dari negara mana yang bawa Islam jadi mayoritas, because Bangladesh is also a moslem country. Juga ketika dia nanya struktur tata negara kaya urutan dari negara-provinsi-kota-kecamatan, dia cerita juga kalau di Bangladesh itu pembagiannya lumayan banyak sampai ke unit terkecil. Lupa apa aja, salah duanya ada sector dan district. Momen yang rada cair adalah ketika lagi ngomongin orang :))), tapi itu kaya cuma 2% dari the whole topic hari itu.

Hari kedua: udah mules, hinyay lagi.
Di tambak udang Pak Bambang, Blanakan, Subang.

Hari ketiga, seharusnya udah gak ngurusin mereka lagi secara itinerary, tapi ya udah kadung apa-apa di gw jadi ya mau gak mau tetep ditemenin. Bapak K ini gw lihat sangat kepengen to the point, sedangkan orang yang diwawancaranya kalo jawab suka pake prolog dulu, atau nambah-nambahin poin. Disini gw melihat pola sih. Kadang, orang kita tuh kalo jawab sesuatu gak langsung ke intinya atau diulang-ulang. Apakah itu salah satu adat ketimuran yang membiasakan kita untuk memperhalus makna? Ini gw ngomongin diri sendiri sih.

Ketika berada di tengah sebagai translator antara Bapak K dan rekanan eFishery (orang Indonesia, sebut saja R), gw melihat dua sisi. Di sisi Bapak K dia punya pertanyaan semisal "do you have it?" yang dia gak peduli sama jawabannya mau yes atau no, toh gak ada yang bener--yang penting itu data. Sedangkan di sisi Bapak R ini gw bisa kebayang sebenernya jawabannya no tapi dia merasa kalo no ini jawaban yang buruk jadi dia kasih prolog dulu--yang padahal mah gak usah. Si Bapak K ini kelihatan gak sabar dengan jawaban Bapak R yang muter-muter, sehingga gw pun ikutan gemes "udah sih jawab ajaaa". Tapi kemudian gw kaya lihat diri sendiri. "Oh, gw gitu ya kalau ngomong, gak berani lugas.".

On the other side, si Bapak K ini emang dia punya banyak peer tapi waktunya sempit sih, jadinya serba buru-buru. Salah dia juga agenda sebanyak itu tapi business tripnya cuma 3 hari. You won't get as much as you want.

Di akhir sidak mereka, Bapak K dan Bapak J berjabat tangan dengan gw dan puja-puji meluncur. "Thank you, Hawa, you've been amazing". "Thank you for accompany us for the last 2 days". "Thank you for being proactive and helping". "Thank you so much". Basa-basi perpisahan sih, tapi quite nice juga sebagai penutup rangkaian mules ini. Selesai itu, gw kaya abis batre, langsung tidur di kantor dan "ke belakang" lamaa banget.

Kunjungan ini jadi their first time in visiting Indonesia, by the way.
Gw sih tetep tidak setuju dengan penunjukan go show sendirian ini. Tapi mungkin salah gw juga kenapa gak firmly bilang gak bisa di awal. Bisa jadi karena gw tergoda peluang untuk jadi significant sih. Pun, pada akhirnya, ada hal yang bisa dipetik dari pengalaman ini. Ketika di hari pertama gw down karena merasa gak lancar untuk komunikasi dengan orang asing dan langsung keinget gimana nanti kalau sekolah di luar negri, hari kedua dan berikutnya justru jadi merasa ya yaudah emang harus dihadapi--toh nanti juga bisa karena terbiasa. Dan ketika si Bapak K ini kritis banget nanya-nanyanya, gw juga langsung sadar soal kalau kita ke luar negri each of us itu adalah duta negara. Maka, sangat penting untuk setidaknya memperluas pengetahuan umum soal Indonesia. Hal yang jarang kita pikirkan kalau kita berada di dalam negeri. Or at least me--yang lebih tahu perbedaan cimin dan cilor dibanding perbedaan jumlah impor Cina-Indonesia dan US-Indonesia.

Monmaap nih ya kalau norak, apalagi buat kelen yang hidupnya di luar negeri. Ya jangan dibandingin hidupmu dengan hidup serbuk micin ini.

Cheers!

Sunday, February 18, 2018

Komunikasi Sains (Lagi)

I hope you guys haven't been tired of me pouring you another what and why science communication, because I'm going to share another one :p.

Tanggal 25 November tahun lalu gw ikutan workshop yang judulnya "Menulis Sains" dari Langit Selatan (LS). Thanks to Benet who informed it to me via Instagram (alhamdulillah IG ada faedahnya). LS sendiri namanya udah mampir di telinga gw ketika masih di Pinteraktif, for all I know that it is a media dedicated to share anything about Astronomy in a pop-science way, dan yang bikin orang ITB. Long story short, meluncurlah gw ke lokasi workshop.

