Monday, September 17, 2018

Master Study at MBA: The Early Challenges

Ceritanya lagi kenalan dengan sesama mahasiswa baru, sebut saja A.

A : "Kamu angkatan berapa?"
Gw: "2007"
A: "Oh 2007, sama kayak suamiku. Aku 2009."

Detik itu gw seolah diingatkan akan 2 hal:
1. Gw tua.
2. Gw belom kawin.

Bukannya tidak sadar akan kedua hal tersebut, tapi dalam diri gw sebetulnya sudah dalam keadaan damai dengan diri sendiri. Bahwa menjadi 20-something ini tidak kemudian otomatis menjadikan gw "tua" dengan definisi sesungguhnya yaitu ubanan, pikun, dan osteoporosis. Bahwa belum menikah adalah fakta (dan mungkin juga keputusan) yang gw terima dan jalani sepenuhnya.

I was fine with it, until I met people.


Soal umur adalah the earliest challenge I have to face ketika masuk MBA ini. As you may have read in the earlier post about my study, this major is like a "second-grade happiness" atau "pilihan kedua" karena pilihan pertamanya scicomm. Tapi walaupun begitu, I made this decision, and I was excited about it--bayangan akan menjadi mahasiswa, belajar hal baru, nulis, dan ketemu rekan seangkatan yang diverse.

Diverse. Boy I was wrong.

Di pikiran gw yang naif, idealis, dan perfeksionis ini, teman-teman seangkatan gw akan terdiri dari umur 23-32 dengan sebaran yang rata. Ternyata, hidup tidak seindah itu. Ternyata, populasi terbanyak adalah di kisaran 22-24. Dan ternyata, (sepanjang pengetahuan gw sampai sekarang) I am the oldest girl in the group. Oldestnya pencilan atas pula. :))

Sebelum ketemu face-to-face dan di awal berinteraksi dengan orang-orang, gw masih pede menyebut angkatan gw, seperti yang terjadi di dialog atas. Sehingga ada segelintir orang yang tahu kalo gw 2007. Tapi kemudian ketika gw baca demografisnya, gw mulai mundur dan merasa gak nyaman. From that day, kalo ada yang nanya angkatan, gw akan balik nanya;

"Kelihatannya angkatan berapa?"
"Hm, 2013 juga?" (((juga)))
"Hehe, ya udah percaya itu aja."
Yang berujung mereka manggil gw nama tanpa "kak", "mbak", atau "teh". Which is fine to me, malah jadi risih ketika ditambah embel-embel itu. Jadi penasaran gimana reaksinya nanti ketika tahu gw 6 tahun di atas mereka. Bukan apa-apa sih, gw sendiri pun kalo memposisikan jadi mereka juga bakal kaget. Ibarat lihat angkatan 2001. :))

Why this age gap bothers you so much? Don't you have a bf who is 5-years younger?

Oh ya, the fact that he is 5 years younger really helps me, though. Dia memperlebar toleransi pandangan gw terhadap orang yang lebih muda. Kalau gak sama dia, mungkin sekarang gw masih look down orang yang lebih muda dari gw, apalagi yang 5 tahun di bawah. Ngaku deh, angkatan berapa pun kalian, pasti pernah lihat orang yang 2-3 tahun di bawah terus nyeletuk dalam hati "oh bocah". Mending "oh", mungkin gak sedikit juga yang nganggep "ih". Gw bukan bicara tanpa sampel loh ya, karena gw melihat beberapa contoh yang kayak gitu. Gak heran juga, ketika masa sekolah kita pada umumnya dihabiskan dalam aroma "senioritas", tanpa sadar membentuk mindset yang-muda-yang-gak-tahu-apa-apa. Padahal, usia gak lagi relevan ketika udah masuk ke dunia kerja.

