Wednesday, July 19, 2017

Berlayar

Ada miliaran manusia di dunia, berbeda-beda negara, bahasa, dan mata. Meski manusia diberi Tuhan setidak-tidaknya dua mata, dua telinga, dan satu prosesor otak dengan rangka yang serupa, tapi ruh yang ditiupkan tidak sama.

Mengapa kita diciptakan berbeda? Untuk saling mengenal, belajar, dan meminjam "lensa" masing-masing. Berkelompoklah manusia yang lensanya mirip-mirip. Disebutkan sejarah bahwa kemudian satu kelompok dengan yang lainnya saling curiga, takut hasil buruannya direbut, khawatir mereka tahu tempat air lebih dulu dan meninggalkan kelompok yang lemah untuk mati.

Aku berjalan dan bertemu orang-orang. Berkawan dengan si ikal yang rumahnya terang-benderang. Aku diberikannya gula-gula dan diperlihatkannya kolam renang. Tapi mereka jarang di rumah dan ada satu lampu yang berkedip lemah. Kutinggalkan saja rumah itu lalu kembali berjalan bertemu orang-orang.

Aku naik perahu menyusuri sungai. Hendak kemana, tanya si penebang pohon. Tidak tahu, jawabku, lihat saja di depan ada apa. Lalu suatu waktu air merembes masuk. Panik, kutepikan perahu di sebuah petak pinggir sungai. Cukup nyaman untuk beristirahat sejenak.

Menjelang petang ada yang datang. Di pundaknya ada hasil buruan. Api terpercik dari gesekan batu dan seketika membentuk bayangan serupa langit sore yang bergerak-gerak. Kuhampiri saja dan memintanya untuk memperbaiki perahuku karena aku ingin beranjak. Lalu, aku disuruhnya pergi ke bukit mencari kayu. Begitu kayunya kudapat dan kulempar ke dekat perahu, ia malah geram. Tidak malam ini, katanya. Tangannya menunjuk sungai dan aku terkejut sungai berubah jadi hitam dan berputar-putar, arusnya tajam menghantam tepian tempatku berdiri.

Sebulan kemudian, badai masih meraung. Ingin kupulang saja, lewat jalan kebun labu yang sepertinya tidak jauh dari sini. Tak ada gula-gula, hanya jerami dan daging burung saja temanku di sini. Dan orang itu. Tidak henti aku dimintanya ke bukit mencari kayu, mengambil pelepah, dan mencari kain.

Untuk apa, tanyaku.
Perahumu butuh ini untuk ke kota, cetusnya.
Tahu dari mana aku akan ke sana, aku heran padahal selama ini kami hanya diam.
Karena aku pun ingin ke sana, pandangannya pahit. Tapi aku benci kota, pemimpinnya tidak mampu berpikir, semuanya culas dan ingin menang sendiri. Kelompok satu dengan lainnya saling mengambil senapan dan tak menghargai kerja keras.

Aku menghela napas. Tak pernah sebelumnya kubayangkan kota demikian. Aku terduduk dan memandang titik kota, jauh dan mengintimidasi. Tapi, kerabatku di kota yang berdagang roti membawaku kembali pada aroma manis setiap pagi di lorong sempit. Berkejaran melawan daun-daun yang merunduk rendah, memancarkan embun.

Aku meraih tangannya dan menceritakan apa yang kulihat. Ia memunggungiku selama seminggu, seolah tak mau percaya.

Aku tidak tahu caranya berlayar, maka ajariku.
Aku takut akan kekejaman kota, maka temaniku.

Esok harinya, ketika angin pagi memeluk bersahabat, kami membuat perahu dan mengumpulkan bekal. Lalu, saat matahari naik di atas kepala, saat keringat sebagian mengucur sebagian menguap, aku melihatnya tersenyum dan menawarkan tangannya.

Kusambut tangan itu dan kami pun berlayar.

Menemui ruh-ruh dalam rangka manusia dengan mata yang berbeda-beda. Mencoba berkompromi dengan si penjual nira. Melawan rasa takut untuk membentangkan kain layar. Menjaga kayu agar tidak cepat lapuk. Meneropong ke ujung sungai. Memupuk harapan akan kota yang dapat dipijak dengan sejahtera.

----

Malam ini hujan. Bawaannya langsung pengen nulis sajak yang abstrak. Tidak bermaksud apa-apa, tapi juga ingin menyampaikan makna.

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day15

No comments:

Post a Comment