Sunday, July 29, 2018

Perjalanan Menikmati Buku: "Dangdut" oleh Putu Wijaya

Jumat itu gw merasa lagi antisosial banget (which maybe the state I'm in lately at the office). Ibarat game The Sims yang kebutuhannya perlu dipenuhi, maka bar "social" gw saat itu merah dan merasa perlu terdedah dengan sebuah interaksi biar barnya warna ijo.

Larilah gw ke toko buku. I find chatting with people requires a lot of energy, maka gw mencari sebuah interaksi itu di buku novel. Di Togamas, gw keliling ngeliatin resensi di cover belakang masing-masing buku. Well, not every book. Banyak buku yang gw lewatkan karena gak kenal sama penulisnya, covernya alay, atau judulnya berat.

Hutang buku gw sebenernya ada banyak di rumah, tapi non fiksi yang sifatnya guidance semua. Saat itu gw butuh bacaan drama yang mengalir ringan tapi tetep seru. Sayangnya, penulis-penulis kesayangan gw kayak Andrea Hirata, Dee Lestari, dan Adhitya Mulya gak lagi nerbitin buku. Gw sempat nanya bukunya Raditya Dika, tapi ternyata buku dia gak masuk ke Togamas.

Setelah browsing, this one caught my eye:


Actually yang pertama gw lihat berjudul "Nora", kemudian "Mala" yang bertengger di sebelahnya. Setelah gw lihat kedua buku tersebut nomor 2 dan 3 dari sebuah tetralogi, mata gw mencari nomor 1-nya. "Dangdut" ini lah nomor 1-nya, dan dia cuma ada satu buah di antara tumpukan buku-buku lain yang jilidnya ada banyak. Gw pun membalik buku itu dan melihat resensi singkatnya. Tampaknya buku ini cukup drama. Oh iya, plus penulisnya adalah Putu Wijaya. Gw bukan pembacanya tapi sudah dengar nama itu sejak SMP/SMA. Rasanya mungkin dulu pernah baca cerpen atau novelnya, lupa. Yang gw inget, beliau adalah penulis senior yang karyanya udah banyak banget.

Gw pulang dan karena penasaran, langsung buka halaman pertama. Disitu gw sebagai pembaca rasanya digedor dan langsung dibawa ke inti "permasalahan". Ada berapa sih novel yang di paragraf pertama udah menyodorkan setting "cewek gak sengaja lihat cowok lagi pipis di semak-semak---bukan dari sudut belakang, tapi dari depan". Belum lagi kemudian si cewek yang namanya Nora ini shock sampe demam menggigil dan mengigau deskriptif dari apa yang dia lihat (besar, hitam, panjang). Hahaha, can you tell this is definitely a 18+ novel?

Opening yang nakal itu kemudian menuntun pada runtutan peristiwa yang "menjebak" karakter cowok yang namanya Mala. Sampai di Bab 3 aja belum, tahu-tahu Mala dan Nora sudah menikah. Dari situ, plot bergulir lebih serius. Diawali dengan rongrongan keluarga Nora yang merupakan keluarga miskin kampungan yang menganggap sakit demam anaknya itu akibat pelet yang dikirim Mala. Karena si Mala ini adalah sosok sukses, kerja kantoran, banyak duit, jadinya dia diperas untuk membiayai ini-itu.

Nora dan Mala adalah pasangan unlikely. Langit dan bumi. Pikiran Mala--yang ternyata adalah pemred suatu media massa besar--dipenuhi topik filosofi, ketimpangan sosial, dan ide-ide besar lain. Diselipi pikiran "jorok" layaknya laki-laki dewasa metropolitan. Terkait keluarga Nora yang polos tapi morotin itu, Mala (yang disini gw melihat Putu Wijaya di balik itu) jadi berkontemplasi jauh yang intinya: "Kemiskinan itu jahat. Orang-orang di dalamnya jadi manipulatif dan menghalalkan segala cara untuk bertahan, tapi mereka tidak mau bersusah payah. Inginnya gampang dan minta orang. Tapi orang miskin yang minta-minta itu tidak bisa disebut salah karena mereka hanya butuh untuk hidup."

