Wow, jadi selama wiken ini (terhitung dari Jumat malam), gw merasa banyak mendapat pencerahan terhadap sifat gw selama ini. Like, what, lu baru sadar sekarang? Ngapain aja 27 tahun ke belakang? Berarti apa yang gw lakukan selama ini salah dong? Woah, jadi panik. Gak 100% panik sih, karena sebagian dari itu adalah excitement dalam mempelajari diri sendiri--karena selalu ada hal yang menarik kalau udah menyangkut perilaku orang.
Jadi, hari Jumat kemarin ceritanya gw ini dicarekan. Disemprot. Dinasehatin. Ya, you name it.
Awalnya adalah yang gw mulai notice dari beberapa hari yang lalu kalau kebiasaan buruk yang gw lakukan selama ini akan berdampak lebih buruk lagi ke habit dan hidup secara general. Gak mau efek domino ini berlanjut, gw pun segera ngomong sama diri senditi, " oh ini gak bener sih, I need help". Jadilah gw curhat sama dia. Karena beda sih ya kalau curhat sama cewek lagi, apalagi yang deket, pastinya digulain. Malam itu, gw digalakin *insert emoji ketawa tapi nangis*.
Intinya, dari situ, yang bisa diambil sebagai saran adalah:
1. Gw ini perfeksionis but not in a good way
Karena topiknya kemarin adalah soal kerjaan, jadi contoh perfeksionis disini adalah ketika I want a make a good piece of writing.
Di mindset gw adalah, gw ingin deliver sesuatu itu dengan baik. Pantang ngasih draft karena, salah satunya, ngerjain the whole thing sama yang nyicil-nyicil itu feelnya beda. Padahal katanya kan "continuous improvement is better than delayed perfection". Nah, definisi "dengan baik" itu kemudian I put a lot of effort to make it good, but then I get lost in the process. Kata dia, kalau nyari sumber jangan keterusan kayak link Wikipedia (yang buka ini muncul info baru lagi, klik ini muncul info lagi), kecuali kalau memang, misal, 10 sumber can make a significant impact dibanding cuma 3 sumber. Kalau sama aja, ya mending stop di 3 sumber, kupat tahuuuu! *toyor pala sendiri.
Gw banyak mendapat "praise" kalau gw ini orangnya detail. Bungah (seneng) atuh ya namanya dipuji. Tapi sebenernya udah merasa dalam hati kalau perfeksionis ini bukan yang oke gitu, hanya saja belum nemu gimana contoh konkrit gak okenya. Ternyata ya itu, gw sering tersesat pada cara yang inefisien ketika pengen mencapai sempurna.
Hal ini pun terefleksikan ke kehidupan sehari-hari. Contohnya, gw gak mau bales sesuatu yang butuh mikir dan menurut gw harus dibales di kondisi dan susunan kata yang paripurna. Padahal mah cuma si orangnya cuma minta apaa gitu. Misalnya, orang nanya, "udah liat email?". Itu adalah salah satu pertanyaan terserem menurut gw, satu level di bawah "kita perlu ngobrol". Jadi, meskipun gw udah liat emailnya misal tapi belum nemu jawaban yang sempurna maka gw tunda aja jawabnya sampe gw merasa less intimidated. Selama delay itu gw akan merasa gak nyaman kaya ambeien. Setelah berapa lama, gw akan jawab kayak jawab soal esai. Padahal si orangnya mah cukup tau kalau gw udah cek email apa belum, udah, gak wajib dibahas panjang. Nah jadi rugi kan gw gelisah.
Hal lain adalah kayak, gak mau nulis sebelum jiwa dan raga ini terpenuhi dengan baik. Gak mau nyuci sebelum nulis selesai sempurna. Gak mau ngucapin selamat ulang tahun ke temen karena pengen bikin puisi ala Aan Mansyur. Gak mau melakukan ini karena itu belum ada dan belum sempurna. Yah, akhirnya gw nanti akan menunggu saja dan bukan menjalani hidup dan mengambil kesempatan-kesempatan. Hii, serem juga.
