Wednesday, July 26, 2017

Surat Untuk CEO

Wah, Hari Berpasangan di #day22 #31dayswritingchallenge ini kebagian dipasangin sama Gibran. Temen seangkatan, temen sekelas di Biologi Umum 3 (kelas Bu Ayda bukan sih?), dan sehimpunan. Tapi, karena beda jurusan dan jarang interaksi, kadang anak Mikro suka ngeliat anak Biologi sebagai "tetangga sebelah" instead of temen seperjuangan. Mungkin karena itulah si Hawa ini malah asyik di lab, bukannya ikut sibuk di sekre Nymphaea. Haha, ampun, Gib.

Disclaimer dulu, jadi ceritanya di Hari Berpasangan ini tuh aturannya adalah harus menanggapi atau setidaknya terinspirasi tulisan pasangannya. Post yang ini juga dalam rangka Hari Berpasangan, btw, bedanya itu terinspirasi yang sangat implisit, hehe. Karena gak semua blog temen-temen dibaca (maapin), jadinya tadi baca dulu beberapa post yang keskip. To be honest, susah rasanya nanggepin one particular post doang karena ketika baca beberapa post jadinya terbentuk image dari si penulisnya--sehingga justru itu yang gw ambil, inspirasi dari cara pandang si pasangan.

Oops, menurut Gibran di post ini, penggunaan kata ganti "gw" adalah sesuatu yang harusnya ditinggalkan. Makanya, khusus hari ini, kata ganti orang pertama pake "aku" deh. Pake "saya" masih ngerasa getek. :))

Ini yang mau aku highlight sih. Tentang aku menjadi aku, dan Gibran menjadi dirinya.

"Aku" adalah kata ganti pertama yang aku pake secara default ke semua orang, kecuali sama keluarga. Di keluarga, semua orang menyebut dirinya dengan nama. Aku pake "gw-elu" hanya ketika ngomong sama diri sendiri dan sama Vika, sodara beda setahun yang deket banget dari kecil. Aku merasa "gw" sangat cocok dipake ketika ngomongin sesuatu yang sarkas. Ketika pake "aku", rasanya kalau mau marah-marah tuh gak keluar aja gitu. Sedangkan blog bagi aku adalah diary--which I always keep since junior high--yang isinya curahan hati, yang mostly tentu saja adalah obrolan sama diri sendiri. Maka itulah kenapa di blog, dari dulu, aku pake "gw". Aku merasa blog adalah sarana numpahin emosi aja, yang mentah dan meletup-letup. Kesel ya kesel, seneng ya seneng, galau ya galau. Dari dulu berarti belum berubah. :))

Beda sama Gibran. Tulisan blog dia yang dulu mungkin gak beda sama blog aku (yang dari dulu sampe sekarang gak berubah itu). But then I can imagine how he then grew up secara pemikiran, yang bertambah luas horizonnya dengan ketemu orang dan mau gak mau mengasahnya terus-menerus. I mean, Gibran kayaknya emang punya mental leader dari dulu (ketua OSIS, right?). Ketika dia jadi kahim Nymphaea juga udah keliatan jiwa pemimpinnya. Meskipun temen-temennya manggil dia Bancet dan selalu dibecandain, tapi mereka selalu respect sama keputusannya.

Ketika langkah demi langkah membuatnya "besar", Gibran juga paham kalau ide yang dia punya gak cuma buat konsumsi pribadi aja, tapi ada audiens yang baca. Itu, dan ditambah seiring dengan pemikirannya yang makin composed dan (dilatih) tersusun, kayaknya "mengubah" gaya bertuturnya jadi lebih dewasa, "sopan", dan gak jarang bahas sesuatu yang "berat"--karena curhat gak berfaedah tidak lagi menjadi sorotan, kalaupun curhat juga harus substansial.

Intinya sih, aku bisa membayangkan apa yang ada di balik tulisan-tulisan Gibran sekarang. Enak memang baca tulisan dia (di blog atau di status FB); rapi, emosinya composed, dan gagasannya terstruktur. And I'm proud of him yang sekarang sangat dihormati sebagai CEO dan diperhitungkan sebagai entrepreneur. Keren lah Bancet ini--btw kenapa sih dipanggil Bancet, Gib? :))

Can you spot me and Gibran in this photo?

Lalu hubungannya sama aku apa? To be honest, blog bagi aku sekarang "masih" menjadi media perpanjangan emosi dan pikiran yang mentah saja dituang. Kalau lihat isi blog aku mungkin ada yang gak beraturan ideanya, nyampur-nyampur antara English-Indonesia-Sunda, diselipin emoticon, banyak sub-idea--ya seperti itulah yang ada di otak aku. Blog "masih" jadi media untuk aku jujur sama diri sendiri. Kalau ada audiens selain temen-temen sendiri, mungkin bahasa blog ini akan lebih composed. :p

Tapi, pemikiran yang acakadut itu cuma di "dapur"nya aja kok. When I write for work, yang tentu saja ada audiensnya, I write comprehensively. In fact, itu yang aku jual sebagai tukang nulis sih, bagaimana menyampaikan sebuah ide dalam tulisan berupa informasi yang bisa dipahami. Aku pikir semua orang bisa nulis kayak gitu. Memang iya sih, banyak yang bisa nulis bagus. Tapi, pilihan masing-masing menjadikan aku fokus disini dan orang lain fokus di hal lain. Lagipula, ternyata, gak semua orang bisa melakukan apa yang aku lakukan.

Kesimpulannya,

Kita menempuh jalan yang mungkin berbeda, ditempa dengan cobaan terbaik yang Tuhan berikan--karena Tuhan tidak pernah salah memberikan ujian untuk setiap manusia.
Apa yang kita lihat, rasa, pikir, dan lakukan juga tidak sama. Tapi ternyata takdir menempatkan kita di ladang yang sama. Never thought of that!

Dulu kuning Nymphaea, kini toska eFishery

Gabung di eFishery sejujurnya bagi aku adalah sebuah stretching, Gib. Banyak hal yang mengharuskan aku untuk stretch out my comfort zone. Jadi banyak berpikir dan belajar. Yaa dulu pas kuliah juga gitu sih, tapi kan lingkupnya hanya kuliah aja. Sekarang, mungkin karena faktor umur udah lepas beberapa tahun di "rimba kehidupan nyata" setelah lulus, jadi scope "berpikir dan belajar"-nya pada kehidupan secara umum juga.


Wah, kenapa jadi baper ya. Penyakit nih, ah. Apa-apa dikaitin dengan emosi. Hihi.

Demikian surat saya untuk Pak Bos. Semoga kita bisa jadi manusia yang bermanfaat ya, Pak Bos! ;)

Cheers!
#31dayswritingchallenge #day22

No comments:

Post a Comment