Nah, soal umur ini sebetulnya ketika gw di eFishery sih gak ada masalah. Temen gw banyak yang lebih muda dan gw pun berteman aja kayak biasa. Bedanya adalah kalau kita kerja kan masuknya gak barengan, skillnya beda-beda sehingga kerjaannya pun beda-beda. Gw sangat respect ketika ada yang lebih muda dari gw dan jago atas yang dia kerjakan. Sedangkan kalau kuliah kan masuknya barengan, belajar hal yang sama--ibaratnya startnya dari titik yang sama. Ini menjadikan gw yang umurnya jauh lebih banyak jadi merasa bodo sendiri. You know, kayak anak SMP kelas 3 gak naik kelas dan harus ngulang di kelas 1. It feels like "I should have known something at this age, but I don't".


Gw sempet ngedumel sendiri dan bertanya-tanya,
"Kenapa sih orang baru lulus S1 langsung S2?"
"Emang gak boleh ya, yang udah 7 tahun lulus lalu ambil S2?"
"Is it too late for me to take a master study?"
"Kenapa sih orang-orang buru-buru pengen ambil MBA? Coba lihat jurusan lain, kayaknya masih banyak aja yang umur 30-50."

Tenang, gw juga tahu jawaban dari semua itu kok. It was just my rant.
Eh btw, ada 1 orang yang umurnya 36 dan 1 orang 50-an, bapak-bapak berkeluarga. Sekali lagi, gw adalah cewek paling tua (dan belum nikah) satu-satunya di angkatan. Wekaweka.

Oh iya, satu lagi poin penting terkait ini. Gw mengambil program YP (Young Professional). Sebagai informasi, MBA itu ada 3 program: YP, CCE (Cultural and Creative Entrepreneurship), dan EMBA (Executive MBA). Pertimbangannya adalah, gw kan emang mau resign dan fully committed sama kuliah. Maka pilihannya antara YP atau CCE, karena EMBA itu kelas karyawan, yang kuliahnya Jumat-Sabtu doang. Gak milih CCE karena CCE harus punya proposal bisnis dan they will interview you as part of the admission. So, YP then, the regular one. Di booklet MBA sebetulnya tertulis keterangan kalo YP ini--sesuai namanya which I quote: "diperuntukkan bagi professional muda dengan pengalaman 1-2 tahun kerja". TERNYATA HARFIAH SEKALI YA PEMIRSA. :))

Gw pun melakukan investigasi. Gw tanya-tanya temen alumni EMBA (seumuran), katanya dia aja berasa yang paling muda di kelas. Gw tanya kenalan EMBA yang seangkatan, katanya "banyakan da yang muda-muda seumuran kita (he thinks I'm 25), yang 30-an ada juga, 10 orang lah". Maka gw pun membuktikan hipotesa dengan nelusup ke kelas EMBA. Lalu yang gw lihat adalah komposisi temen sekelas yang gw bayangkan sebelum masuk kuliah: diverse (secara umur) dan lively (secara diskusi). *insert heavenly backsound

Alasan gw seat-in EMBA sebetulnya gak hanya pengen lihat demografis kelasnya sih, tapi juga pengen tahu secapek apa kelas yang kuliahnya seharian dan kebetulan mereka udah dapet Marketing--the only subject in MBA I'm interested about (so far).

Gak bohong, gw sempet kepikiran pindah ke EMBA. Tapi kemudian kalo dipikir-pikir, nambah 20 juta (YP dan EMBA sppnya beda 20 juta, in total) terlalu mahal untuk apa yg gw pengen. Lagipula, capek juga kuliah seharian gitu, dan belum tentu kelasnya sesuai sama ekspektasi terus-terusan.

So this is the challenge I have to endure. Mungkin sepele. Mungkin "nanti juga betah, kan baru adaptasi". Mungkin "nanti juga punya temen". Mungkin juga "kamunya aja yang perlu buka diri". As an introvert, bersosialisasi sama orang baru itu sulit sih. Apalagi di gwnya merasa "gak naik kelas". Gak nyaman memang, tapi ya sudah, harus dihadapi.

Jadi kepikiran, kalo gw jadi S2 di luar, apakah ketidaknyamanan soal usia ini akan muncul? Lagi-lagi, gw masih berpikir kalau S2 itu akan beragam secara umur, dan kayaknya orang luar gak akan terlalu peduli soal umur. Apakah pas kenalan mereka akan nanya "kamu angkatan berapa"?

