Friday, December 29, 2017

Susan Cain's Guide for Introverted Teens

Hai!

Entah kapan terakhir ngereview buku di blog ini, udah lama banget rasanya. Oh, terakhir tuh yang bahas buku The Rule of Four dan Happy Little Soul-nya ibuk Kiwana (linknya barangkali mau intip). And that was like 7 months ago, ketauan gak banyak baca selama 7 bulan itu. Well sebenernya baca Sirkus Pohon-nya Andrea Hirata, Bajak Laut dan Purnama Terakhir-nya Adhitya Mulya (my two fav writers!), buku kumpulan cerpen dimana temen gw menjadi salah satu penulisnya, dan tentu saja buku hadiah ulangtahun Agustus lalu yang akan direview di post ini. ;)

Here it is.



Quiet Power: The Secret Strengths of Introverts by Susan Cain.

If you're an introvert and love reading, I assume that you would know her already. Dia ini terkenal sebagai penulis buku Quiet yang sejak peluncurannya di tahun 2012 telah menjadi best-seller. Buku itu mengupas sifat introvert like no one ever did, as long as I know, karena sebetulnya ada banyak sumber yang membahas introversion tapi tidak menyeluruh seperti Mbak Susan ini. She was then invited to speak at TED Talks and asked by teachers in schools and communities to discuss on how introverts actually function at society. Dia ini lulusan Princeton dan Harvard, and she's an introvert herself. In a nutshell, orang pinter yang berdedikasi tinggi pada issue yang menjadi perhatiannya. She even initiated "Quiet Revolution" website where she shares her experiences and gives some advices regarding introversion.


Mbak Susan
What I'm going to review is the "lighter" version of the Quite book. Fyi, I own both books but actually I haven't read the first one. This book basically has the same messages, but it is specially written and researched for teenagers (as you may see on the cover). That being said, the content itself points out problems that young people mostly have to face. Ukuran fontya juga lebih gede dan jumlah halamannya gak sebanyak pendahulunya.

Ada 4 bagian besar di buku ini: School, Socializing, Hobbies, dan Home. Kehidupan anak remaja banget kan. Nah di setiap bagian itu ada beberapa chapter sendiri yang emang ngebahas sesuai topik bagiannya. Every chapter mostly goes like this: penggambaran pengalaman seorang remaja di Amerika terkait "masalah"nya dengan introversion, kemudian menemukan solusi, lalu ditutup dengan poin-poin kesimpulan.

Contohnya, di chapter "Quiet in the Classroom" yang ada di part School, ada cerita tentang bagaimana guru melihat keaktifan murid di kelas sebagai tolak ukur penilaian. Artinya, yang angkat tangan dan lebih sering ngomong dianggap mengerti dan engaged sama diskusi kelas--yang diem aja dianggap males dan gak berkontribusi. Padahal, bagi introverts, mereka sebenernya sama-sama engaged di kelas, hanya saja mereka tidak akan raise their hands immediately and blurt out. Introverts tend to think first before speaking. Kalau mereka diberi waktu barang 1 menit aja, introverts siap untuk menjawab secara komprehensif.


We all know one person in a class that constantly shoot his/her hand in the air and want to have the last word.
Kemudian si anak remaja introvert ini nulis surat ke gurunya yang intinya "Bu, urang teh introvert. Ngarti we atuh*." dalam bahasa Inggris yang sopan tentu saja. Anak ini jelasin dia bukannya males, tapi memproses informasi dengan cara berbeda aja dibanding murid lain. Untungnya si gurunya paham dan mengganti style diskusinya dengan metode "Think, Pair, Share" dimana muridnya disuruh mikir, diskusi berdua sama temennya, baru diskusi besar. Metode ini gw rasa tidak hanya memfasilitasi introverts untuk berpartisipasi tapi juga memberi waktu bagi semua orang untuk mikir dulu baru ngomong.
*Bu, saya ini introvert. Ngertiin dong.