Sedangkan Nora adalah perempuan yang kelewat dungu. Hampir mirip orang gila. Percakapan dengan Nora selalu gak masuk akal. Contohnya ketika dia datang out of nowhere ke kantor Mala, pamit mau nikah lagi dengan cowok namanya Ron. This is the actual dialogue in the book ya, ketika Mala konfrontasi si Nora:

"O jadi kamu mau dikawinkan dengan Ron?"
"Ya."
"Kenapa?"
Nora tak mau menjawab.
"Kamu senang sama Ron?"
"Biasa-biasa saja."
"Biasa-biasa bagaimana? Mana lebih senang, Ron atau aku?"
"Pak Mala."
Mala mengusap dadanya.
"Kalau begitu mengapa mau kawin sama Ron?"
"Nggak tahu."
"Kamu harus tahu!"
Nora memandangi Mala.
"Pak Mala tidak suka Nora kawin dengan Ron?" (YA MENURUT LO)
"Tidak!"
Nora berpikir.
"Kalau adiknya Ron?"
Mala tercengang lagi.
"Apa?"
"Kalau adiknya Ron?"
"Tidak!"
"Kalau bapaknya?"
"Astaga!"
"Kalau bapaknya, boleh?"














Gw rasanya pengen banting bukunya karena kesel. AI SIA CAGEUR?

Gak berhenti di situ, ternyata series of unfortunate events terus mengikuti Mala. Dari istrinya minta kawin lagi, temen ceweknya (Midori) nawarin proyek rahasia yang melibatkan Mala dengan uang 400 miliar, Nora yang nyebrang seenaknya sampe bikin mati pengendara motor yang ngehindarin Nora, keluarga si pengendara motornya minta ganti rugi, sampai berurusan dengan "mafia" soal 400 miliar yang malem-malem ngancem dan mengiris tipis lehernya Mala. Bab-bab berikutnya kemudian berpusat pada kasus hilangnya uang gelap itu dan berujung pada (big spoiler alert) meninggalnya Midori dalam keadaan terpotong-potong.

Gw beresin buku ini pas seminggu. Untuk slow reader kaya gw, ngabisin 330 halaman dalam waktu 7 hari adalah prestasi. Patut gw akui, dialog-dialog bahkan kalimat sederhananya bikin gw bisa baca cepet tanpa harus capek-capek membayangkan adegan seperti apa yang berusaha digambarkan. Ketika setting melibatkan tokoh-tokoh macam Nora dan sebangsanya, dialog dipingpong cepat, tapi dengan konteks absurd dan cenderung bodoh.

Di sisi lain, Putu Wijaya justru membawa hal-hal konseptual kayak kebangsaan atau tatanan sosial lewat dialognya Mala dengan teman-temannya. Kalau udah paragraf itu, diksinya bergelimang kata-kata sulit yang biasa ditemukan di kolom in-depth featured macam di majalah Tempo atau artikel politik sejenis.

dialog Nora dan sebangsanya
esai serius

Potret kemiskinan, permainan kekuasaan, dan konten seksual ini sangat mengingatkan gw pada topik "Jakarta Undercover" yang ditulis sama Moammar Emka, atau tulisan-tulisannya Christian Simamora, bahkan juga novelnya Ayu Utami yang banyak mengandung unsur tersebut di bukunya. Gw kadang suka merinding sih dengan fakta ini, bahwa yang kayak gitu tuh beneran ada ya. Di hidup gw yang lurus-lurus aja, kenyataan kayak gitu adalah sesuatu yang asing.

Apakah gw akan lanjutin tetralogi ini sampai novel keempat? Well, I'm not sure. Pastinya tidak dalam waktu dekat ini. Gw penasaran sih dengan nasibnya Mala yang (big spoiler alert lagi) ujungnya ditangkap karena dinyatakan tersangka dalam kasus pembunuhan Midori. Penasaran si Nora juga yang dengan strategi sotoynya sengaja ikut diciduk polisi yang lagi nyisir WTS di jalanan demi bisa ketemu Mala di kantor polisi. Tapi gw teh lelah akan dialog idiot si Nora (dan sebangsanya) plus ngeri sendiri dengan fakta-fakta dark di dalamnya. Jadi nanti dulu deh.