A friend of mine once told me about this thing, dia bilang yang intinya "orang bule mah gak kenal strata bahasa, makanya manggil nama bebas-bebas aja. Sedangkan orang Indonesia kan ada norma manggil pake sebutan, siapa yang dipanggil pak, bu, akang, teteh".

Segitu dulu deh rant hari ini. Next post gw akan share admission ke MBA ITB--kalau mood dan merasa siapa tahu ada yg butuh. :))

Cheers!

Sunday, September 9, 2018

Jejak Langkah

Jejak yang kau tinggalkan, semakin lama terhapus oleh suksesi alam.
Anak-anak rumput baru tidak paham bahwa hidupnya menegasikan arah untukku yang tidak tahu kemana hendak melangkah.
Angin yang membawa serpihan tanah, menumpuk seiring waktu. Mengikis cekungan yang dibentuk alas kakimu. Lalu turunlah hujan sepanjang malam, mengaduk permukaan bumi.

Dan hilanglah jejak itu, sebelum aku bisa menemukanmu.

Lihat arah matahari, kau berpesan.
Baca mata angin.
Sentuh lembap lumut.
Dengarkan gemuruh bumi.
Semua adalah petunjuk agar kau tidak tersesat.

Kau pergi bersama pasang surut samudera.
Aku tak tahu bagaimana kau menyeberang ke ujung sana.
Di tengah ilalang tinggi aku berada, hanya horizon saja yang tertangkap mata.
Dan kau lenyap seolah ditelan angkasa.

Perjalanan panjang perlu ditempuh menembus belantara ini, sayang.
Salahkah jika aku takut?
Aku menyaksikan matahari timbul tenggelam. Aku tidur beralaskan tanah untuk mendengar detak bumi.
Kuamati gemeresak rimbun yang tertiup angin, ke arah mana mereka menari?
Satu hari aku melangkah jauh.
Satu hari lagi aku meluncur jatuh.
Aku takut. Takut bentang alam ini melumatku, mendekomposisiku, dan mengubahku menjadi unsur hara.

Tapi seharusnya aku tahu.
Bahwa menyusuri langkahmu ke tepian daratan tidak akan mudah.
Berjuang, kata mereka. Tidak menyerah sebelum kalah.
Mampukah aku, menebas rasa takutku yang mungkin lebih besar dari ujian yang ditawarkan hutan hujan?
Mampukah aku, berjalan di dua kakiku sendiri, dengan akal nuraniku, tanpa uluran tanganmu?

Wednesday, August 22, 2018

Master Study at MBA: The Why


Life update: I'm currently a Master student. HAHA. Like, finally?

Setelah hampir 7 tahun lulus S1, gw pun memutuskan untuk masuk kuliah lagi. And after a long whirlwind love-hate relationship with "nyari beasiswa dan peluang S2 di luar negeri", gw akhirnya balik ke ITB dan ngambil MBA. Wait, what? Why?

As you may know, pursuing a postgraduate study was initially my father's wish and he popped up the idea of MBA major right after I finished my undergrad. Me, "traumatized" with academic activity at that time, was unsure and had no idea about business or management whatsoever. Actually I didn't want to, but I had no better career option as well so I reluctantly nod at the idea but since I doubted it myself I was rather slow (in the application process). My father perceived me as indecisive, and he said to me "gak punya motivasi". I was pretty heartbroken, dan karena soal timeline/deadline yang kelewat juga akhirnya gak daftar.

Life choices then led me to two companies yang secara "kebetulan" menjadikan gw terlibat dalam dunia produksi konten dan a lil bit of marketing. As I mentioned a lot in my previous posts, I found my holy grail: the science communication field. Sebuah perkawinan manis antara my undergrad study dengan work experience. Tapi scicomm gak ada di Indonesia, adanya di luar negeri. Mulailah drama "nyari beasiswa dan peluang S2 di luar negeri". Karena gw nyari scicomm aja berdasarkan riset dan hasil numbuhin mood bertahun-tahun bahwa gw perlu S2, maka gw pun tidak nyari jurusan lain. Which was wrong to my father's eye (again). I had to see other major beside scicomm that can bring me to greater opportunity, he advised.