Begitu datang, meski telat 15 menit, gw orang ke-2 yang hadir di ruangan... dari 10 orang saja yang daftar. Gw antara sedih tapi maklum karena pertama topiknya mungkin gak begitu se-ngepop dan familiar kayak misal "workshop bikin IG story kamu gak garing" atau "workshop vlog untuk pemula" atau "cara untung bisnis MLM", kedua ya mungkin nama LS gak menggedor banyak orang. Beda misal yang ngadain dari kampus, atau Kompas. Atau mungkin publikasinya aja yang sengaja gak dibikin gebyar karena ternyata peserta yang hadir pada akhirnya punya waktu untuk beneran dikasih feedback sama pembicara.

The spark in me had already begun when I chatted with two speakers while waiting others to come. Mbak Vivi (Avivah Yamani) yang adalah pengelola LS langsung bilang "Oh kamu temennya Toru sama Kiboy? Yah dunia sempit" pas tahu gw dulu di Pinteraktif. Langsung berasa akrab :)). Di basa-basi itu mereka nanya kenapa tertarik ikut acara ini, gw pun cerita pengalaman kerja dsb, bahkan cerita rencana mau ambil S2 SciComm, sampai Mas Zaid (Muhammad Zaid Wahyudi) ngebuka laman eFishery University yang gw kelola di kantor. "Menarik ini," kata beliau. Dibilang gitu sama wartawan rubrik Sains & Teknologi koran Kompas ya gimana gak seneng.

Sesi workshop pun dimulai.

Mbak Vivi memulai dengan penjelasan tentang komunikasi sains; the what, why, and how in general. Gw lupa deh, apakah di blog ini udah pernah gw share soal why scicomm? Oh udah deng, dengan sudut pandang gw sendiri sih. Kalau menurut Mbak Vivi, yang kemudian gw aminkan, kira-kira seperti ini:



Keliatan gak sih? Ini deh ditulisin:
  • Tanggung jawab ilmuwan
  • Isu penting harus diketahui publik
  • Mempengaruhi pengambil kebijakan
  • Fokus media pada berita cepat
  • Latar belakang yang berbeda membutuhkan pendekatan & mekanisme komunikasi yang berbeda
  • Menegaskan garis batas antara sains dan pseudosains
  • Menginspirasi anak muda untuk menjadi ilmuwan
Mbak Vivi sendiri adalah lulusan S1 dan S2 Astronomi, anak Himastron (Himpunan Mahasiswa Astronomi) ITB yang emang suka nulis juga. Selain poin di atas, hal yang paling bikin gatel Mbak Vivi adalah banyaknya hoax di media berita kita, terutama soal ilmu astronomi. Katakanlah teori bumi datar, isu Mars bakal segede Bulan (serem banget), berita soal jarak terdekat Matahari bikin warga Jakarta lebih agresif, bahkan soal supermoon saja beliau sangat berhati-hati untuk gak membesar-besarkannya like other media did. Mbak Vivi menggunakan science communication untuk melawan hoax.

Pengen sih gw tulis panjang lebar soal poin-poinnya Mbak Vivi itu tapi nanti kepanjangan. Gimana kalau kita simak aja apa yang Greg Foot ceritakan soal kenapa scicomm itu penting. What he delivers are similar with Mbak Vivi's talk:


"To share the wonder of science," he said. Exactly what I wrote in my personal statement for scholarship application :)). Eh btw, Mas Greg ini salah satu science communicator yang namanya cukup "kedengeran", setidaknya di Inggris.

I want to share something my father said as well regarding a science communicator that connects scientist and society. Katanya, kita punya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tapi gak ada orang profesional yg mempublikasikan jurnal-jurnal penelitian. "Kalaupun ada publikasi, mereka hanya administrasi saja. Bahkan ITB pun gak ada badan khusus yang mempublikasikan penelitian. Bandingkan sama NASA, itu jadi sesuatu yang besar," ujar beliau. Agak diedit dan sensor sana-sini ya soalnya ya Pak Dadang kan kalau ngomong mayan pedes ya sis. Intinya, beliau juga menyayangkan padahal kita punya banyak lembaga-lembaga pendidikan tapi ya sains hanya dikonsumsi di lingkungan mereka sendiri saja. (Mas/Mbak Humas LIPI, mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol sambil ngopi?)

Bicara soal pendidikan--balik lagi ke suasana workshop "Menulis Sains"--di sesi kedua yang disampaikan oleh Mas Zaid, beliau punya pendapat sendiri kenapa komunikasi sains ini penting: membangun logika bangsa. Beuh.

