Saya, sebagai tokoh yang terbiasa mengambil peran remah-remah gurilem seribuan, langsung gelagapan sekaligus menampar (dalam pikiran) diri sendiri untuk jadi kuat karena toh memang sayalah yang harus bertanggung jawab. Siapa sangka, orang yang selalu merasa kecil dan berada di balik layar ini jadi orang yang menentukan waktu dan lokasi makan siang untuk orang Bangladesh di suatu daerah di Kabupaten Subang.
Gimana lagi kan (ter-teppy nih pake meme qasidah) |
To give you some context, penunjukan gw sebagai LO ini ibarat Bibi (yang suka masakin makan siang di kantor) disuruh ikut quarterly meeting. Eh tapi jangankan Bibi, gw aja sebagai karyawan sering bengong :))). Pertama, walaupun iya sih udah beberapa kali kunjungan ke petani, tapi masih keitung jarang dan itu pun judulnya nebeng agenda. Kedua, ini kan investor--kan gak mungkin ya mereka nanya hal-hal ringan kaya kenapa tahu bulat digoreng dadakan. Ketiga, gw di-assign sendiri, Boi, sendiri! Oh iya, keempat, rencananya bahkan mau roadshow ke Pantura ngunjungin 3 petani di 3 lokasi berbeda. Si serbuk micin, sendiri, nemenin investor dari Bangladesh, keliling Pantura. Lempar saja aku ke kandang buaya, mz.
As it turned out, ternyata gak semengerikan yang dibayangkan. Akhirnya ada 2 orang yang nemenin di 2 hari berbeda. Pun, akhirnya visit petani cuma di 1 lokasi aja. Misuh-misuh selesai.
Apa yang mau gw highlight disini sih lebih ke pengalaman berkomunikasi dengan mereka. Sebut saja bapak-bapak Bangla ini K dan J. Hari pertama gw mules, hari kedua masih mules, hari ketiga juga mules. Intinya nemenin K dan J ini bikin pencernaan gak beres. Well, hari pertama was kinda shocking karena tentu saja yang namanya pertama suka ada efek kejut. Gw harus terbiasa dengerin English dengan aksen ala India dan frustasi ketika gak ngerti mereka ngomong apa. Lebih frustasi lagi ketika gak bisa jawab dengan baik.
Kita-kita mah kan ya baru kenal paling ngobrol asal daerah, kondisi jalan macet, cuaca, makanan, hobi. Lah ini, di hari pertama si Bapak K nanya soal stabilitas politik ("do you think it is politically stable in Indonesia?"), populasi kota ("what is the population in Bandung?"), perdagangan ("which one do you think Indonesia trade with the most, USA or China?"), dan komoditas agrikultur ("do Indonesia grow any nuts, like cashew?"). Gw merasa down dan super cape di hari pertama padahal secara fisik kerjanya cuma duduk dan ngomong doang. Aku pun curhat.
Well noted |
Hari kedua, selama perjalanan pp Subang, walaupun mules, gw berusaha untuk memahami temuan gw di atas itu. Karena justru sekarang apa yang dia tanya dan ceritakan pun jadi hal menarik, kaya ketika dia nanya yang intinya kenapa kita sering lihat sawah daripada kolam ikan, padahal sama-sama butuh air dan lahan luas. Atau ketika dia nanya gimana Indonesia jadi negara muslim, influence dari negara mana yang bawa Islam jadi mayoritas, because Bangladesh is also a moslem country. Juga ketika dia nanya struktur tata negara kaya urutan dari negara-provinsi-kota-kecamatan, dia cerita juga kalau di Bangladesh itu pembagiannya lumayan banyak sampai ke unit terkecil. Lupa apa aja, salah duanya ada sector dan district. Momen yang rada cair adalah ketika lagi ngomongin orang :))), tapi itu kaya cuma 2% dari the whole topic hari itu.
Hari kedua: udah mules, hinyay lagi. |
Di tambak udang Pak Bambang, Blanakan, Subang. |
Hari ketiga, seharusnya udah gak ngurusin mereka lagi secara itinerary, tapi ya udah kadung apa-apa di gw jadi ya mau gak mau tetep ditemenin. Bapak K ini gw lihat sangat kepengen to the point, sedangkan orang yang diwawancaranya kalo jawab suka pake prolog dulu, atau nambah-nambahin poin. Disini gw melihat pola sih. Kadang, orang kita tuh kalo jawab sesuatu gak langsung ke intinya atau diulang-ulang. Apakah itu salah satu adat ketimuran yang membiasakan kita untuk memperhalus makna? Ini gw ngomongin diri sendiri sih.
Ketika berada di tengah sebagai translator antara Bapak K dan rekanan eFishery (orang Indonesia, sebut saja R), gw melihat dua sisi. Di sisi Bapak K dia punya pertanyaan semisal "do you have it?" yang dia gak peduli sama jawabannya mau yes atau no, toh gak ada yang bener--yang penting itu data. Sedangkan di sisi Bapak R ini gw bisa kebayang sebenernya jawabannya no tapi dia merasa kalo no ini jawaban yang buruk jadi dia kasih prolog dulu--yang padahal mah gak usah. Si Bapak K ini kelihatan gak sabar dengan jawaban Bapak R yang muter-muter, sehingga gw pun ikutan gemes "udah sih jawab ajaaa". Tapi kemudian gw kaya lihat diri sendiri. "Oh, gw gitu ya kalau ngomong, gak berani lugas.".
On the other side, si Bapak K ini emang dia punya banyak peer tapi waktunya sempit sih, jadinya serba buru-buru. Salah dia juga agenda sebanyak itu tapi business tripnya cuma 3 hari. You won't get as much as you want.
Di akhir sidak mereka, Bapak K dan Bapak J berjabat tangan dengan gw dan puja-puji meluncur. "Thank you, Hawa, you've been amazing". "Thank you for accompany us for the last 2 days". "Thank you for being proactive and helping". "Thank you so much". Basa-basi perpisahan sih, tapi quite nice juga sebagai penutup rangkaian mules ini. Selesai itu, gw kaya abis batre, langsung tidur di kantor dan "ke belakang" lamaa banget.
Kunjungan ini jadi their first time in visiting Indonesia, by the way. |
Monmaap nih ya kalau norak, apalagi buat kelen yang hidupnya di luar negeri. Ya jangan dibandingin hidupmu dengan hidup serbuk micin ini.
Cheers!