Cheers!

Tuesday, July 17, 2018

Fatherly Love (2)

Oke sebelum lupa, mari kita lanjutkan.

Actually sebelum nulis ini gw browse Youtube dulu dengan tujuan mau ngeliat trailernya The Judge untuk ngeliat how it presented as a trailer, sekaligus dapet feelnya lagi. But since Youtube is also my playground beside Instagram, I got lost and ended up watching The Sims Random Genetic Challenge (Tuhan, ini tuh dangkal banget tapi menyenangkan untuk ditonton). So anyway, ini trailernya:


Ceritanya adalah si Henry Palmer (RDJ) ini seorang pengacara hebat yang apparently selalu menangani kasus yang tersangkanya memang bersalah. Tapi ya karena dia lihai, jadinya kliennya selalu lolos. One day, dia dipanggil balik ke kota asalnya karena ibunya meninggal. Tinggallah si Henry ini dengan keluarganya; kakak (Glen), adik (Dale), dan bapaknya yang dia sendiri adalah hakim di kota kecil itu. Hubungan Henry dan si bapaknya ini broken, even ketika salaman juga awkward banget karena udah bertahun-tahun gak berinteraksi. Ketika ngomong pun, si bapaknya ini salty, termasuk ngomongin pernikahan Henry yang emang saat itu mau cerai.

Gerah dengan semua itu, setelah pemakaman ibunya, Henry buru-buru cabut. Tapi, ketika udah di pesawat, dia ditelpon untuk balik. Katanya, si bapaknya ditahan polisi atas dugaan tabrak lari. Gw pikir si Henry ini bisa aja stayed on his seat dan bodo amat, tapi ternyata masih ada setitik peduli dalam hatinya. Bahkan ketika dia balik dan ke kantor polisi, he defended his father on the case. Bisa jadi karena dia pengacara, jadinya hal-hal demikian udah otomatis. Bisa juga karena memang deep inside, dia peduli.

Henry ini emang anaknya keras kepala dan ngotot. Persis bapaknya. Jadi ketika Henry ngegas nanya-nanya apa yang sebenernya kejadian di malam bapaknya nabrak orang itu, si bapaknya juga ngotot kalau dia gak inget. Ibarat kata pandangan bapaknya adalah "udah lah, jalanin aja sidangnya, trial me as it is, tapi saya gak mau kamu jadi pengacara saya" yang akhirnya dia sewa pengacara setempat. Henry jelas dongkol. Tapi pada akhirnya si pengacara yang disewa juga gak becus dan akhirnya bapaknya mau untuk dibela sama anaknya sendiri.

Meanwhile, anaknya Henry, Lauren, came to visit. Bocah 7 tahunan ini adalah the apple of his eyes. Selama perjalanan dari bandara ke rumah, Henry udah wanti-wanti kalau Grandpa Palmer ini orangnya dingin, gak ngasih pelukan, gak mau bacain buku. To his surprise, justru kebalikannya. Bapaknya ini justru sayang banget sama Lauren--mungkin karena cucu juga, perempuan lagi.

(Salah satu) adegan yang paling menyentuh adalah ketika bapaknya sakit. Ketika denger suara gedebruk dari kamar bapaknya, Henry nyamperin dan ternyata bapaknya jatuh kepeleset dengan posisi meluk toilet, batuk-batuk parah. Henry tried to help tapi ya gitu kan bapaknya marah-marah "don't touch me!" tapi dibantu berdiri anyway. This maybe a little gross but I feel the empathy instead: jadi ketika berdiri, bapaknya semacam diare gitu yang gak bisa dia tahan. Henry masih bantu, bahkan dia mindahin bapaknya ke bathtub untuk bersihin kotorannya. Bapaknya helpless dan pada akhirnya dia diem aja sih dibantuin Henry. Melihat bapaknya yang udah tua, kulitnya keriput dan bergelambir, rambut putihnya yang tinggal sedikit dan awut-awutan, gw jadi kepikiran bapak gw sendiri. I imagine when he becomes that old, sick, and helpless. :(