Gw pun lalu melihat MBA sebagai "jalan alternatif". Berdasarkan cocoklogi, gw harusnya bisa belajar soal bisnis dan manajemen untuk kemudian menjadikan scicomm gak sekedar "bikin konten edukasi yang menarik" tapi juga gimana caranya ngejual scicomm itu sendiri. Ngga tahu nyambung apa ngga, at least that's what I believe and I need to hold on to that faith if I want to survive :)))). Eh tapi serius sih. Terlebih gw agak lebih pede sekarang (ketimbang pas baru lulus S1) untuk masuk ke bidang ini karena gw setidaknya udah melek soal perusahaan dan marketing.

Alasan dangkalnya: yang penting S2 biar "hutang moral" gw lunas. :))

Yeah so that's why.

Another sharp statement my father said that I remember was "5 years is too long to decide what major you should pursue". For a fainted-heart person like me, it was a punch in the face. You know, type of pain that you don't scream it out and lingers inside instead.
Jadi, apakah gw telat untuk kembali jadi mahasiswa?

Telat is also something else that bothers me which brings us to the second topic. Should I separate my blabbing into another part? Hmm I think I should. Okay, see you on the next post!

Cheers!

Sunday, July 29, 2018

Perjalanan Menikmati Buku: "Dangdut" oleh Putu Wijaya

Jumat itu gw merasa lagi antisosial banget (which maybe the state I'm in lately at the office). Ibarat game The Sims yang kebutuhannya perlu dipenuhi, maka bar "social" gw saat itu merah dan merasa perlu terdedah dengan sebuah interaksi biar barnya warna ijo.

Larilah gw ke toko buku. I find chatting with people requires a lot of energy, maka gw mencari sebuah interaksi itu di buku novel. Di Togamas, gw keliling ngeliatin resensi di cover belakang masing-masing buku. Well, not every book. Banyak buku yang gw lewatkan karena gak kenal sama penulisnya, covernya alay, atau judulnya berat.

Hutang buku gw sebenernya ada banyak di rumah, tapi non fiksi yang sifatnya guidance semua. Saat itu gw butuh bacaan drama yang mengalir ringan tapi tetep seru. Sayangnya, penulis-penulis kesayangan gw kayak Andrea Hirata, Dee Lestari, dan Adhitya Mulya gak lagi nerbitin buku. Gw sempat nanya bukunya Raditya Dika, tapi ternyata buku dia gak masuk ke Togamas.

Setelah browsing, this one caught my eye:


Actually yang pertama gw lihat berjudul "Nora", kemudian "Mala" yang bertengger di sebelahnya. Setelah gw lihat kedua buku tersebut nomor 2 dan 3 dari sebuah tetralogi, mata gw mencari nomor 1-nya. "Dangdut" ini lah nomor 1-nya, dan dia cuma ada satu buah di antara tumpukan buku-buku lain yang jilidnya ada banyak. Gw pun membalik buku itu dan melihat resensi singkatnya. Tampaknya buku ini cukup drama. Oh iya, plus penulisnya adalah Putu Wijaya. Gw bukan pembacanya tapi sudah dengar nama itu sejak SMP/SMA. Rasanya mungkin dulu pernah baca cerpen atau novelnya, lupa. Yang gw inget, beliau adalah penulis senior yang karyanya udah banyak banget.

Gw pulang dan karena penasaran, langsung buka halaman pertama. Disitu gw sebagai pembaca rasanya digedor dan langsung dibawa ke inti "permasalahan". Ada berapa sih novel yang di paragraf pertama udah menyodorkan setting "cewek gak sengaja lihat cowok lagi pipis di semak-semak---bukan dari sudut belakang, tapi dari depan". Belum lagi kemudian si cewek yang namanya Nora ini shock sampe demam menggigil dan mengigau deskriptif dari apa yang dia lihat (besar, hitam, panjang). Hahaha, can you tell this is definitely a 18+ novel?