Sebagai science journalist, Mas Zaid menggunakan sesinya lebih ke teknis menulis. Katanya, ada 4 hal yang harus dimiliki kalau mau menulis sains, apalagi yang tujuannya untuk inform banyak orang:
  1. Logis, mampu menalar
  2. Skeptik, tidak mudah percaya
  3. Paham teknis
  4. Jujur
Kemudian lanjut ke jenis-jenis tulisan, gimana caranya nulis teras berita, konstruksi 5W1H, nyari ide liputan sains dari berita sehari-hari, sampai akhirnya ke sesi dimana masing-masing peserta mencoba membuat tulisan tentang sains. Kami berlima (iya, pesertanya akhirnya 5 doang yang hadir!) dikasih waktu sejam lalu satu-satu maju untuk jelasin singkat soal tulisannya. Gw, karena antusias dan emang kepepet ada janji jam 6 sore, akhirnya berinisiatif untuk maju pertama. Memang ya, manusia yang suka tidur dan dapat nilai D di kelas kalkulus seperti saya ini bisa berubah jadi ambisius kaya Agnes Mo kalau berhadapan dengan hal yang disukai.

Sesi Mas Zaid soal menulis sains. Ambisius kan aku duduk paling depan. :)) (credit Langit Selatan)

Waktu itu karena lagi rame soal Adam Fabumi, si anak bayi yang meninggal karena komplikasi penyakit langka, gw pun menulis tentang apa di balik sindrom Dandy Walker itu. Feedback Mas Zaid soal tulisan gw adalah katanya ini lebih cocok untuk disimpen di media-media internet. Gw antara skip instruksi tugasnya atau emang kebiasaan bikin artikel buat EU, jadinya emang sengaja dibikin buat digital, plus H1 H2 buat SEO--yang kemudian ini juga dikomen sama beliau kalau jangan terlalu banyak dijeda karena bakal terlalu pendek kalau untuk media koran. Well, memang beda media beda pendekatan. Tapi beliau secara umum suka dengan apa yang gw tulis dan impressed dengan closingnya yang kata dia memberi bekas bagi pembaca. Good to know.

Goal: jadi pembicara untuk komunikasi sains di Indonesia! (credit Langit Selatan)

Setelah gw lalu ada guru-guru SD yang pengen juga bikin sesuatu yang engaging buat muridnya. Satu soal cuaca, satu lagi topiknya tentang lendir paus. Lagi-lagi, karena excited, gw yang biasanya diem kaya kecambah (you should see me in every quarterly meeting at office :p), nyumbang masukan juga yang diamini pembicara. Not gonna lie, it felt good.

Selain itu, hal menarik yang gw ambil dari sesi diskusi langsung tersebut juga adalah caranya Mas Zaid memberikan feedback kepada peserta dengan sabar. Tulisannya ibu-ibu guru itu were not the best I would say, tipe yang bikin urut-urut kepala kalau gw jadi editor. Seperti ketika gw harus meriksa tulisan yang dibuat orang lain, dan ketika gak ketemu sama ekspektasi, lalu gw hanya akan megang kepala dan diam, gak tahu harus gimana. Dari Mas Zaid ini gw belajar gimana mengartikulasi masukan, apalagi terkait tulisan yang beliau sendiri bilang kalau nulis itu kadang adalah soal rasa dan seni. Emang harus pinter aja kaya misal ga bisa tuh ngasih feedback cuma "kayanya lebih enak gini kalimatnya" tapi harus dibikin jelas kaya "anak kalimat ini harus nyambung sama induk kalimat sebelumnya, pakai kata keterangan aja biar bisa disambungin". Note to self, pinter dan sabar.

Segelintir orang-orang yang tertarik scicomm (credit LS)
All to all, gw seneng bisa ikut acara semacam ini. Seneng banget bisa menemukan orang-orang yang berkecimpung di dunia scicomm in real life. Satu pesan dari Mas Zaid soal scicomm: mulai aja sekarang. Teknis bisa dipelajari sambil jalan, yang penting konsisten. *ngomong ke diri sendiri

Terimakasih sudah mengisi bensin untuk membakar semangat komunikasi sains!

Cheers!

Saturday, January 6, 2018

Aktifitas atau Aktivitas?

Tanpa bermaksud sombong, bagi saya penulisan kata "aktifitas" itu sama-sama bikin gatel kayak lihat Yakult yang dibiarkan di suhu ruang. Satu level sama orang yang tepuk tangan pas pesawat sukses landing. Just why.

Tapi karena kejumawaan adalah temannya setan, maka saya gak boleh sinis. Hanya saja, I was genuinely surprised bahwa ternyata masih ada aja yang nulis gitu. Saya pikir menulis yang demikian adalah sebuah common sense, ternyata memang tidak semua orang ngeh akan hal itu ya. Ibarat orang buang sampah sembarangan aja sih, dikira common sense tapi ternyata gak semua orang ngerti kenapa buang sampah harus di tempatnya. Ibarat saya yang agak gaptek terus pasti bakal dilihat seperti simpanse aja oleh yang jago teknologi ketika mengoperasikannya.