Later on, diketahui kalau ternyata bapaknya ini punya kanker stadium 4 udah lama dan gak mau ngasih tahu siapa-siapa. Kata dokternya, efek pengobatan selama ini bisa jadi bikin bapaknya ini dementia alias pikun. Dan karena itu pula makanya dia gak inget kejadian ketika malam dia bawa mobil dan nabrak orang. Henry ngotot kalau sakit ini bisa jadi defense yang bagus, tapi bapaknya gak mau jadiin alasan karena dengan begitu citranya sebagai hakim yang selama ini dipandang bijak bisa runtuh di mata orang.

Gw semacam paham dengan ego macam gitu dengan melihat bapak gw. Orang yang kelihatanya punya power tentu sangat gak suka ketika kelihatan powerless; gak tahu dan gak bisa apa-apa. Antara hakim dan dosen, profesi yang sama-sama agung, yang punya kuasa membedakan mana salah dan benar. Dan di usia senjanya, baik si Hakim Palmer dan bapak gw adalah men who used to have power gloriously but now seemed helpless.


Anyway, orang yang ditabrak ini severely injured dan mati sih memang. Tapi kasus ini juga another plot story. Ceritanya dulu ada kasus yang tersangkanya melakukan suatu kesalahan lumayan berat (lupa kasusnya apa, semacam penganiayaan atau pembunuhan juga) tapi dihukum ringan oleh si Hakim Palmer ini. Tersangkanya ini si orang yang ditabrak, namanya Blackwell.

When the final trial came and Judge Palmer recollecting his memory, dia inget kejadiannya. Malem itu dia pergi ke toko beli telur dan ketemu sama si Blackwell. Blackwell, being asshole he is, ngomong ke Hakim Palmer. "So your wife died huh? Gw sekarang bisa pipis di dua kuburan dong," katanya sambil kayak mabuk. Karena kendala subtitle yang bikin bingung, gw gak begitu nangkep kuburan siapa satu lagi. I'm guessing it was the person who died in the Blackwell case years ago.

Dari situ, Hakim Palmer inget kalau dia marah, pulang, tapi kemudian belokin mobilnya untuk balik nyamperin si Blackwell yang lagi naik sepeda dan nabrak lari. And he confessed it in the trial, setelah berusaha nyampein narasi-tidak-bersalah yang dilatih sama Henry. Pada momen yang Henry nanya, "kalau gitu kenapa dulu si Blackwell gak dikasih hukuman berat aja sih?", bapaknya jawab "karena saya melihat kamu di sosok Blackwell. Anak bandel yang susah dikasih tahu, suka bikin onar. Makanya saya mau kasih dia kesempatan hidup". Henry gak bisa berkata-kata.

Pada akhirnya, si Hakim Palmer ini dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 4 tahun.

Oh iya dua lagi adegan yang paling keinget. Long story short ketika emosi Henry dan bapaknya sama-sama terpancing dan keduanya marah besar towards each other, keluarlah unek-unek keduanya selama ini. Bahwa Henry gak pernah merasa diterima dan selalu diberi hukuman-hukuman di masa kecilnya. Dia juga kesel karena bapaknya selalu egois dalam menentukan keputusan. Sebaliknya, bapaknya teriak-teriak kalau yang dia lakukan adalah yang menurutnya benar. Yang gw inget adalah kalimat ini:

"Do you have roof on your house? Do you have food in your mouth? Yes, I'm tough on you! And now, are you waiting table? (are you) a bum?"

Ini adalah kasus yang gw yakin dialami oleh banyak anak-orangtua. Ketika orangtua insist kalau apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anaknya (no doubt), tapi dengan cara keras biar si anaknya gak lembek dan mampu hidup dengan baik. Output di anaknya kadang gak seragam juga, ada yang kemudian sukses dan mentally stable, ada yang sukses but mentally unstable (kaya si Henry ini), ada yang justru membelot milih jalan sendiri dan eventually rukun dengan orangtuanya, atau yang rebel dan kabur selama-lamanya. Banyak variasinya.