Opening yang nakal itu kemudian menuntun pada runtutan peristiwa yang "menjebak" karakter cowok yang namanya Mala. Sampai di Bab 3 aja belum, tahu-tahu Mala dan Nora sudah menikah. Dari situ, plot bergulir lebih serius. Diawali dengan rongrongan keluarga Nora yang merupakan keluarga miskin kampungan yang menganggap sakit demam anaknya itu akibat pelet yang dikirim Mala. Karena si Mala ini adalah sosok sukses, kerja kantoran, banyak duit, jadinya dia diperas untuk membiayai ini-itu.

Nora dan Mala adalah pasangan unlikely. Langit dan bumi. Pikiran Mala--yang ternyata adalah pemred suatu media massa besar--dipenuhi topik filosofi, ketimpangan sosial, dan ide-ide besar lain. Diselipi pikiran "jorok" layaknya laki-laki dewasa metropolitan. Terkait keluarga Nora yang polos tapi morotin itu, Mala (yang disini gw melihat Putu Wijaya di balik itu) jadi berkontemplasi jauh yang intinya: "Kemiskinan itu jahat. Orang-orang di dalamnya jadi manipulatif dan menghalalkan segala cara untuk bertahan, tapi mereka tidak mau bersusah payah. Inginnya gampang dan minta orang. Tapi orang miskin yang minta-minta itu tidak bisa disebut salah karena mereka hanya butuh untuk hidup."

Sedangkan Nora adalah perempuan yang kelewat dungu. Hampir mirip orang gila. Percakapan dengan Nora selalu gak masuk akal. Contohnya ketika dia datang out of nowhere ke kantor Mala, pamit mau nikah lagi dengan cowok namanya Ron. This is the actual dialogue in the book ya, ketika Mala konfrontasi si Nora:

"O jadi kamu mau dikawinkan dengan Ron?"
"Ya."
"Kenapa?"
Nora tak mau menjawab.
"Kamu senang sama Ron?"
"Biasa-biasa saja."
"Biasa-biasa bagaimana? Mana lebih senang, Ron atau aku?"
"Pak Mala."
Mala mengusap dadanya.
"Kalau begitu mengapa mau kawin sama Ron?"
"Nggak tahu."
"Kamu harus tahu!"
Nora memandangi Mala.
"Pak Mala tidak suka Nora kawin dengan Ron?" (YA MENURUT LO)
"Tidak!"
Nora berpikir.
"Kalau adiknya Ron?"
Mala tercengang lagi.
"Apa?"
"Kalau adiknya Ron?"
"Tidak!"
"Kalau bapaknya?"
"Astaga!"
"Kalau bapaknya, boleh?"














Gw rasanya pengen banting bukunya karena kesel. AI SIA CAGEUR?

Gak berhenti di situ, ternyata series of unfortunate events terus mengikuti Mala. Dari istrinya minta kawin lagi, temen ceweknya (Midori) nawarin proyek rahasia yang melibatkan Mala dengan uang 400 miliar, Nora yang nyebrang seenaknya sampe bikin mati pengendara motor yang ngehindarin Nora, keluarga si pengendara motornya minta ganti rugi, sampai berurusan dengan "mafia" soal 400 miliar yang malem-malem ngancem dan mengiris tipis lehernya Mala. Bab-bab berikutnya kemudian berpusat pada kasus hilangnya uang gelap itu dan berujung pada (big spoiler alert) meninggalnya Midori dalam keadaan terpotong-potong.

Gw beresin buku ini pas seminggu. Untuk slow reader kaya gw, ngabisin 330 halaman dalam waktu 7 hari adalah prestasi. Patut gw akui, dialog-dialog bahkan kalimat sederhananya bikin gw bisa baca cepet tanpa harus capek-capek membayangkan adegan seperti apa yang berusaha digambarkan. Ketika setting melibatkan tokoh-tokoh macam Nora dan sebangsanya, dialog dipingpong cepat, tapi dengan konteks absurd dan cenderung bodoh.