2. "Terus, mau nyalahin orang lagi?"
Menusuk rasanya, tapi bener sih.
Ini mungkin lanjutannya perfeksionis yang inefisien tadi. Jadi misal ya, gw pengen nulis itu ketika jiwa dan raga siap. Agar raga siap, gw butuh kupat tahu anget maka pergilah ke warung depan. Eh taunya ngantri banget tuh, gw pun ngabisin 1 jam sendiri untuk ngantri doang. Jam makan siang pun habis, gw pun bete dan bilang,
"orang-orang sih tadi banyak banget, terus ibu yang ngeladanginnya juga cuma sendiri pula, lama banget, sebel."
Padahal kan bisa gojekin aja gitu. Gak perlu nyalahin orang-orang da sarua hayang kupat tahu, apalagi nyalahin ibu yg jualnya. Maksudnya, bisa sih ngedumel karena mungkin hal-hal yang orang lakukan itu emang unpleasant, tapi kita toh gak bisa ngontrol mereka mau ngapain, instead kita bisa ngontrol reaksi kita dan memilih untuk deal with it dan keep going menuju tujuan.
Jadi inget kasusnya rekan kerja di kantor yang dulu. Ada temen gw yang ngedumel juga soal sistem dan nyalahin tim karena kurang ini itu. Terus atasan kami waktu itu bilang, "gw tahu ibaratnya kita mau pergi ke Puncak (yang di Bogor itu ya, bukan sekedar metafor) itu idealnya naik mobil biar nyaman, tapi sekarang adanya vespa jadul ya mau gak mau kita pake si motor butut itu buat kesana". Which is actually exactly what the HR said to me regarding my issue at the office.
Stop blaming and stop seeing yourself as a victim. While maybe you have the right to be angry because you're wronged, but better to focus on what you can do, not just throw some rants. *ngomong sama diri sendiri
----
Satu lagi sebenernya adalah tentang "get off of your comfort zone" tapi kemudian gw dari dulu merasa konsepnya abstrak. I mean, I do understand the meaning dan gimana cara mencapai itu, kayak "memaksa" diri untuk melakukan lebih dan untuk "stretching" ke lingkungan yang bisa menempamu lebih baik. Turns out, contoh konkrit di 2 poin di atas lebih efektif karena dari situ gw bisa kebayang "oh contoh nyaman adalah ketika nyalahin orang lain, berarti keluar dari zona nyaman adalah stop blaming dan start to take my own responsibility".
Sebelum nulis post ini juga gw keinget istilah "passive-agressive". Sering denger tapi gak pernah tahu artinya apa. Salah satu kebiasaan yang dicopy dari dia adalah kalau gak tahu ya googling lah, kebiasaan milenial yang sangat berharga di jaman teknologi (Mbah Google ftw!). Lalu gw pun membaca informasi yang mindblowing. Whaaat, passive-agressive ini mah aku banget. Semakin dibaca semakin relatable tapi juga semakin ngeri karena banyak banget flawnya dan itu gak bagus.
Tengok artikel ini deh. Ibarat baca hasil tes personaliti rasanya.
Tapi ya, passive-agressive ini adalah common behavior di banyak orang, seluruh dunia. Artinya ada banyak orang "bermasalah" kayak gw gini. Maksudnya gw gak gila itu, cuma bengkok.
But then, knowing my personality, my flaw, my "crooked" mindset, itu penting sih. Lebih penting lagi tahu gimana cara benerinnya. Lebih lebih penting lagi mau dan mulai benerin. Telat? Here's Sansa Stark speaks for me.
Oke, nulis ini gw pun gak boleh lama-lama. Oh ya di awal tadi mention "selama wiken ini", actually ada beberapa hal kayak membuktikan 2 poin di atas, dan itu kaya enhance the experience aja karena Jumatnya dikasih tahu besokannya kayak dikasih lihat contoh nyatanya.
I believe everybody has their own struggle. Semangat, semuanya! Selama masih hidup, artinya kita masih dikasih kesempatan untuk belajar. *ngomong sama diri sendiri (2).
Cheers!