Jejak yang kau tinggalkan, semakin lama terhapus oleh suksesi alam.
Anak-anak rumput baru tidak paham bahwa hidupnya menegasikan arah untukku yang tidak tahu kemana hendak melangkah.
Angin yang membawa serpihan tanah, menumpuk seiring waktu. Mengikis cekungan yang dibentuk alas kakimu. Lalu turunlah hujan sepanjang malam, mengaduk permukaan bumi.
Dan hilanglah jejak itu, sebelum aku bisa menemukanmu.
Lihat arah matahari, kau berpesan.
Baca mata angin.
Sentuh lembap lumut.
Dengarkan gemuruh bumi.
Semua adalah petunjuk agar kau tidak tersesat.
Kau pergi bersama pasang surut samudera.
Aku tak tahu bagaimana kau menyeberang ke ujung sana.
Di tengah ilalang tinggi aku berada, hanya horizon saja yang tertangkap mata.
Dan kau lenyap seolah ditelan angkasa.
Perjalanan panjang perlu ditempuh menembus belantara ini, sayang.
Salahkah jika aku takut?
Aku menyaksikan matahari timbul tenggelam. Aku tidur beralaskan tanah untuk mendengar detak bumi.
Kuamati gemeresak rimbun yang tertiup angin, ke arah mana mereka menari?
Satu hari aku melangkah jauh.
Satu hari lagi aku meluncur jatuh.
Aku takut. Takut bentang alam ini melumatku, mendekomposisiku, dan mengubahku menjadi unsur hara.
Tapi seharusnya aku tahu.
Bahwa menyusuri langkahmu ke tepian daratan tidak akan mudah.
Berjuang, kata mereka. Tidak menyerah sebelum kalah.
Mampukah aku, menebas rasa takutku yang mungkin lebih besar dari ujian yang ditawarkan hutan hujan?
Mampukah aku, berjalan di dua kakiku sendiri, dengan akal nuraniku, tanpa uluran tanganmu?
No comments:
Post a Comment