Sunday, February 18, 2018

Komunikasi Sains (Lagi)

I hope you guys haven't been tired of me pouring you another what and why science communication, because I'm going to share another one :p.

Tanggal 25 November tahun lalu gw ikutan workshop yang judulnya "Menulis Sains" dari Langit Selatan (LS). Thanks to Benet who informed it to me via Instagram (alhamdulillah IG ada faedahnya). LS sendiri namanya udah mampir di telinga gw ketika masih di Pinteraktif, for all I know that it is a media dedicated to share anything about Astronomy in a pop-science way, dan yang bikin orang ITB. Long story short, meluncurlah gw ke lokasi workshop.

Begitu datang, meski telat 15 menit, gw orang ke-2 yang hadir di ruangan... dari 10 orang saja yang daftar. Gw antara sedih tapi maklum karena pertama topiknya mungkin gak begitu se-ngepop dan familiar kayak misal "workshop bikin IG story kamu gak garing" atau "workshop vlog untuk pemula" atau "cara untung bisnis MLM", kedua ya mungkin nama LS gak menggedor banyak orang. Beda misal yang ngadain dari kampus, atau Kompas. Atau mungkin publikasinya aja yang sengaja gak dibikin gebyar karena ternyata peserta yang hadir pada akhirnya punya waktu untuk beneran dikasih feedback sama pembicara.

The spark in me had already begun when I chatted with two speakers while waiting others to come. Mbak Vivi (Avivah Yamani) yang adalah pengelola LS langsung bilang "Oh kamu temennya Toru sama Kiboy? Yah dunia sempit" pas tahu gw dulu di Pinteraktif. Langsung berasa akrab :)). Di basa-basi itu mereka nanya kenapa tertarik ikut acara ini, gw pun cerita pengalaman kerja dsb, bahkan cerita rencana mau ambil S2 SciComm, sampai Mas Zaid (Muhammad Zaid Wahyudi) ngebuka laman eFishery University yang gw kelola di kantor. "Menarik ini," kata beliau. Dibilang gitu sama wartawan rubrik Sains & Teknologi koran Kompas ya gimana gak seneng.

Sesi workshop pun dimulai.

Mbak Vivi memulai dengan penjelasan tentang komunikasi sains; the what, why, and how in general. Gw lupa deh, apakah di blog ini udah pernah gw share soal why scicomm? Oh udah deng, dengan sudut pandang gw sendiri sih. Kalau menurut Mbak Vivi, yang kemudian gw aminkan, kira-kira seperti ini:



Keliatan gak sih? Ini deh ditulisin:
  • Tanggung jawab ilmuwan
  • Isu penting harus diketahui publik
  • Mempengaruhi pengambil kebijakan
  • Fokus media pada berita cepat
  • Latar belakang yang berbeda membutuhkan pendekatan & mekanisme komunikasi yang berbeda
  • Menegaskan garis batas antara sains dan pseudosains
  • Menginspirasi anak muda untuk menjadi ilmuwan
Mbak Vivi sendiri adalah lulusan S1 dan S2 Astronomi, anak Himastron (Himpunan Mahasiswa Astronomi) ITB yang emang suka nulis juga. Selain poin di atas, hal yang paling bikin gatel Mbak Vivi adalah banyaknya hoax di media berita kita, terutama soal ilmu astronomi. Katakanlah teori bumi datar, isu Mars bakal segede Bulan (serem banget), berita soal jarak terdekat Matahari bikin warga Jakarta lebih agresif, bahkan soal supermoon saja beliau sangat berhati-hati untuk gak membesar-besarkannya like other media did. Mbak Vivi menggunakan science communication untuk melawan hoax.

Pengen sih gw tulis panjang lebar soal poin-poinnya Mbak Vivi itu tapi nanti kepanjangan. Gimana kalau kita simak aja apa yang Greg Foot ceritakan soal kenapa scicomm itu penting. What he delivers are similar with Mbak Vivi's talk:


"To share the wonder of science," he said. Exactly what I wrote in my personal statement for scholarship application :)). Eh btw, Mas Greg ini salah satu science communicator yang namanya cukup "kedengeran", setidaknya di Inggris.

I want to share something my father said as well regarding a science communicator that connects scientist and society. Katanya, kita punya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tapi gak ada orang profesional yg mempublikasikan jurnal-jurnal penelitian. "Kalaupun ada publikasi, mereka hanya administrasi saja. Bahkan ITB pun gak ada badan khusus yang mempublikasikan penelitian. Bandingkan sama NASA, itu jadi sesuatu yang besar," ujar beliau. Agak diedit dan sensor sana-sini ya soalnya ya Pak Dadang kan kalau ngomong mayan pedes ya sis. Intinya, beliau juga menyayangkan padahal kita punya banyak lembaga-lembaga pendidikan tapi ya sains hanya dikonsumsi di lingkungan mereka sendiri saja. (Mas/Mbak Humas LIPI, mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol sambil ngopi?)