Tapi, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut saya penting untuk diterapkan oleh orang Indonesia sendiri. Kalau belum biasa, setidaknya diingat mana yang baik dan tidak menyebarkan kebiasaan yang salahnya. *karena pengen bener berbahasa, kata "saya" dipakai khusus untuk postingan ini. Oke baiklah. :))))

Mari kita telaah (tela-aaah~) kesalahan umum yang tadi. Mana yang bener, "aktivitas" atau "aktifitas"?

Jawabannya "aktivitas".
Kenapa? Dalam bahasa Indonesia, ada banyak kata-kata yang diserap langsung, baik kata dasar maupun kata berimbuhannya. Unsur kata serapan ini biasanya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, makanya ejaan dan pengucapannya diubah tapi tetap dapat disandingkan dengan kata aslinya. Apa maksudnya? Salah dua dari Panduan Penulisan EYD itu kurang lebih kaidahnya begini, terutama untuk yang serapan dari bahasa Inggris;

  • Kata yang memiliki huruf v di depan atau di tengah kata, tidak berubah. Contohnya, vitamin tetap jadi vitamin, television jadi televisi.
  • Penulisan kata yang berakhiran -ive berubah menjadi -if, sedangkan -ity menjadi -itas. Contohnya, descriptive jadi deskriptif, university jadi universitas.
Dengan rumus itu, maka;

Kata yang asalnya active menjadi aktifdan activity menjadi aktivitas.

Oke, gan?


Menurut internet (karena saya belum pernah tanya langsung) sih katanya orang yang nulis "aktifitas" itu mengira kalau kata dasarnya adalah "aktif" terus ditambah "-itas". Kata dasarnya udah bener memang, tapi ya itu tadi, kata-kata banyak yang diserap tidak hanya kata dasarnya aja tapi juga kata berimbuhannya. Nah, kalau orang yang nulis "aktiv" gimana? Duh, gimana ya. Tanpa mengurangi rasa hormat, kadoin buku LKS Bahasa Indonesia aja tolong. Nggak deng, ya udah inget aja kaidah yang di atas itu.

Ada satu lagi yang bikin saya gatel, yaitu penulisan kata depan "di". Sama kayak sebelumnya yang dikira udah gak perlu dikasih tahu lagi, eh ternyata banyak juga orang yang nulis "ditempat", "dilokasi", "diruangan", "di kerjakan". Walaupun tipe "di kerjakan" lebih jarang sih dibanding yang 3 sebelumnya. Do you see the problem?

Penggunaan "di" itu dipisah ketika diikuti oleh kata benda dan kata keterangan. Hanya jika "di" diikuti oleh kata kerja, maka penulisannya digabung.

Contoh "di" yang diikuti kata benda atau keterangan:

di kamar
di dapur
di ruangan
di tahun 2018
di bab 10
di kantor
di atas
di samping

Termasuk nih, kata yang banyak mengecoh orang: di mana. Banyak, termasuk saya juga kadang lupa, yang nulis ini jadi "dimana" karena seolah "dimana" udah jadi satu kata yang gak bisa dipisah. Ternyata nggak guys, penulisannya harus dipisah karena itu menunjukkan kata keterangan tempat.

Contoh "di" yang diikuti kata kerja. Ini jadi bentuk pasif dari kata kerja:

dibersihkan
dicuci
dilihat
dikembangkan
dijalani aja dulu siapa tau nyaman
dipasangkan cincin
diputar
dipanaskan
diaduk
ditulis

Oke lah, segitu dulu kelas bahasa Indonesia ala-ala di wiken ini. Bukan mengajari untuk kaku, karena toh saya juga pengguna bahasa informal sehari-hari. Tapi dua contoh di atas toh bukan soal formal - informal, itu kaidah bahasa Indonesia yang dasar banget dalam berbahasa. Masih banyak juga sih kaidah bahasa yang kadang kita lupa atau abaikan. Bisa dilihat di blog ini kalau mau. And there are many many many more if you want to find out yourself.

Anyhow, to me personally, alhamdulillah menulis adalah sesuatu yang terasa alami--dan yang mau saya pelajari dengan ringan hati. Mungkin kalau temen-temen kelebihannya beda lagi, semisal bisa masak soto sambil merem. Sedangkan saya goreng nugget aja undercook. Saling mengingatkan aja ya, kalau ada yang gak tahu, ya kasih tahu aja tanpa mengolok-olok. Walaupun ya ada aja ignorance orang yang bikin pengen kayang.

Cheers!