Di sisi lain, Putu Wijaya justru membawa hal-hal konseptual kayak kebangsaan atau tatanan sosial lewat dialognya Mala dengan teman-temannya. Kalau udah paragraf itu, diksinya bergelimang kata-kata sulit yang biasa ditemukan di kolom in-depth featured macam di majalah Tempo atau artikel politik sejenis.

dialog Nora dan sebangsanya
esai serius

Potret kemiskinan, permainan kekuasaan, dan konten seksual ini sangat mengingatkan gw pada topik "Jakarta Undercover" yang ditulis sama Moammar Emka, atau tulisan-tulisannya Christian Simamora, bahkan juga novelnya Ayu Utami yang banyak mengandung unsur tersebut di bukunya. Gw kadang suka merinding sih dengan fakta ini, bahwa yang kayak gitu tuh beneran ada ya. Di hidup gw yang lurus-lurus aja, kenyataan kayak gitu adalah sesuatu yang asing.

Apakah gw akan lanjutin tetralogi ini sampai novel keempat? Well, I'm not sure. Pastinya tidak dalam waktu dekat ini. Gw penasaran sih dengan nasibnya Mala yang (big spoiler alert lagi) ujungnya ditangkap karena dinyatakan tersangka dalam kasus pembunuhan Midori. Penasaran si Nora juga yang dengan strategi sotoynya sengaja ikut diciduk polisi yang lagi nyisir WTS di jalanan demi bisa ketemu Mala di kantor polisi. Tapi gw teh lelah akan dialog idiot si Nora (dan sebangsanya) plus ngeri sendiri dengan fakta-fakta dark di dalamnya. Jadi nanti dulu deh.

Cheers!

Tuesday, July 17, 2018

Fatherly Love (2)

Oke sebelum lupa, mari kita lanjutkan.

Actually sebelum nulis ini gw browse Youtube dulu dengan tujuan mau ngeliat trailernya The Judge untuk ngeliat how it presented as a trailer, sekaligus dapet feelnya lagi. But since Youtube is also my playground beside Instagram, I got lost and ended up watching The Sims Random Genetic Challenge (Tuhan, ini tuh dangkal banget tapi menyenangkan untuk ditonton). So anyway, ini trailernya:


Ceritanya adalah si Henry Palmer (RDJ) ini seorang pengacara hebat yang apparently selalu menangani kasus yang tersangkanya memang bersalah. Tapi ya karena dia lihai, jadinya kliennya selalu lolos. One day, dia dipanggil balik ke kota asalnya karena ibunya meninggal. Tinggallah si Henry ini dengan keluarganya; kakak (Glen), adik (Dale), dan bapaknya yang dia sendiri adalah hakim di kota kecil itu. Hubungan Henry dan si bapaknya ini broken, even ketika salaman juga awkward banget karena udah bertahun-tahun gak berinteraksi. Ketika ngomong pun, si bapaknya ini salty, termasuk ngomongin pernikahan Henry yang emang saat itu mau cerai.

Gerah dengan semua itu, setelah pemakaman ibunya, Henry buru-buru cabut. Tapi, ketika udah di pesawat, dia ditelpon untuk balik. Katanya, si bapaknya ditahan polisi atas dugaan tabrak lari. Gw pikir si Henry ini bisa aja stayed on his seat dan bodo amat, tapi ternyata masih ada setitik peduli dalam hatinya. Bahkan ketika dia balik dan ke kantor polisi, he defended his father on the case. Bisa jadi karena dia pengacara, jadinya hal-hal demikian udah otomatis. Bisa juga karena memang deep inside, dia peduli.

Henry ini emang anaknya keras kepala dan ngotot. Persis bapaknya. Jadi ketika Henry ngegas nanya-nanya apa yang sebenernya kejadian di malam bapaknya nabrak orang itu, si bapaknya juga ngotot kalau dia gak inget. Ibarat kata pandangan bapaknya adalah "udah lah, jalanin aja sidangnya, trial me as it is, tapi saya gak mau kamu jadi pengacara saya" yang akhirnya dia sewa pengacara setempat. Henry jelas dongkol. Tapi pada akhirnya si pengacara yang disewa juga gak becus dan akhirnya bapaknya mau untuk dibela sama anaknya sendiri.

