Monday, September 17, 2018

Master Study at MBA: The Early Challenges

Ceritanya lagi kenalan dengan sesama mahasiswa baru, sebut saja A.

A : "Kamu angkatan berapa?"
Gw: "2007"
A: "Oh 2007, sama kayak suamiku. Aku 2009."

Detik itu gw seolah diingatkan akan 2 hal:
1. Gw tua.
2. Gw belom kawin.

Bukannya tidak sadar akan kedua hal tersebut, tapi dalam diri gw sebetulnya sudah dalam keadaan damai dengan diri sendiri. Bahwa menjadi 20-something ini tidak kemudian otomatis menjadikan gw "tua" dengan definisi sesungguhnya yaitu ubanan, pikun, dan osteoporosis. Bahwa belum menikah adalah fakta (dan mungkin juga keputusan) yang gw terima dan jalani sepenuhnya.

I was fine with it, until I met people.


Soal umur adalah the earliest challenge I have to face ketika masuk MBA ini. As you may have read in the earlier post about my study, this major is like a "second-grade happiness" atau "pilihan kedua" karena pilihan pertamanya scicomm. Tapi walaupun begitu, I made this decision, and I was excited about it--bayangan akan menjadi mahasiswa, belajar hal baru, nulis, dan ketemu rekan seangkatan yang diverse.

Diverse. Boy I was wrong.

Di pikiran gw yang naif, idealis, dan perfeksionis ini, teman-teman seangkatan gw akan terdiri dari umur 23-32 dengan sebaran yang rata. Ternyata, hidup tidak seindah itu. Ternyata, populasi terbanyak adalah di kisaran 22-24. Dan ternyata, (sepanjang pengetahuan gw sampai sekarang) I am the oldest girl in the group. Oldestnya pencilan atas pula. :))

Sebelum ketemu face-to-face dan di awal berinteraksi dengan orang-orang, gw masih pede menyebut angkatan gw, seperti yang terjadi di dialog atas. Sehingga ada segelintir orang yang tahu kalo gw 2007. Tapi kemudian ketika gw baca demografisnya, gw mulai mundur dan merasa gak nyaman. From that day, kalo ada yang nanya angkatan, gw akan balik nanya;

"Kelihatannya angkatan berapa?"
"Hm, 2013 juga?" (((juga)))
"Hehe, ya udah percaya itu aja."
Yang berujung mereka manggil gw nama tanpa "kak", "mbak", atau "teh". Which is fine to me, malah jadi risih ketika ditambah embel-embel itu. Jadi penasaran gimana reaksinya nanti ketika tahu gw 6 tahun di atas mereka. Bukan apa-apa sih, gw sendiri pun kalo memposisikan jadi mereka juga bakal kaget. Ibarat lihat angkatan 2001. :))

Why this age gap bothers you so much? Don't you have a bf who is 5-years younger?

Oh ya, the fact that he is 5 years younger really helps me, though. Dia memperlebar toleransi pandangan gw terhadap orang yang lebih muda. Kalau gak sama dia, mungkin sekarang gw masih look down orang yang lebih muda dari gw, apalagi yang 5 tahun di bawah. Ngaku deh, angkatan berapa pun kalian, pasti pernah lihat orang yang 2-3 tahun di bawah terus nyeletuk dalam hati "oh bocah". Mending "oh", mungkin gak sedikit juga yang nganggep "ih". Gw bukan bicara tanpa sampel loh ya, karena gw melihat beberapa contoh yang kayak gitu. Gak heran juga, ketika masa sekolah kita pada umumnya dihabiskan dalam aroma "senioritas", tanpa sadar membentuk mindset yang-muda-yang-gak-tahu-apa-apa. Padahal, usia gak lagi relevan ketika udah masuk ke dunia kerja.

Nah, soal umur ini sebetulnya ketika gw di eFishery sih gak ada masalah. Temen gw banyak yang lebih muda dan gw pun berteman aja kayak biasa. Bedanya adalah kalau kita kerja kan masuknya gak barengan, skillnya beda-beda sehingga kerjaannya pun beda-beda. Gw sangat respect ketika ada yang lebih muda dari gw dan jago atas yang dia kerjakan. Sedangkan kalau kuliah kan masuknya barengan, belajar hal yang sama--ibaratnya startnya dari titik yang sama. Ini menjadikan gw yang umurnya jauh lebih banyak jadi merasa bodo sendiri. You know, kayak anak SMP kelas 3 gak naik kelas dan harus ngulang di kelas 1. It feels like "I should have known something at this age, but I don't".


Gw sempet ngedumel sendiri dan bertanya-tanya,
"Kenapa sih orang baru lulus S1 langsung S2?"
"Emang gak boleh ya, yang udah 7 tahun lulus lalu ambil S2?"
"Is it too late for me to take a master study?"
"Kenapa sih orang-orang buru-buru pengen ambil MBA? Coba lihat jurusan lain, kayaknya masih banyak aja yang umur 30-50."

Tenang, gw juga tahu jawaban dari semua itu kok. It was just my rant.
Eh btw, ada 1 orang yang umurnya 36 dan 1 orang 50-an, bapak-bapak berkeluarga. Sekali lagi, gw adalah cewek paling tua (dan belum nikah) satu-satunya di angkatan. Wekaweka.