Bicara soal pendidikan--balik lagi ke suasana workshop "Menulis Sains"--di sesi kedua yang disampaikan oleh Mas Zaid, beliau punya pendapat sendiri kenapa komunikasi sains ini penting: membangun logika bangsa. Beuh.

Sebagai science journalist, Mas Zaid menggunakan sesinya lebih ke teknis menulis. Katanya, ada 4 hal yang harus dimiliki kalau mau menulis sains, apalagi yang tujuannya untuk inform banyak orang:
  1. Logis, mampu menalar
  2. Skeptik, tidak mudah percaya
  3. Paham teknis
  4. Jujur
Kemudian lanjut ke jenis-jenis tulisan, gimana caranya nulis teras berita, konstruksi 5W1H, nyari ide liputan sains dari berita sehari-hari, sampai akhirnya ke sesi dimana masing-masing peserta mencoba membuat tulisan tentang sains. Kami berlima (iya, pesertanya akhirnya 5 doang yang hadir!) dikasih waktu sejam lalu satu-satu maju untuk jelasin singkat soal tulisannya. Gw, karena antusias dan emang kepepet ada janji jam 6 sore, akhirnya berinisiatif untuk maju pertama. Memang ya, manusia yang suka tidur dan dapat nilai D di kelas kalkulus seperti saya ini bisa berubah jadi ambisius kaya Agnes Mo kalau berhadapan dengan hal yang disukai.

Sesi Mas Zaid soal menulis sains. Ambisius kan aku duduk paling depan. :)) (credit Langit Selatan)

Waktu itu karena lagi rame soal Adam Fabumi, si anak bayi yang meninggal karena komplikasi penyakit langka, gw pun menulis tentang apa di balik sindrom Dandy Walker itu. Feedback Mas Zaid soal tulisan gw adalah katanya ini lebih cocok untuk disimpen di media-media internet. Gw antara skip instruksi tugasnya atau emang kebiasaan bikin artikel buat EU, jadinya emang sengaja dibikin buat digital, plus H1 H2 buat SEO--yang kemudian ini juga dikomen sama beliau kalau jangan terlalu banyak dijeda karena bakal terlalu pendek kalau untuk media koran. Well, memang beda media beda pendekatan. Tapi beliau secara umum suka dengan apa yang gw tulis dan impressed dengan closingnya yang kata dia memberi bekas bagi pembaca. Good to know.

Goal: jadi pembicara untuk komunikasi sains di Indonesia! (credit Langit Selatan)

Setelah gw lalu ada guru-guru SD yang pengen juga bikin sesuatu yang engaging buat muridnya. Satu soal cuaca, satu lagi topiknya tentang lendir paus. Lagi-lagi, karena excited, gw yang biasanya diem kaya kecambah (you should see me in every quarterly meeting at office :p), nyumbang masukan juga yang diamini pembicara. Not gonna lie, it felt good.

Selain itu, hal menarik yang gw ambil dari sesi diskusi langsung tersebut juga adalah caranya Mas Zaid memberikan feedback kepada peserta dengan sabar. Tulisannya ibu-ibu guru itu were not the best I would say, tipe yang bikin urut-urut kepala kalau gw jadi editor. Seperti ketika gw harus meriksa tulisan yang dibuat orang lain, dan ketika gak ketemu sama ekspektasi, lalu gw hanya akan megang kepala dan diam, gak tahu harus gimana. Dari Mas Zaid ini gw belajar gimana mengartikulasi masukan, apalagi terkait tulisan yang beliau sendiri bilang kalau nulis itu kadang adalah soal rasa dan seni. Emang harus pinter aja kaya misal ga bisa tuh ngasih feedback cuma "kayanya lebih enak gini kalimatnya" tapi harus dibikin jelas kaya "anak kalimat ini harus nyambung sama induk kalimat sebelumnya, pakai kata keterangan aja biar bisa disambungin". Note to self, pinter dan sabar.

Segelintir orang-orang yang tertarik scicomm (credit LS)
All to all, gw seneng bisa ikut acara semacam ini. Seneng banget bisa menemukan orang-orang yang berkecimpung di dunia scicomm in real life. Satu pesan dari Mas Zaid soal scicomm: mulai aja sekarang. Teknis bisa dipelajari sambil jalan, yang penting konsisten. *ngomong ke diri sendiri

Terimakasih sudah mengisi bensin untuk membakar semangat komunikasi sains!

Cheers!

No comments:

Post a Comment