Meanwhile, anaknya Henry, Lauren, came to visit. Bocah 7 tahunan ini adalah the apple of his eyes. Selama perjalanan dari bandara ke rumah, Henry udah wanti-wanti kalau Grandpa Palmer ini orangnya dingin, gak ngasih pelukan, gak mau bacain buku. To his surprise, justru kebalikannya. Bapaknya ini justru sayang banget sama Lauren--mungkin karena cucu juga, perempuan lagi.

(Salah satu) adegan yang paling menyentuh adalah ketika bapaknya sakit. Ketika denger suara gedebruk dari kamar bapaknya, Henry nyamperin dan ternyata bapaknya jatuh kepeleset dengan posisi meluk toilet, batuk-batuk parah. Henry tried to help tapi ya gitu kan bapaknya marah-marah "don't touch me!" tapi dibantu berdiri anyway. This maybe a little gross but I feel the empathy instead: jadi ketika berdiri, bapaknya semacam diare gitu yang gak bisa dia tahan. Henry masih bantu, bahkan dia mindahin bapaknya ke bathtub untuk bersihin kotorannya. Bapaknya helpless dan pada akhirnya dia diem aja sih dibantuin Henry. Melihat bapaknya yang udah tua, kulitnya keriput dan bergelambir, rambut putihnya yang tinggal sedikit dan awut-awutan, gw jadi kepikiran bapak gw sendiri. I imagine when he becomes that old, sick, and helpless. :(

Later on, diketahui kalau ternyata bapaknya ini punya kanker stadium 4 udah lama dan gak mau ngasih tahu siapa-siapa. Kata dokternya, efek pengobatan selama ini bisa jadi bikin bapaknya ini dementia alias pikun. Dan karena itu pula makanya dia gak inget kejadian ketika malam dia bawa mobil dan nabrak orang. Henry ngotot kalau sakit ini bisa jadi defense yang bagus, tapi bapaknya gak mau jadiin alasan karena dengan begitu citranya sebagai hakim yang selama ini dipandang bijak bisa runtuh di mata orang.

Gw semacam paham dengan ego macam gitu dengan melihat bapak gw. Orang yang kelihatanya punya power tentu sangat gak suka ketika kelihatan powerless; gak tahu dan gak bisa apa-apa. Antara hakim dan dosen, profesi yang sama-sama agung, yang punya kuasa membedakan mana salah dan benar. Dan di usia senjanya, baik si Hakim Palmer dan bapak gw adalah men who used to have power gloriously but now seemed helpless.


Anyway, orang yang ditabrak ini severely injured dan mati sih memang. Tapi kasus ini juga another plot story. Ceritanya dulu ada kasus yang tersangkanya melakukan suatu kesalahan lumayan berat (lupa kasusnya apa, semacam penganiayaan atau pembunuhan juga) tapi dihukum ringan oleh si Hakim Palmer ini. Tersangkanya ini si orang yang ditabrak, namanya Blackwell.

When the final trial came and Judge Palmer recollecting his memory, dia inget kejadiannya. Malem itu dia pergi ke toko beli telur dan ketemu sama si Blackwell. Blackwell, being asshole he is, ngomong ke Hakim Palmer. "So your wife died huh? Gw sekarang bisa pipis di dua kuburan dong," katanya sambil kayak mabuk. Karena kendala subtitle yang bikin bingung, gw gak begitu nangkep kuburan siapa satu lagi. I'm guessing it was the person who died in the Blackwell case years ago.

Dari situ, Hakim Palmer inget kalau dia marah, pulang, tapi kemudian belokin mobilnya untuk balik nyamperin si Blackwell yang lagi naik sepeda dan nabrak lari. And he confessed it in the trial, setelah berusaha nyampein narasi-tidak-bersalah yang dilatih sama Henry. Pada momen yang Henry nanya, "kalau gitu kenapa dulu si Blackwell gak dikasih hukuman berat aja sih?", bapaknya jawab "karena saya melihat kamu di sosok Blackwell. Anak bandel yang susah dikasih tahu, suka bikin onar. Makanya saya mau kasih dia kesempatan hidup". Henry gak bisa berkata-kata.