Di gw sendiri, bapak gw termasuk yang keras, ke siapapun, to be fair. Mungkin karena beliau keras juga dengan dirinya sendiri ketika remaja. I mean, he studied hard with no lamps at night, walk miles to go to school, became a social activist, and later pursued doctoral study to Germany no less--negara yang udah terkenal "garang" dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi.

Pernah ketika gw belajar matematika sama beliau dan dengan gayanya mengajar sukses bikin gw kapok sama matematika. Dari situ dan dari beberapa momen lainnya, gw menjauh because I saw my father as a threat. But he still closely monitored and took decisions on my education. Gw merasa gw selalu ditolong dari "jurang kegagalan" ketika misalnya NEM SMP gw kecil, lalu bapak gw pun memutuskan masukin ke SMA Tarbak, yang pastinya berbiaya gak murah. Ketika mau masuk ITB, beliau pun memutuskan gw untuk ngambil jalur USM, yang duit masuknya lebih gede dari jalur biasa. Yang penting, masuk ITB, terserah jurusannya apa. Ketika gw lulus S1, bapak gw bilang kalau beliau udah nyiapin uang buat gw S2--yang nyicil ditabung semenjak gw S1. Maka, dengan implisit pun beliau minta gw S2. You know, tipe "terserah" yang mengandung perintah.

Maka, walaupun gw "membelot", tapi gak pernah sampai jauh karena masih kepikiran untuk fulfill keinginan beliau. Gw jadi serba nanggung--part of it ya harus diakui murni kesalahan gw aja yang gampang bimbang, galau, dan baper.

Balik lagi ke cerita Henry tadi. Setelah 7 bulan dipenjara, bapaknya Henry ini dibebaskan secara bersyarat. Dijemputlah sama Henry and they went fishing, something that they used to do together when Henry was little. Di perahu itu, mereka makan permen favoritnya Henry dari dulu, dan bernostalgia. Ngobrol-ngobrol, si Hakim Palmer ini akhirnya bilang kalau Henry is a good lawyer. Dia bilang justru karena dia melihat Blackwell kaya liat Henry, dia takut kalau gak dikerasin, Henry anaknya ini bakal jadi orang kayak Blackwell. Intinya semacam "I did my best to you and I'm glad you are you right now". Gak lama, Henry pun mancing, tapi bapaknya nunduk diem. Then Henry found out that his father's dead.

Sedih tapi liberating. Gw merasa keduanya somehow udah saling memaafkan dan menerima satu sama lain.

Gw jadi inget kata temen gw kalau ada dua orang yang berantemnya paling keras justru karena mereka yang (sifatnya) paling mirip satu sama lain.


Oke, peeps. Sekian ya. Kalau mau komen silakan.

Cheers!

Friday, July 13, 2018

Fatherly Love (1)

Hey, hey, hey.

Gila udah lama rasanya gw gak nulis, dan baca. Bisa hilang akal lama-lama. Like, literally lose my mind. I can rambling about how my current work state somehow makes me like this and write an essay about it but not tonight.

Kita review buku dan film, yuk!

Sebagai bagian dari pengobatan hilang akal, gw pun harus kembali berteman dengan buku. Diambillah sebuah buku yang sudah lama antri di to-read-list di rak buku. Buku itu adalah Terima Kasih Bapak yang ditulis oleh temen gw sendiri, Yosay.


(Not so) fun fact: gw udah beli buku ini kayak 2 bulanan yang lalu (gak lama setelah launch di tobuk Indonesia) tapi gak dibaca-baca karena alasan emosional. Iya maapin aku anaknya baperan. :))

Dari judulnya, kita bisa menebak apa intisari bukunya bukan? Tentu saja bukan tentang mejik Alohomora dengan anjing berkepala tiga, atau romansa hari Sabtu di lapangan basket bersama kakak kelas. Yosay herself wanted it to be straightforward, just like when she asked me in choosing its title. I was suggesting some kinds like "Dasi Bapak", "Bapak, Jalan Yuk!" and other metaphorical title but she was like: "aku sih pengen yang langsung to the point aja mengungkapkan rasa terima kasih buat bapak". Maka, jadilah buku yang berisi daftar nasihat bapak(nya Yosay) yang menginspirasi hidupnya.

Sedikitnya gw tahu hubungan mesra Yosay dengan bapaknya, and such a great influence he is to her. I was emotional because I don't have that kind of relationship. I was afraid of comparing my father to her, of how her father did something that mine didn't--you know, that kind of stuff. There was a little bit anger (or envy?) as well, to be honest.

So I gave myself time, quite a long. Gw inget ada beberapa kejadian semenjak gw beli buku itu yang bikin mikir soal orangtua, dan long story short, akhirnya gw pun "siap" untuk baca. Padahal bukunya tipis dengan font berukuran besar, porsi yang cukup dihabiskan dalam satu kali perjalanan kereta Jakarta - Bandung. Emang lebay aja lu, wa. :)))

Dengan gw yang sudah meditasi sebelumnya, maka gw pun bisa melihat dengan objektif saja tentang bukunya. Congrats and well done, Say. Nulis buku ini adalah salah satu dari keberanian kamu yang macem-macem bentuknya. Isinya sangat Yosay sih sebetulnya, ibarat lagi baca blognya.

Ada 12 bab disuguhkan Yosay yang masing-masingnya memuat kisah inspiratif dari sang Bapak yang kemudian membekas di benak Yosay kecil sampai sekarang dewasa. Nilai-nilai baik seperti toleransi, kerja keras, tanggung jawab, gemar belajar, sampai bahkan soal kebangsaan diselipkan di setiap percakapan ayah-anak tersebut. Bapaknya menjadi teladan yang figurnya sangat kuat bagi Yosay sehingga semua tindakan, pikiran, ucapan Yosay sebagai anak pertama berkiblat pada sosok Bapak.


Di setiap babnya gw menemukan esensinya masing-masing dan memang sesuatu yang patut diresapi. Bagi gw pribadi, hal-hal tersebut adalah pengingat bagi diri sendiri sebagai manusia dan juga sebagai calon orangtua kalau nanti dipercaya punya anak. Untungnya, pikiran "yah tapi kan bokap gw gak kayak gini" mulai menepi walau masih mengintip dari sudut batin. Intinya, bukan untuk membandingkan lagi, tapi gw bacanya sebagai pembelajaran.

Gw pun berpikir bahwa sejatinya semua orangtua mencintai kita sebagai anaknya, hanya saja caranya berbeda-beda. Gw yakin bapak gw pun sama cintanya, tapi sayangnya pola komunikasi yang tidak terbentuk dengan baik menghambat kemesraan dan nilai-nilai hidup yang perlu diturunkan. Tapiii, that doesn't mean I can't learn something from him because I do learn a lot. And I feel grateful for that.

Lucunya, gw tidak sendiri dalam struggle baca buku ini sebetulnya, hehe. Tapi kalau kalian gak aneh kayak gw dan butuh bacaan inspiratif, it is nice to peek a glimpse of how fatherly love shape the mind of a bright daughter. Pick a value and try to contemplate it in an aspect of your life.

Nah, ini ibarat semesta mendukung banget sih. Jadi setelah gw baca buku itu, selang beberapa waktu, gw nonton The Judge. Pemain utamanya Iron Man (please, RDJ itu terlahir untuk memerankan Tony Stark!) dan katanya film ini masuk kategori award something. Inti ceritanya menarasikan hubungan ayah dengan anak laki-lakinya yang tidak harmonis, dan bagaimana keduanya menghadapi hal itu dengan pergumulan batin masing-masing. Karena baru aja kemarin malem diberesin filmnya--iya, nontonnya kebagi dua sesi gitu--jadi rasanya pengen gw ceritain di sini. Tapi panjang banget yak untuk post ini.

Baik pemirsa. Waktunya break dulu ya. Go take a bath or have your meal. Kita lanjutkan setelah pariwara berikut.

Cheers!