Oh iya, satu lagi poin penting terkait ini. Gw mengambil program YP (Young Professional). Sebagai informasi, MBA itu ada 3 program: YP, CCE (Cultural and Creative Entrepreneurship), dan EMBA (Executive MBA). Pertimbangannya adalah, gw kan emang mau resign dan fully committed sama kuliah. Maka pilihannya antara YP atau CCE, karena EMBA itu kelas karyawan, yang kuliahnya Jumat-Sabtu doang. Gak milih CCE karena CCE harus punya proposal bisnis dan they will interview you as part of the admission. So, YP then, the regular one. Di booklet MBA sebetulnya tertulis keterangan kalo YP ini--sesuai namanya which I quote: "diperuntukkan bagi professional muda dengan pengalaman 1-2 tahun kerja". TERNYATA HARFIAH SEKALI YA PEMIRSA. :))

Gw pun melakukan investigasi. Gw tanya-tanya temen alumni EMBA (seumuran), katanya dia aja berasa yang paling muda di kelas. Gw tanya kenalan EMBA yang seangkatan, katanya "banyakan da yang muda-muda seumuran kita (he thinks I'm 25), yang 30-an ada juga, 10 orang lah". Maka gw pun membuktikan hipotesa dengan nelusup ke kelas EMBA. Lalu yang gw lihat adalah komposisi temen sekelas yang gw bayangkan sebelum masuk kuliah: diverse (secara umur) dan lively (secara diskusi). *insert heavenly backsound

Alasan gw seat-in EMBA sebetulnya gak hanya pengen lihat demografis kelasnya sih, tapi juga pengen tahu secapek apa kelas yang kuliahnya seharian dan kebetulan mereka udah dapet Marketing--the only subject in MBA I'm interested about (so far).

Gak bohong, gw sempet kepikiran pindah ke EMBA. Tapi kemudian kalo dipikir-pikir, nambah 20 juta (YP dan EMBA sppnya beda 20 juta, in total) terlalu mahal untuk apa yg gw pengen. Lagipula, capek juga kuliah seharian gitu, dan belum tentu kelasnya sesuai sama ekspektasi terus-terusan.

So this is the challenge I have to endure. Mungkin sepele. Mungkin "nanti juga betah, kan baru adaptasi". Mungkin "nanti juga punya temen". Mungkin juga "kamunya aja yang perlu buka diri". As an introvert, bersosialisasi sama orang baru itu sulit sih. Apalagi di gwnya merasa "gak naik kelas". Gak nyaman memang, tapi ya sudah, harus dihadapi.

Jadi kepikiran, kalo gw jadi S2 di luar, apakah ketidaknyamanan soal usia ini akan muncul? Lagi-lagi, gw masih berpikir kalau S2 itu akan beragam secara umur, dan kayaknya orang luar gak akan terlalu peduli soal umur. Apakah pas kenalan mereka akan nanya "kamu angkatan berapa"?

A friend of mine once told me about this thing, dia bilang yang intinya "orang bule mah gak kenal strata bahasa, makanya manggil nama bebas-bebas aja. Sedangkan orang Indonesia kan ada norma manggil pake sebutan, siapa yang dipanggil pak, bu, akang, teteh".

Segitu dulu deh rant hari ini. Next post gw akan share admission ke MBA ITB--kalau mood dan merasa siapa tahu ada yg butuh. :))

Cheers!

Sunday, September 9, 2018

Jejak Langkah

Jejak yang kau tinggalkan, semakin lama terhapus oleh suksesi alam.
Anak-anak rumput baru tidak paham bahwa hidupnya menegasikan arah untukku yang tidak tahu kemana hendak melangkah.
Angin yang membawa serpihan tanah, menumpuk seiring waktu. Mengikis cekungan yang dibentuk alas kakimu. Lalu turunlah hujan sepanjang malam, mengaduk permukaan bumi.

Dan hilanglah jejak itu, sebelum aku bisa menemukanmu.

Lihat arah matahari, kau berpesan.
Baca mata angin.
Sentuh lembap lumut.
Dengarkan gemuruh bumi.
Semua adalah petunjuk agar kau tidak tersesat.

Kau pergi bersama pasang surut samudera.
Aku tak tahu bagaimana kau menyeberang ke ujung sana.
Di tengah ilalang tinggi aku berada, hanya horizon saja yang tertangkap mata.
Dan kau lenyap seolah ditelan angkasa.

Perjalanan panjang perlu ditempuh menembus belantara ini, sayang.
Salahkah jika aku takut?
Aku menyaksikan matahari timbul tenggelam. Aku tidur beralaskan tanah untuk mendengar detak bumi.
Kuamati gemeresak rimbun yang tertiup angin, ke arah mana mereka menari?
Satu hari aku melangkah jauh.
Satu hari lagi aku meluncur jatuh.
Aku takut. Takut bentang alam ini melumatku, mendekomposisiku, dan mengubahku menjadi unsur hara.

Tapi seharusnya aku tahu.
Bahwa menyusuri langkahmu ke tepian daratan tidak akan mudah.
Berjuang, kata mereka. Tidak menyerah sebelum kalah.
Mampukah aku, menebas rasa takutku yang mungkin lebih besar dari ujian yang ditawarkan hutan hujan?
Mampukah aku, berjalan di dua kakiku sendiri, dengan akal nuraniku, tanpa uluran tanganmu?