Tuesday, July 17, 2018

Fatherly Love (2)

Oke sebelum lupa, mari kita lanjutkan.

Actually sebelum nulis ini gw browse Youtube dulu dengan tujuan mau ngeliat trailernya The Judge untuk ngeliat how it presented as a trailer, sekaligus dapet feelnya lagi. But since Youtube is also my playground beside Instagram, I got lost and ended up watching The Sims Random Genetic Challenge (Tuhan, ini tuh dangkal banget tapi menyenangkan untuk ditonton). So anyway, ini trailernya:


Ceritanya adalah si Henry Palmer (RDJ) ini seorang pengacara hebat yang apparently selalu menangani kasus yang tersangkanya memang bersalah. Tapi ya karena dia lihai, jadinya kliennya selalu lolos. One day, dia dipanggil balik ke kota asalnya karena ibunya meninggal. Tinggallah si Henry ini dengan keluarganya; kakak (Glen), adik (Dale), dan bapaknya yang dia sendiri adalah hakim di kota kecil itu. Hubungan Henry dan si bapaknya ini broken, even ketika salaman juga awkward banget karena udah bertahun-tahun gak berinteraksi. Ketika ngomong pun, si bapaknya ini salty, termasuk ngomongin pernikahan Henry yang emang saat itu mau cerai.

Gerah dengan semua itu, setelah pemakaman ibunya, Henry buru-buru cabut. Tapi, ketika udah di pesawat, dia ditelpon untuk balik. Katanya, si bapaknya ditahan polisi atas dugaan tabrak lari. Gw pikir si Henry ini bisa aja stayed on his seat dan bodo amat, tapi ternyata masih ada setitik peduli dalam hatinya. Bahkan ketika dia balik dan ke kantor polisi, he defended his father on the case. Bisa jadi karena dia pengacara, jadinya hal-hal demikian udah otomatis. Bisa juga karena memang deep inside, dia peduli.

Henry ini emang anaknya keras kepala dan ngotot. Persis bapaknya. Jadi ketika Henry ngegas nanya-nanya apa yang sebenernya kejadian di malam bapaknya nabrak orang itu, si bapaknya juga ngotot kalau dia gak inget. Ibarat kata pandangan bapaknya adalah "udah lah, jalanin aja sidangnya, trial me as it is, tapi saya gak mau kamu jadi pengacara saya" yang akhirnya dia sewa pengacara setempat. Henry jelas dongkol. Tapi pada akhirnya si pengacara yang disewa juga gak becus dan akhirnya bapaknya mau untuk dibela sama anaknya sendiri.

Meanwhile, anaknya Henry, Lauren, came to visit. Bocah 7 tahunan ini adalah the apple of his eyes. Selama perjalanan dari bandara ke rumah, Henry udah wanti-wanti kalau Grandpa Palmer ini orangnya dingin, gak ngasih pelukan, gak mau bacain buku. To his surprise, justru kebalikannya. Bapaknya ini justru sayang banget sama Lauren--mungkin karena cucu juga, perempuan lagi.

(Salah satu) adegan yang paling menyentuh adalah ketika bapaknya sakit. Ketika denger suara gedebruk dari kamar bapaknya, Henry nyamperin dan ternyata bapaknya jatuh kepeleset dengan posisi meluk toilet, batuk-batuk parah. Henry tried to help tapi ya gitu kan bapaknya marah-marah "don't touch me!" tapi dibantu berdiri anyway. This maybe a little gross but I feel the empathy instead: jadi ketika berdiri, bapaknya semacam diare gitu yang gak bisa dia tahan. Henry masih bantu, bahkan dia mindahin bapaknya ke bathtub untuk bersihin kotorannya. Bapaknya helpless dan pada akhirnya dia diem aja sih dibantuin Henry. Melihat bapaknya yang udah tua, kulitnya keriput dan bergelambir, rambut putihnya yang tinggal sedikit dan awut-awutan, gw jadi kepikiran bapak gw sendiri. I imagine when he becomes that old, sick, and helpless. :(

Later on, diketahui kalau ternyata bapaknya ini punya kanker stadium 4 udah lama dan gak mau ngasih tahu siapa-siapa. Kata dokternya, efek pengobatan selama ini bisa jadi bikin bapaknya ini dementia alias pikun. Dan karena itu pula makanya dia gak inget kejadian ketika malam dia bawa mobil dan nabrak orang. Henry ngotot kalau sakit ini bisa jadi defense yang bagus, tapi bapaknya gak mau jadiin alasan karena dengan begitu citranya sebagai hakim yang selama ini dipandang bijak bisa runtuh di mata orang.

Gw semacam paham dengan ego macam gitu dengan melihat bapak gw. Orang yang kelihatanya punya power tentu sangat gak suka ketika kelihatan powerless; gak tahu dan gak bisa apa-apa. Antara hakim dan dosen, profesi yang sama-sama agung, yang punya kuasa membedakan mana salah dan benar. Dan di usia senjanya, baik si Hakim Palmer dan bapak gw adalah men who used to have power gloriously but now seemed helpless.


Anyway, orang yang ditabrak ini severely injured dan mati sih memang. Tapi kasus ini juga another plot story. Ceritanya dulu ada kasus yang tersangkanya melakukan suatu kesalahan lumayan berat (lupa kasusnya apa, semacam penganiayaan atau pembunuhan juga) tapi dihukum ringan oleh si Hakim Palmer ini. Tersangkanya ini si orang yang ditabrak, namanya Blackwell.