Salah satu bahasan setelah itu adalah gimana introverts juga harus mau expand their comfort zones. Jangan terjebak dengan "saya kan introvert, saya diem aja ah". Introvert tidak sama dengan malas. Give some time to ourselves to think and then speak up. Di buku itu disebutkan yang intinya the more you try to speak up, the more you'll get used to it and eventually it will feel more natural to you.

Sifat lain yang berkaitan erat dengan introvert itu perfeksionis dan pemalu. Can you imagine how we introverts feel when we have to speak in front of people? Takut salah, takut gagap/belepotan, takut diliatin orang, atau takut jawabannya ngasal ga komprehensif. Nah, jadi si takutnya itu harus dipangkas dengan terbiasa ngomong di suatu forum without leaving our nature as an introvert.


How to embrace your introversion
Ada banyak contoh-contoh di buku ini yang--walopun kasusnya teenagers--gw bisa relate dengan pemikiran dan pengalaman sehari-hari. Kalau dibahas satu-satu bakal kepanjangan karena plus curhat. Baca buku ini semacam baca Chicken Soup for the Soul (yang terkenal di akhir 90an) tapi tentu saja lebih modern dan relatable. Kalau gw punya anak remaja yang udah lancar English, I would 100% recommend this book to them. This would help them to embrace their uniqueness among their loud world. Well if they are extroverts, I would still recommend them to read it--to understand the different trait other people have (including their mother! :p). *oke kejauhan

Gw gak tahu sih apakah dunia pendidikan sekarang udah memperhatikan sisi extrovert/introvert dari peserta didiknya. Semoga sih udah ya, setidaknya tahu aja udah cukup. The thing is bukan berarti para introverts ini pengen dimanja dan merengek pengen diperhatiin, tapi lebih ke cara belajar dan berinteraksi aja yang memang genetically berbeda. Why genetic? Karena introversion ini science-based, people! Contohnya, sirkuit otak introvert simply cannot well-function when they're stimulated with too many noises. Mirip-mirip lah sama 9 tipe kecerdasan (kecerdasan musikal, analitikal, interpersonal, dkk). Orang yang gak bisa berhitung, bukan berarti bego selamanya, tapi dia punya ekspresi kecerdasannya sendiri.

Makanya kenapa Mbak Susan Cain ini selalu gadang-gadang "power of introverts" karena menurutnya ada 2 kekuatan yang dimiliki seorang introvert:


  • Fokus.                                                                                                        Introverts lebih sibuk dengan pikirannya sendiri dan kalau udah into something, mereka bisa do the hard work alone for a long time. This comes easy for introverts because they love their alone time. Ketika itu digunakan untuk mengasah kemampuan, eventually introvert bisa sukses di bidang apapun. Ibarat air vs batu. Tetesan air yang turun terus-menerus ke titik yang sama di batu keras, lama-lama batunya terkikis juga.
  • Empati.                                                                                                      Introverts are observer. Mereka melihat dan menganalisis kejadian di sekitarnya, quietly. That is why they tend to see a bigger picture of a problem. Since they are also prefer private speaking than group chatting, ngobrol deep talk sama introverts akan terasa lebih personal dan komprehensif.


Gw sendiri, walaupun introvert in many ways, kadang 2 power itu belum gw manfaatkan dengan maksimal. Focus attention span gw saat ini berkurang karena kebanyakan lihat feed Instagram (again, damn you Instagram!). Also, sometimes private speaking is frightening, gw merasa lebih aman kalau temen curhat di grup aja daripada japri. Empati sebelah mananya kan :)). Tapi mungkin di beberapa aspek 2 power itu dipakai secara tidak sadar sih. I do realize "kemalasan" yang kadang muncul gak boleh gw sebut introversion. Although it may comes from my introvert nature, tapi ada batasnya dimana gw disebut introvert atau demotivasi.

Well, segitu dulu reviewnya.

Buku ini berkaitan erat dengan personaliti pribadi jadi gak bisa gak masukin pengalaman sendiri :)). Oh ya, while Quiet is written by Susan Cain alone, this teen version involved other two writers (as you may see on the cover). Both books can be purchased in bookstores like Periplus or Books & Beyond. The Quiet book is on my reading list and I can't wait to explore it.