Pada akhirnya, si Hakim Palmer ini dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 4 tahun.

Oh iya dua lagi adegan yang paling keinget. Long story short ketika emosi Henry dan bapaknya sama-sama terpancing dan keduanya marah besar towards each other, keluarlah unek-unek keduanya selama ini. Bahwa Henry gak pernah merasa diterima dan selalu diberi hukuman-hukuman di masa kecilnya. Dia juga kesel karena bapaknya selalu egois dalam menentukan keputusan. Sebaliknya, bapaknya teriak-teriak kalau yang dia lakukan adalah yang menurutnya benar. Yang gw inget adalah kalimat ini:

"Do you have roof on your house? Do you have food in your mouth? Yes, I'm tough on you! And now, are you waiting table? (are you) a bum?"

Ini adalah kasus yang gw yakin dialami oleh banyak anak-orangtua. Ketika orangtua insist kalau apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anaknya (no doubt), tapi dengan cara keras biar si anaknya gak lembek dan mampu hidup dengan baik. Output di anaknya kadang gak seragam juga, ada yang kemudian sukses dan mentally stable, ada yang sukses but mentally unstable (kaya si Henry ini), ada yang justru membelot milih jalan sendiri dan eventually rukun dengan orangtuanya, atau yang rebel dan kabur selama-lamanya. Banyak variasinya.

Di gw sendiri, bapak gw termasuk yang keras, ke siapapun, to be fair. Mungkin karena beliau keras juga dengan dirinya sendiri ketika remaja. I mean, he studied hard with no lamps at night, walk miles to go to school, became a social activist, and later pursued doctoral study to Germany no less--negara yang udah terkenal "garang" dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi.

Pernah ketika gw belajar matematika sama beliau dan dengan gayanya mengajar sukses bikin gw kapok sama matematika. Dari situ dan dari beberapa momen lainnya, gw menjauh because I saw my father as a threat. But he still closely monitored and took decisions on my education. Gw merasa gw selalu ditolong dari "jurang kegagalan" ketika misalnya NEM SMP gw kecil, lalu bapak gw pun memutuskan masukin ke SMA Tarbak, yang pastinya berbiaya gak murah. Ketika mau masuk ITB, beliau pun memutuskan gw untuk ngambil jalur USM, yang duit masuknya lebih gede dari jalur biasa. Yang penting, masuk ITB, terserah jurusannya apa. Ketika gw lulus S1, bapak gw bilang kalau beliau udah nyiapin uang buat gw S2--yang nyicil ditabung semenjak gw S1. Maka, dengan implisit pun beliau minta gw S2. You know, tipe "terserah" yang mengandung perintah.

Maka, walaupun gw "membelot", tapi gak pernah sampai jauh karena masih kepikiran untuk fulfill keinginan beliau. Gw jadi serba nanggung--part of it ya harus diakui murni kesalahan gw aja yang gampang bimbang, galau, dan baper.

Balik lagi ke cerita Henry tadi. Setelah 7 bulan dipenjara, bapaknya Henry ini dibebaskan secara bersyarat. Dijemputlah sama Henry and they went fishing, something that they used to do together when Henry was little. Di perahu itu, mereka makan permen favoritnya Henry dari dulu, dan bernostalgia. Ngobrol-ngobrol, si Hakim Palmer ini akhirnya bilang kalau Henry is a good lawyer. Dia bilang justru karena dia melihat Blackwell kaya liat Henry, dia takut kalau gak dikerasin, Henry anaknya ini bakal jadi orang kayak Blackwell. Intinya semacam "I did my best to you and I'm glad you are you right now". Gak lama, Henry pun mancing, tapi bapaknya nunduk diem. Then Henry found out that his father's dead.

Sedih tapi liberating. Gw merasa keduanya somehow udah saling memaafkan dan menerima satu sama lain.

Gw jadi inget kata temen gw kalau ada dua orang yang berantemnya paling keras justru karena mereka yang (sifatnya) paling mirip satu sama lain.


Oke, peeps. Sekian ya. Kalau mau komen silakan.

Cheers!