When the final trial came and Judge Palmer recollecting his memory, dia inget kejadiannya. Malem itu dia pergi ke toko beli telur dan ketemu sama si Blackwell. Blackwell, being asshole he is, ngomong ke Hakim Palmer. "So your wife died huh? Gw sekarang bisa pipis di dua kuburan dong," katanya sambil kayak mabuk. Karena kendala subtitle yang bikin bingung, gw gak begitu nangkep kuburan siapa satu lagi. I'm guessing it was the person who died in the Blackwell case years ago.

Dari situ, Hakim Palmer inget kalau dia marah, pulang, tapi kemudian belokin mobilnya untuk balik nyamperin si Blackwell yang lagi naik sepeda dan nabrak lari. And he confessed it in the trial, setelah berusaha nyampein narasi-tidak-bersalah yang dilatih sama Henry. Pada momen yang Henry nanya, "kalau gitu kenapa dulu si Blackwell gak dikasih hukuman berat aja sih?", bapaknya jawab "karena saya melihat kamu di sosok Blackwell. Anak bandel yang susah dikasih tahu, suka bikin onar. Makanya saya mau kasih dia kesempatan hidup". Henry gak bisa berkata-kata.

Pada akhirnya, si Hakim Palmer ini dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 4 tahun.

Oh iya dua lagi adegan yang paling keinget. Long story short ketika emosi Henry dan bapaknya sama-sama terpancing dan keduanya marah besar towards each other, keluarlah unek-unek keduanya selama ini. Bahwa Henry gak pernah merasa diterima dan selalu diberi hukuman-hukuman di masa kecilnya. Dia juga kesel karena bapaknya selalu egois dalam menentukan keputusan. Sebaliknya, bapaknya teriak-teriak kalau yang dia lakukan adalah yang menurutnya benar. Yang gw inget adalah kalimat ini:

"Do you have roof on your house? Do you have food in your mouth? Yes, I'm tough on you! And now, are you waiting table? (are you) a bum?"

Ini adalah kasus yang gw yakin dialami oleh banyak anak-orangtua. Ketika orangtua insist kalau apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anaknya (no doubt), tapi dengan cara keras biar si anaknya gak lembek dan mampu hidup dengan baik. Output di anaknya kadang gak seragam juga, ada yang kemudian sukses dan mentally stable, ada yang sukses but mentally unstable (kaya si Henry ini), ada yang justru membelot milih jalan sendiri dan eventually rukun dengan orangtuanya, atau yang rebel dan kabur selama-lamanya. Banyak variasinya.

Di gw sendiri, bapak gw termasuk yang keras, ke siapapun, to be fair. Mungkin karena beliau keras juga dengan dirinya sendiri ketika remaja. I mean, he studied hard with no lamps at night, walk miles to go to school, became a social activist, and later pursued doctoral study to Germany no less--negara yang udah terkenal "garang" dengan kedisiplinan dan etos kerja tinggi.

Pernah ketika gw belajar matematika sama beliau dan dengan gayanya mengajar sukses bikin gw kapok sama matematika. Dari situ dan dari beberapa momen lainnya, gw menjauh because I saw my father as a threat. But he still closely monitored and took decisions on my education. Gw merasa gw selalu ditolong dari "jurang kegagalan" ketika misalnya NEM SMP gw kecil, lalu bapak gw pun memutuskan masukin ke SMA Tarbak, yang pastinya berbiaya gak murah. Ketika mau masuk ITB, beliau pun memutuskan gw untuk ngambil jalur USM, yang duit masuknya lebih gede dari jalur biasa. Yang penting, masuk ITB, terserah jurusannya apa. Ketika gw lulus S1, bapak gw bilang kalau beliau udah nyiapin uang buat gw S2--yang nyicil ditabung semenjak gw S1. Maka, dengan implisit pun beliau minta gw S2. You know, tipe "terserah" yang mengandung perintah.

Maka, walaupun gw "membelot", tapi gak pernah sampai jauh karena masih kepikiran untuk fulfill keinginan beliau. Gw jadi serba nanggung--part of it ya harus diakui murni kesalahan gw aja yang gampang bimbang, galau, dan baper.

Balik lagi ke cerita Henry tadi. Setelah 7 bulan dipenjara, bapaknya Henry ini dibebaskan secara bersyarat. Dijemputlah sama Henry and they went fishing, something that they used to do together when Henry was little. Di perahu itu, mereka makan permen favoritnya Henry dari dulu, dan bernostalgia. Ngobrol-ngobrol, si Hakim Palmer ini akhirnya bilang kalau Henry is a good lawyer. Dia bilang justru karena dia melihat Blackwell kaya liat Henry, dia takut kalau gak dikerasin, Henry anaknya ini bakal jadi orang kayak Blackwell. Intinya semacam "I did my best to you and I'm glad you are you right now". Gak lama, Henry pun mancing, tapi bapaknya nunduk diem. Then Henry found out that his father's dead.

Sedih tapi liberating. Gw merasa keduanya somehow udah saling memaafkan dan menerima satu sama lain.

Gw jadi inget kata temen gw kalau ada dua orang yang berantemnya paling keras justru karena mereka yang (sifatnya) paling mirip satu sama lain.


Oke, peeps. Sekian ya. Kalau mau komen silakan.

Cheers!

2 comments: