Monday, January 17, 2011

Hati yang Dirantai Waktu


Satu minggu. Tujuh hari.168 jam.

Tak pernah sebelumnya aku menghitung hari dan mengingat-ingat apa yang telah aku lakukan seminggu ke belakang. Namun, minggu ini sangat kompleks. Sangat kejam, walau diawali dengan hari yang mendatangkan senyum.

Seperti pesakitan, aku tergantung oleh obat yang kau beri padaku. Dan ketika obat itu tak ada, sakit yang kurasa luar biasa perih. Aku merintih, “sakit, sakit”, tapi kau tak akan pernah tahu bagaimana rasa sakit itu. Menjalar di setiap nadi, setiap denyut memberikan desakan kuat. Bahwa setiap sel yang ada di tubuhku bahkan menangis, tak kuasa menahan nyeri.

Mungkin salahku terlalu bergantung padamu. Setiap pikiran, setiap tindakan. Tak ada satupun yang tak melibatkanmu. Mengapa? Karena rasa sayang yang terlalu besar? Maka aku lebih baik tidak mencintaimu sama sekali agar tidak ada yang terluka.

Tak tahulah apa skenario Tuhan tentang kita. Aku hanya mengikutimu, melambung tinggi sampai rasanya dada ini sesak karena bahagia yang meluap—kemudian terhempas keras sekali ke tanah kering. Tubuh ini lalu retak, pecah berkeping. Namun, kau tetap berjalan karena tuntutan waktu. Meninggalkanku, hari demi hari. Meninggalkanku, dengan air mata yang jatuh setiap mengumpulkan perasaan yang terberai.

Aku telah berjanji, hati ini hanya untukmu. Tapi, maukah kau berjanji pula bahwa kau akan kembali?
Dengan mata tersenyum yang membuat hilang dahaga. Dengan kasih sayang yang menghadirkan surga.
Kau pun telah berjanji, sayang. Kita berdua tahu itu. Jangan pernah ingkar.

Lalu kapan kau kembali? Bahkan Waktu enggan menjawab. Waktu datang padaku kemudian memanjang dan melambat. Aku bertanya pada Waktu, “kapan?”. Waktu hanya tersenyum mengejek, “akan ada saatnya. Bersabarlah.”

“Persetan dengan bersabar! Mengapa hanya aku yang harus bersabar dengan hati teriris dan tubuh yang menangis?!” bentakku pada Waktu yang dengan cepat terbang bersama angin. “Kembali kau, Waktu keparat! Beri aku jawaban!”

Tak ada jawaban. Hanya dingin yang menusuk, jauh ke dalam relung hati.
Aku ingin mencintaimu dan memiliki hari bersama lagi. Di sisi lain, aku takut dan tak mau bergantung padamu. Aku akan menunggu, menangis, sendiri dengan hati yang terantai, terseret di ruang hampa.

2 comments:

  1. Sisi positif dari kegalauan kamu adalah kamu bisa menghasilkan tulisan yang sangat bagus. Kegalauan itu emang bisa memancing kreatifitas


    Kalau boleh sok2an bijak dikit waa, aku mau share prinsip aku selama ini--> Kita ga boleh terlalu sayang, terlalu mengharapkan, terlalu bergantung sama orang lain (siapapun itu, even orang tua sekalipun) karena kita ga tau takdir Tuhan buat kita dan dia itu bagaimana. Belum tentu umur kita panjang. Belum tentu umur dia/mereka panjang. Belum tentu saya buat dia dan dia buat saya.

    ReplyDelete
  2. aaaa terimakasih ven~~setuju sekali, kalo galau rasanya semuanya mengalir begitu saja, hehe :p

    iya, kayanya aku orangnya gampang kepengaruh dan belum dewasa aja rasanya untuk have no one to depend on. mungkin nanti akan ada saatnya.. anw, thanks for the advice ;)

    ReplyDelete