Always get a good book on your side, folks.

Cheers!

Thursday, December 14, 2017

You Have One Hour

Dalam satu jam, apa aja sih yang bisa kita lakukan?

Bisa makan sambil ngobrol-ngobrol, bisa bete di jalan terjebak macet, bisa nonton drama series 1 episode, bisa masak rendang setengah mateng, atau bisa lagi deg-degan karena mau wawancara kerja atau meres otak karena lagi ujian.

Gw seolah diingatkan lagi soal betapa berharganya waktu ini ketika kemarin tes ielts yang kesekian kalinya. Paling kerasa di bagian reading dan writing. Di kedua bagian ini kita dikasih waktu masing-masing 60 menit alias 1 jam. Pada reading, waktunya kebagi 3 karena ada 3 passage yang harus dibaca dan dijawab pertanyaan terkait passage tsb. Otomatis, kita mengalokasikan 20 menit for each task, di instruksinya pun demikian sih. Walaupun menurut gw ternyata ga se-even itu pembagian waktunya. I would say 15, 20, dan 25 karena tingkat kesulitannya semakin naik. Anyway, dalam waktu yang singkat itu, kita dituntut paham poin-poin utamanya, terlebih agar bisa menjawab pertanyaan. Sama ceritanya dengan writing yang punya 2 task. Task 1 dikasih waktu 15 menit dan task 2 sisanya yaitu 40 menit.

Baik reading maupun writing, yang pertama dilakukan adalah lihat jam. Jam berapa mulai dan jam berapa ini harus selesai. Ketika jreng mulai, waktu rasanya sangat amat berharga, ketika udah lewat semenit, gw minimal harus tahu apa yang dihadapi. Empat menit berikutnya gw udah harus bisa memahami pertanyaan (pada reading) dan bikin draft tulisan (pada writing). Pas 5 menit terakhir, itu rasanya senewen sekaligus lega sih. Senewen karena waktunya "tinggal" 5 menit tapi lega karena bersyukur "masih" punya 5 menit. Dimana di waktu segitu, masih ada banyak hal yang bisa dilakukan, seperti mengecek typo, nambah kalimat penutup, atau mengerjakan 5-8 soal sisa di passage terakhir terus kalo frustasi jadinya nebak HAHA itu mah gw kemaren.

This thought came when I was in spare time after I finished my exam. Bagi gw yang banyak menghabiskan waktu di Instagram lately, this whole thing is completely a self-reminder. Saat itu gw mikir, "wah ini selonjoran gini sambil browse Instagram kalo kemaren dipake mikir ielts kemarin berharga banget waktunya ya" atau kaya "kemarin 1 jam bisa nulis at least 450 kata, sekarang dipake bikin apa ya?".

Pada saat ujian, gw sadar sekali pergerakan jarum jam dan detik yang berdetak. Perubahan dari 12.15 jadi 12.18 itu sangat berharga. Kalau hari biasa mah hardly even notice, itungannya baru kerasa kalo udah beda 1 atau 2 jam. Dan ternyata waktu berjalan sangat cepat. Seremnya lagi--although this is absolute and obvious--waktu tuh emang gak bisa mundur, dia akan maju aja gitu, gak ada yang bisa memberhentikan jarum detik bergerak--kecuali batre jamnya abis *ba dum tss*. Intinya, waktu tak menunggu siapa pun.

Kadang suka lupa sih kalau waktu yang kita punya itu kayak uang. How do we want to spend our time? Waktu juga bisa habis kayak uang. Instantly, gw langsung inget surah Al Asr yang dimana Allah bersumpah demi masa, demi waktu.

source

Apalagi ya kalo mengingat bahwa waktu di dunia ini kalau dibandingkan waktu di akhirat ibarat cuma 15 menit aja. Subhanallah wallahuallam.

So, please, use your time wisely ya *100% ngomong ke diri sendiri

Cheers!